Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya (1)



Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya (Bagian 1)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya ini masuk ke Kategori Tanya Jawab dan Fatwa Dar Ifta Mesir

Seluruh Serial Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya dapat dibaca di Link Ini

السؤال

Pertanyaan

ما حكم الأخذ بمذاهب الفقهاء المجتهدين غير الأئمة الأربعة المشهورين: أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد رضي الله عنهم في الفتيا والعمل؟ وما حكم نبذ التقليد والدعوة إلى ما يسمى بـ«فقه الدليل»؟

Apa hukum mengikuti madzhab para fuqaha mujtahid selain empat imam yang terkenal: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad, radhiyallahu ‘anhum dalam fatwa dan amalan ? Dan apa hukum meninggalkan taklid (mengikuti madzhab) dan menyerukan apa yang disebut sebagai “fiqh dalil” ?

الإجابــة

Jawaban

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه ومن والاه وبعد،

فالمذاهب الفقهية الأربعة هي المذهب الحنفي والمالكي والشافعي والحنبلي، وقد حظيت هذه المذاهب دون غيرها بعدة خصائص –على تفاوت فيما بينها– أكسبتها الصدارة بين المذاهب الأخرى، من حيث المتابعة والتدوين والتنقيح والتحقيق والتخريج والتفريع وغير ذلك مما لم يتوافر لغيرهم من أئمة الاجتهاد، حتى عدَّ العلماء أن القضاء يُرَدُّ بمخالفة ما أجمعت عليه المذاهب الأربعة،

Madzhab fikih yang empat adalah madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Keempat madzhab ini memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya unggul di antara madzhab-madzhab lain, baik dari segi pengikut, dokumentasi, pengkajian, penelitian, dan pengembangan. Keistimewaan-keistimewaan ini tidak terdapat pada imam-imam mujtahid lainnya, sehingga para ulama menyatakan bahwa suatu putusan hukum bisa dibatalkan jika bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh empat madzhab tersebut.

يقول ابن نجيم الحنفي: «مما لا ينفذ القضاء به: ما إذا قضى بشيء مخالف للإجماع وهو ظاهر، وما خالف الأئمة الأربعة مخالف للإجماع وإن كان فيه خلاف لغيرهم،

Ibn Najim al Hanafi berkata: “Salah satu keputusan yang tidak bisa dijalankan adalah jika hakim memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan ulama), ini jelas. Dan, apa pun yang bertentangan dengan pendapat empat imam madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dianggap bertentangan dengan ijma’, meskipun ada perbedaan pendapat di luar mereka”

فقد صرَّح في التحرير أن الإجماع انعقد على عدم العمل بمذهب مخالف للأربعة؛ لانضباط مذاهبهم وانتشارها وكثرة أتباعهم». [الأشباه والنظائر ص٩٢، ط. دار الكتب العلمية].

Dalam kitab at Tahrir, disebutkan bahwa ijma’ telah tercapai terkait untuk tidak mengamalkan pendapat yang berbeda dengan empat madzhab karena keteraturan, penyebaran, dan banyaknya pengikut madzhab-madzhab tersebut.” (al Asybah wa an Nazha-ir, hal. 92, Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah).

وطاعة الله تعالى ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم حق واجب على كل بالغ عاقل مستطيع، 

Ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa salam adalah kewajiban bagi setiap mukallaf (yaitu : orang yang telah memenuhi syarat untuk memikul beban syariat).

ويتوقف الإتيان بالطاعة أولًا على فهم الشيء المأمور به والمنهي عنه؛ ليتمكن المكلف من الامتثال الموافق للمطلوب، والفهم الصحيح المعتبر شرعا يتم بالرجوع مباشرة إلى مصادر التشريع الإسلامي لمن بلغ مرتبة الاجتهاد المطلق، 

Untuk memenuhi ketaatan ini, seseorang harus terlebih dahulu memahami apa yang diperintahkan dan dilarang, agar ia dapat melaksanakan perintah yang sesuai dengan yang diminta. Pemahaman yang benar secara syar’i diperoleh dengan merujuk langsung kepada sumber-sumber hukum Islam bagi mereka yang telah mencapai derajat ijtihad mutlak.

ومن لم يقدر على الاجتهاد ولم تتوفر له أهليته وشروطه وأدواته فعليه تقليد غيره من أهل العلم المفتين والفقهاء المجتهدين وأصحاب المذاهب الفقهية المتبوعة،

Bagi yang tidak mampu melakukan ijtihad atau tidak memenuhi syarat dan alatnya, maka wajib baginya untuk bertaklid (mengikuti) kepada ulama yang memberikan fatwa dan fuqaha mujtahid dari mazhab-mazhab yang diikuti.

فالاجتهاد على كل الأحوال حلقة وصل لا بد منها، وعنصر أساسي لمعرفة أحكام الشريعة الإسلامية، وهو فرض كفاية يشق تكليف كل مسلم به،

Ijtihad, dalam segala keadaan, adalah penghubung yang tidak boleh diabaikan dan merupakan elemen dasar untuk mengetahui hukum-hukum syariat Islam. Ijtihad adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif) yang tidak mungkin dibebankan kepada setiap Muslim.

فلو كُلِّف عامة المسلمين بالنظر في الأدلة وتتبعها والاستيثاق منها والاستدلال بها والتوفيق بينها وبين ما يعارضها ودفع الاعتراضات عنها كما يفعل أئمة الفقه والاجتهاد؛ لكان هذا تكليفا بما لا يطاق ولا يمكن أن تستقيم معه الحياة؛ لما يترتب عليه من تعطل حركة العمل والإنتاج، والإخلال بمصالح الناس وعلاقاتهم الاجتماعية وشؤون معايشهم، فبحور العلم والاجتهاد وسيعة وعميقة لا ساحل لها ولا نهاية،

Jika seluruh umat Islam ditugaskan untuk memeriksa dalil, mengikutinya, menggunakannya sebagai dalil, serta mengkompromikan dalil-dalil yang saling bertentangan, seperti yang dilakukan oleh para imam fikih dan mujtahid, ini akan menjadi tugas mustahil yang membuat kehidupan tidak mungkin berjalan normal, karena akan menyebabkan aktivitas kerja dan produksi terhenti, serta mengganggu kepentingan masyarakat, hubungan sosial, dan urusan kehidupan mereka. Lautan ilmu dan ijtihad sangat luas dan dalam tanpa ujung.

ومن الشعارات الشائعة بين أهل العلم وطلابه: «أن العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك»، و«مع المحبرة إلى المقبرة»، 

Salah satu semboyan yang lazim di kalangan ulama dan para pelajarnya adalah: “Ilmu tidak akan memberikan sebagian darimu hingga engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya,” dan “dari tinta sampai liang kubur.”

فالتخصص في الاجتهاد الفقهي لا يقل شأنه عن شأن التخصص في الطب والهندسة والصناعة والزراعة والتجارة والاقتصاد وغير ذلك من المجالات الضرورية القائمة على الكليات الشرعية الخمس وهي: حفظ النفس والعقل والدين والنسل والمال، والتخصص في الاجتهاد الفقهي من أسباب حفظ الدين.

Maka, spesialisasi dalam ijtihad fikih tidak kalah pentingnya dengan spesialisasi dalam kedokteran, teknik, industri, pertanian, perdagangan, ekonomi, dan bidang lain yang didasarkan pada lima tujuan syariah, yaitu: menjaga jiwa, akal, agama, keturunan, dan harta. Spesialisasi dalam ijtihad fikih adalah salah satu asbab/perangkat penjagaan agama.

ولا يعقل شرعا ولا طبعا أن يفرض على جميع المكلفين التخصص في كل هذه المجالات لتلبية حاجاتهم إليها وإلا كان تكليفا بما لا يطاق، والله تعالى يقول: 

Tidaklah masuk akal, baik menurut syariat maupun secara logis, untuk mengharuskan semua mukallaf mengkhususkan diri pada seluruh bidang ini guna memenuhi kebutuhan mereka. Hal tersebut akan menjadi tugas yang mustahil. Allah Ta’ala berfirman :

﴿لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾ [البقرة: ٢٨٦]

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Surah Al Baqarah ayat 286).

ولهذا وجب «الاجتهاد والإفتاء» على بعض المسلمين وخاصتهم وهم أهل الذكر وأهل صناعة الفقه، ووجب «التقليد والاستفتاء» على الباقين وهم عامة المسلمين، قال تعالى:

Oleh karena itu, ijtihad dan pemberian fatwa wajib dilakukan oleh sebagian Muslim, khususnya mereka yang memiliki ilmu, yaitu ahli fikih, sedangkan taklid dan meminta fatwa wajib bagi sisanya, yaitu kaum awam. Allah Ta’ala berfirman :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النحل: ٤٣]

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (Surah An Nahl ayat 43)

وقال عز وجل : وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ [التوبة: ١٢٢]

Dan Allah Ta’ala berfirman : “Dan tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, agar mereka dapat menjaga dirinya.” (Surah At Taubah ayat 122).

وفي الحديث الشريف عَنْ جَابِرٍ قَالَ:

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, beliau (Jabir radhiyallahu ‘anhu) berkata:

خَرَجْنَا فِي سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلًا مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِي رَأْسِهِ، ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ: هَلْ تَجِدُونَ لِي رُخْصَةً فِي التَّيَمُّمِ؟ فَقَالُوا: مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ، فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ، فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ: 

“Kami keluar dalam suatu perjalanan, kemudian seorang di antara kami terkena batu sehingga melukai kepalanya. Kemudian dia mengalami mimpi basah (junub) dan bertanya kepada teman-temannya: ‘Apakah kalian menemukan keringanan untukku dalam bertayamum ?’ Mereka menjawab: ‘Kami tidak menemukan keringanan bagimu sedangkan kamu bisa menggunakan air.’ Maka dia mandi dan meninggal. Ketika kami sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam dan beliau diberitahu tentang hal itu, beliau bersabda :

قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللهُ! أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا، فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ. [رواه أبو داود].

‘Mereka membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka ! Mengapa mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu ? Sesungguhnya obat ketidaktahuan adalah bertanya.'” (Hadits Riwayat Imam Abu Dawud)

فدل الحديث على أن من لم يستطع أن يعلم بنفسه حكم الشرع فيما يفعله أو ينسبه للشرع وجب عليه سؤال أهل العلم والاختصاص.

Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang yang tidak mampu mengetahui sendiri hukum syar’i mengenai sesuatu yang harus dilakukan atau dinisbahkan kepada syariat, maka wajib baginya bertanya kepada ahli ilmu dan spesialis.

ويقول الإمام أبو بكر الجصاص في كتابه الفصول في الأصول [٤/٢٨١ – ٢٨٢، ط. وزارة الأوقاف الكويتية]:

Imam Abu Bakar al Jassas dalam kitab “Al Fushul fi Al Ushul” [4/281-282, cet. Kementerian Wakaf Kuwait] berkata :

إذا ابتلي العامي الذي ليس من أهل الاجتهاد بنازلة، فعليه مساءلة أهل العلم عنها؛ وذلك لقول الله تعالى :

“Jika seorang awam yang bukan dari kalangan ahli ijtihad dihadapkan pada suatu masalah, maka ia harus bertanya kepada ahli ilmu tentang hal itu; ini berdasarkan Firman Allah Ta’ala :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النحل: ٤٣].

‘Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.’ (Surah An Nahl ayat 43). 

وقال تعالى: ﴿فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ﴾ [التوبة: ١٢٢].

Dan Allah Ta’ala berfirman : ‘Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, agar mereka dapat menjaga dirinya.’ (Surah at Taubah ayat 122).

 فأمر من لا يعلم بقبول قول أهل العلم فيما كان من أمر دينهم من النوازل، وعلى ذلك نصت الأمة من لدن الصدر الأول ثم التابعين إلى يومنا هذا، إنما يفزع العامة إلى علمائها في حوادث أمر دينها.

Maka diperintahkan bagi orang yang tidak mengetahui untuk menerima perkataan ahli ilmu tentang urusan agama mereka. Hal ini telah disepakati oleh umat Islam sejak masa awal, kemudian masa tabi’in, hingga hari ini, bahwa orang awam akan kembali kepada para ulama dalam masalah agama mereka.”

ويدل على ذلك أيضا: أن العامي لا يخلو عند بلواه بالحادثة من أن يكون مأمورا بإهمال أمرها، وترك المسألة عنها، وترك أمره على ما كان عليه قبل حدوثها، وأن يتعلم حتى يصير من حدود من يجوز له الاجتهاد، ثم يمضي بما يؤديه إليه اجتهاده، أو يسأل غيره من أهل العلم بذلك، ثم يعمل على فتياه، ويلزمه قبولها منه.

Ini juga menunjukkan bahwa ketika orang awam menghadapi suatu masalah, ia berada dalam salah satu dari tiga kondisi: pertama, ia diperintahkan untuk mengabaikan masalah tersebut dan tidak menanyakannya, membiarkan keadaannya seperti sebelum masalah itu muncul; kedua, ia harus belajar sampai mencapai tingkat di mana ia boleh berijtihad, kemudian mengikuti hasil ijtihadnya; atau ketiga, ia harus bertanya kepada orang yang ahli dalam ilmu tersebut, lalu mengikuti fatwa yang diberikan dan wajib menerimanya.

وغير جائز للعامي إهمال أمر الحادثة، ولا الإعراض عنها وترك الأمر على ما كان عليه قبل حدوثها؛ لأنه مكلف لأحكام الله تعالى الثابت منها بالنص وبالدليل، ولأنه لا يعلم بوجوب تركها على ما كان عليه قبل حدوثها إذا كان ذلك سببا مختلفا فيه بين أهل العلم، وإنما يصار إلى معرفة الحق فيه من جهة النظر والاستدلال، وليس معرفة ذلك في طوق العامي.

Tidak diperbolehkan bagi orang awam untuk mengabaikan permasalahan yang terjadi, atau berpaling darinya dan tetap pada keadaannya sebelum peristiwa itu terjadi, karena dia diwajibkan untuk mematuhi hukum-hukum Allah Ta’ala yang telah ditetapkan baik melalui nash maupun dalil. Selain itu, dia tidak mengetahui kewajiban untuk tetap pada keadaan sebelum peristiwa terjadi jika hal tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan di antara para ulama. Untuk mengetahui kebenaran dalam hal ini, seseorang harus melakukan penelitian dan istidlal (pengambilan dalil), yang merupakan tugas yang di luar kemampuan orang awam.

وغير جائز أيضا أن يقال: إن عليه أن يتعلم الأصول وطرق الاجتهاد والمقاييس حتى يصير في حد من يجوز له الاستنباط؛ لأن ذلك ليس في وسعه، وعسى أن ينفد عمره قبل بلوغ هذه الحالة.

Juga tidak boleh dikatakan bahwa seorang awam harus mempelajari ilmu ushul (prinsip dasar) dan metode ijtihad serta qiyas (analogi hukum) sampai ia mencapai batas yang memungkinkannya untuk melakukan istinbath (penggalian hukum), karena hal itu di luar kemampuannya, dan kemungkinan besar umurnya habis sebelum mencapai kondisi tersebut.

وقد يكون المبتلى بالحادثة غلاما في أول حال بلوغه، وامرأة رأت دما شكت في أنه حيض أو ليس بحيض، وقد حضرهما وقت إمضاء الحكم حيث لا يسع تأخيره، فثبت أن عليه مسألة أهل العلم بذلك وقبول قولهم فيه» اهـ.

Bisa jadi orang yang menghadapi masalah itu adalah seorang pemuda di awal masa balighnya, atau seorang wanita yang melihat darah dan meragukan apakah itu darah haid atau bukan, sementara waktu untuk menjalankan hukum sudah tiba dan tidak dapat ditunda. Maka, ditetapkan bahwa ia harus bertanya kepada ahli ilmu mengenai masalah tersebut dan menerima pendapat mereka.

— Selesai Kutipan dari Al Fushul fi Al Ushul —

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Dar al Ifta al Mishriyah



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.