Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya (Bagian 2)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya ini masuk ke Kategori Tanya Jawab dan Fatwa Dar Ifta Mesir
Seluruh Serial Mengikuti Empat Madzhab dan Hukum Menyelisihinya dapat dibaca di Link Ini |
Mengikuti Empat Madzhab : Orang Awam Tidak Wajib Mengikuti Madzhab Tertentu
ولا يجب على العوام تقليد مجتهد بعينه، ولا التزام مذهبه في كل الفروع الفقهية على الراجح من أقوال أهل العلم كما رجحه النووي وصححه الزركشي وغيرهما من فطاحل العلماء،
Juga tidak wajib bagi orang awam untuk mengikuti seorang mujtahid tertentu atau berpegang pada madzhabnya dalam setiap cabang fiqh, demikian menurut pendapat yang lebih kuat dari para ulama. Hal tersebut sebagaimana yang dirajihkan oleh Imam Nawawi dan dinyatakan shahih oleh Az Zarkasyi dan ulama besar lainnya.
فلا بأس بتقليد أحد الأئمة الأربعة. قال الإمام عز الدين بن عبد السلام في فتاويه [ص١٢٢، ط. دار المعرفة- بيروت] :
Maka tidak ada masalah mengikuti salah satu dari empat imam madzhab. Imam Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitab fatwanya [hal. 122, Dar al-Ma’rifah, Beirut] mengatakan :
«يجوز تقليد كل واحد من الأئمة الأربعة رضي الله عنهم، ويجوز لكل واحد أن يقلد واحدًا منهم في مسألة، ويقلد إمامًا آخر منهم في مسألة أخرى، ولا يتعين عليه تقليد واحد بعينه في كل المسائل، ولا يجوز تتبع الرخص، والله أعلم وأحكم، وألطف وأرحم» اهـ.
“Diperbolehkan mengikuti setiap salah satu dari empat imam madzhab. Diperbolehkan bagi siapa saja untuk mengikuti salah satu dari mereka dalam suatu masalah dan mengikuti imam lain dalam masalah lain. Tidak wajib mengikuti salah satu imam tertentu dalam semua masalah, dan tidak diperbolehkan mencari-cari rukhshah (keringanan). Allah lebih mengetahui, lebih bijaksana, lebih lembut, dan lebih penyayang.”
— Selesai kutipan dari Imam Izzudin bin Abdus Salam —
وقال العلامة الزركشي في البحر المحيط [٨ / ٣٧٤-٣٧٥، ط. دار الكتبي] :
Imam Az Zarkasyi dalam kitab “Al Bahr Al Muhith” [8/374-375, Dar al Kutbi] mengatakan :
«مسألة: هل يجب على العامي التزام تقليد معين في كل واقعة ؟ فيه وجهان،
“Apakah orang awam harus tetap mengikuti seorang mujtahid tertentu dalam setiap kejadian ? Ada dua pandangan :
قال إلكيا: يلزمه. وقال ابن برهان: لا، ورجحه النووي في أوائل القضاء، وهو الصحيح، فإن الصحابة -رضوان الله عليهم- لم ينكروا على العامة تقليد بعضهم من غير تقليد.
Al-Kiya mengatakan: Ya, dia harus. Sedangkan Ibn Burhan mengatakan: Tidak, dan pendapat terakhir inilah yang dirajihkan oleh Imam Nawawi di awal kitab “Al Qadha’,” dan ini adalah yang shahih, Sebab, para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak mencela orang awam yang mengikuti salah satu dari mereka dalam satu perkara tanpa harus mengikuti dalam perkara yang lainnya.
وقد رام بعض الخلفاء زمن مالك حمل الناس في الآفاق على مذهب مالك، فمنعه مالك واحتج بأن الله فرق العلم في البلاد بتفريق العلماء فيها، فلم ير الحجر على الناس،
Sebagian khalifah pada masa Imam Malik pernah mencoba memaksa orang-orang di seluruh penjuru untuk mengikuti madzhab Malik, tetapi Imam Malik menolaknya dan berargumen bahwa Allah telah menyebarkan ilmu ke berbagai negeri melalui para ulama di sana, sehingga tidak boleh memaksa orang-orang untuk mengikuti pendapat orang tertentu.
وربما نودي: “لا يفتي أحد ومالك بالمدينة” – قال ابن المنير: وهو عندي محمول على أن المراد: لا يفتي أحد حتى يشهد له مالك بالأهلية.
Terkait dengan seruan: ‘Tidak ada yang boleh berfatwa ketika Malik berada di Madinah”, Ibn al Munir mengatakan tentang hal tersebut : Menurutku, ini bermakna bahwa tidak ada yang boleh berfatwa sampai Malik menyaksikan kelayakan orang tersebut.
وذكر بعض الحنابلة أن هذا مذهب أحمد، فإنه قال لبعض أصحابه: لا تحمل على مذهبك فيحرجوا، دعهم يترخصوا بمذاهب الناس.
Beberapa ulama Hanbali juga menyebutkan bahwa hal ini (tidak boleh memaksakan mengikuti madzhab tertentu – pent) adalah madzhab Ahmad bin Hanbal, yang mengatakan kepada beberapa muridnya : Jangan memaksa mereka mengikuti madzhabmu, biarkan mereka mengambil kemudahan dari berbagai madzhab.
وسئل عن مسألة من الطلاق فقال: يقع يقع، فقال له القائل: فإن أفتاني أحد أنه لا يقع، يجوز؟ قال: نعم، ودله على حلقة المدنيين في الرصافة. فقال: إن أفتوني جاز؟ قال: نعم. وقد كان السلف يقلدون من شاؤوا قبل ظهور المذاهب الأربعة، وقد قال النبي الصلاة والسلام عليه: «إن الله يحب أن يؤخذ برخصه كما يحب أن يؤخذ بعزائمه»…..
Imam Ahmad juga pernah ditanya tentang masalah talak, beliau mengatakan : Itu berlaku, itu berlaku. Maka orang yang bertanya berkata: Jika seseorang memberi fatwa kepadaku bahwa itu tidak berlaku, apakah diperbolehkan? Imam Ahmad menjawab : Ya, dan Imam Ahmad menunjukkan kepada majelis orang-orang Madinah di Ar Rusafa. Orang yang bertanya berkata lagi : Jika mereka memberi fatwa kepadaku, apakah diperbolehkan ? Imam Ahmad menjawab: Ya. Ulama salaf dulu mengikuti siapa pun yang mereka mau sebelum munculnya empat madzhab. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya Allah menyukai bahwa rukhsah-Nya diambil sebagaimana Dia menyukai bahwa ‘azimah-Nya diambil’…”
وحكى الرافعي عن أبي الفتح الهروي أحد أصحاب الإمام أن مذهب عامة أصحابنا: أن العامي لا مذهب له» اهـ.
Ar Rafi’i mengutip dari Abu al Fath al Harawi, salah satu murid Imam Syafi’i, bahwa menurut mayoritas pengikut kami : orang awam tidak memiliki madzhab tertentu.”
وقال ابن عابدين في حاشيته رد المحتار [٤/٨٠، ط. دار الكتب العلمية]: «مطلب: العامي لا مذهب له، قلت:
Ibn Abidin dalam “Hasyiyah Radd al Muhtar” [4/80, Dar al-Kutub al Ilmiyyah] mengatakan : “Dalam perkara: Orang awam tidak memiliki madzhab tertentu. Aku berkata :
وأيضا قالوا: العامي لا مذهب له، بل مذهبه مذهب مفتيه، وعلله في شرح التحرير بأن المذهب إنما يكون لمن له نوع نظر واستدلال وبصر بالمذهب على حسبه، أو لمن قرأ كتابًا في فروع ذلك المذهب وعرف فتاوى إمامه وأقواله.
Juga, mereka mengatakan bahwa orang awam tidak memiliki madzhab, tetapi madzhabnya adalah mazhab muftinya. Hal ini juga dijelaskan dalam Syarh at Tahrir bahwa madzhab hanya berlaku bagi orang yang memiliki pandangan dan istidlal tertentu, atau orang yang membaca kitab dalam cabang madzhab tersebut dan mengetahui fatwa serta pendapat imamnya.
وأما غيره ممن قال: أنا حنفي أو شافعي، لم يصر كذلك بمجرد القول، كقوله: أنا فقيه أو نحوي. اهـ. وتقدم تمام ذلك في المقدمة أول هذا الشرح» اهـ.
Adapun orang lain yang hanya mengatakan, “Saya seorang Hanafi” atau “Saya seorang Syafi’i,” dia tidak menjadi demikian hanya dengan ucapan itu, sebagaimana halnya seseorang yang mengatakan, “Saya seorang ahli fikih” atau “Saya seorang ahli nahwu.” (tidak akan menjadi demikian hanya dengan mengaku-aku seperti itu)
— Selesai kutipan dari Ibnu Abidin — Hal ini telah dijelaskan dengan lengkap di bagian pendahuluan dari syarah kitab tersebut.
ونقل في أول الشرح عن الشرنبلالي قوله [١/٧٥] :
Juga dikutip pada awal syarah (Kitab Haasyiyah Radd al Mukhtar) perkataan dari asy Syurunbulaly [1/75]:
فَيَجُوزُ اتِّبَاعُ الْقَائِلِ بِالْجَوَازِ كَذَا أَفَادَهُ الْعَلَّامَةُ الشُّرُنْبُلَالِيُّ فِي الْعِقْدِ الْفَرِيدِ، ثُمَّ قَالَ بَعْدَ ذِكْرِ فُرُوعٍ مِنْ أَهْلِ الْمَذْهَبِ صَرِيحَةٍ بِالْجَوَازِ وَكَلَامٍ طَوِيلٍ:
Diperbolehkan mengikuti pendapat yang menyatakan kebolehan hal tersebut (kebolehan beramal dengan madzhab yang berbeda — pent), sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-‘Allamah Asy-Syurunbulaly dalam kitab Al ‘Iqd Al Farid. Setelah menyebutkan cabang-cabang (masalah) dari para ulama madzhab yang secara tegas menyatakan kebolehannya dan setelah menguraikan penjelasannya secara panjang lebar, beliau (Asy Syurunbulaly) mengatakan :
فتحصل مما ذكرناه أنه ليس على الإنسان التزام مذهب معين، وأنه يجوز له العمل بما يخالف ما عمله على مذهبه مقلدا فيه غير إمامه مستجمعا شروطه ويعمل بأمرين متضادين في حادثتين لا تعلق لواحدة منهما بالأخرى، وليس له إبطال عين ما فعله بتقليد إمام آخر؛ لأن إمضاء الفعل كإمضاء القاضي لا ينقض.
Maka, dapat disimpulkan dari apa yang telah kami sebutkan bahwa seseorang tidak wajib berpegang pada satu madzhab tertentu, dan dia boleh melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang telah dia lakukan menurut madzhabnya, dengan mengikuti pendapat imam lain yang memenuhi syarat. Dia boleh melakukan dua hal yang bertentangan dalam dua kasus yang tidak berkaitan satu sama lain. Namun, dia tidak boleh membatalkan tindakan yang telah dilakukannya dengan mengikuti imam lain, karena pelaksanaan suatu tindakan seperti keputusan hakim yang tidak dapat dibatalkan.
وقال أيضا: إن له التقليد بعد العمل كما إذا صلى ظانا صحتها على مذهبه، ثم تبين بطلانها في مذهبه وصحتها على مذهب غيره فله تقليده، ويجتزئ بتلك الصلاة
Ia juga berkata: Seseorang diperbolehkan untuk mengikuti pendapat madzhab lain setelah melakukan suatu amalan, seperti ketika ia shalat dengan mengira shalat tersebut sah menurut madzhabnya, kemudian ternyata shalat tersebut batal menurut madzhabnya tetapi sah menurut madzhab lain, maka ia boleh mengikuti madzhab lain tersebut dan mencukupkan diri dengan shalat itu.
على ما قال في البزازية: إنه روي عن أبي يوسف أنه صلى الجمعة مغتسلا من الحمام، ثم أخبر بفأرة ميتة في بئر الحمام، فقال: نأخذ بقول إخواننا من أهل المدينة: إذا بلغ الماء قلتين لم يحمل خبثا» اهـ.
Seperti kasus yang disebutkan dalam kitab Al Bazzaziyyah : Diriwayatkan dari Abu Yusuf bahwa ia pernah shalat Jumat dengan mandi di pemandian umum, kemudian diberitahu bahwa ada bangkai tikus di sumur pemandian itu, maka ia berkata: “Kita mengambil pendapat saudara-saudara kita dari kalangan ulama Madinah: jika air mencapai dua qullah, maka air tersebut tidak menanggung najis.”
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Dar al Ifta al Mishriyah
Leave a Reply