
هل لإبليس زوجة؟!
Apakah Iblis Punya Istri (Bagian Kedua)
Oleh : Marwan Muhammad Abu Bakr
Alih Bahasa: Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Apakah Iblis Memiliki Istri ini termasuk dalam Kategori Adab
وقد وقف عمرُ – رضي الله عنه – يوماً على المنبر، فقرأ:
Suatu hari Umar bin Khattab رضي الله عنه berdiri di mimbar dan membaca ayat:
{فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا *وَعِنَبًا وَقَضْبًا، وَزَيْتُونًا وَنَخْلاً *وَحَدَائِقَ غُلْبًا، وَفَاكِهَةً وَأَبًّا} [عبس:٢٧-٣١]،
“Lalu Kami tumbuhkan di dalamnya biji-bijian, anggur, sayuran, zaitun, kurma, kebun-kebun yang rindang, buah-buahan dan abba.” (Surah ‘Abasa ayat 27–31).
فقال: فَكُلُّ هَذَا قَدْ عَرَفْنَاهُ، فَمَا الأَبُّ؟ ثَمَّ نَقَضَ عَصَاً كانتْ في يَدِهِ، فَقالَ: “هَذَا لَعَمْرُ اللهِ التَّكَلُّفُ! اتَّبِعُوا مَا تَبَيَّنَ لَكُم مِن هَذَا الكِتَابِ” [5]
Lalu ia berkata, “Semua ini kami tahu maknanya, tapi apa itu abba?” Kemudian ia memukul tongkat di tangannya dan berkata, “Demi Allah, ini sudah keterlaluan! Ikuti saja yang jelas dari Al-Qur’an!” 1
وَلَمَّا سَأَلَ ابنُ الكَوَّاءِ عَليّاً – رضيَ الله عنه – عنِ السَّوَادِ الذي في القَمَرِ! قالَ له عليٌّ رضي الله عنه: (عَمِيٌّ سَأَلَ عَن عَمْيَاءَ!!) [6]
Ketika Ibnul Kawwa’ bertanya kepada Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه tentang noda hitam di bulan, Ali menjawab, “Orang buta bertanya tentang sesuatu yang juga buta!” 2
إنَّ عليّاً – رضي الله عنه – يَصِفُ سائلَه عمّا لا يفيدُ بالعَمَى، مع أنَّ السائلَ يريد – في الظاهر – الاستبصارَ بنور العلم؛ ولكن، ليس كلُّ علم يُسْتَبْصَرُ به؛ فالسِّحْرُ عِلْمٌ، قال الله تعالى: {وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ} [البقرة:١٠٢]، ولكنه علمٌ لا يُسْتَبْصَرُ به.
Ali رضي الله عنه menggambarkan orang yang bertanya tentang hal yang tidak bermanfaat sebagai “buta”, walau penanya secara lahiriah tampak ingin mencari pencerahan melalui ilmu. Tapi tidak semua ilmu membawa pencerahan. Sihir juga disebut ilmu, sebagaimana firman Allah: “Tetapi setanlah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (Surah al Baqarah ayat 102). Tapi itu ilmu yang tidak membawa cahaya.
إن آثار هذه الأسئلة – العمياءِ – وخيمةٌ على سائلِها، وقد بَيَّن الأمامُ الشاطِبِيُّ في (الموافقات) بعضَ تلك الآثار، وإليك تلخيصَ شيءٍ مما ذكرَه:
Dampak dari pertanyaan-pertanyaan “buta” seperti itu sangat berbahaya bagi penanyanya. Imam asy-Syathibi menjelaskan beberapa dampaknya dalam kitab al-Muwafaqat.
وإليك تلخيصَ شيءٍ مما ذكرَه:
Berikut sebagian ringkasan dari yang beliau sebutkan:
• تَشْغَلُ هذه الأسئلةُ غيرُ المفيدة المكلَّفَ عما كُلِّفَ به من الأوامر الشرعية، التي يجب عليه تعلُّمُها والعملُ بها.
- Pertanyaan seperti itu membuat seseorang lalai dari kewajiban syariat yang semestinya ia pelajari dan amalkan.
• إن المنشغل بهذه الأسئلة قد يخرجُ عن الصراط المستقيمِ، ويقعُ في الفتنِ والأهواءِ والضلالات.
- Orang yang sibuk dengan pertanyaan tidak penting bisa keluar dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam fitnah, hawa nafsu, dan kesesatan.
• تؤدي هذه الأسئلة إلى التنازعِ، والتفرقِ، والخلافِ، والتقاطعِ، والتدابرِ، والتعصبِ، ومتى بلغتْ بالناس ذلك أخرجتْهم من السُّنَّةِ، ولم يكن أصلُ التفرقِ إلا بهذا السبب.
- Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bisa menimbulkan perpecahan, pertikaian, permusuhan, saling menjauh, dan fanatisme. Bila itu terjadi, akan membawa orang keluar dari jalan Sunnah. Sumber utama dari perpecahan biasanya berasal dari hal-hal seperti ini.
• في هذه الأسئلة إهدارٌ للزمن، في غير طائلٍ ولا فائدةٍ تُرجَى، وقد أَمَرَتِ الشريعةُ باستثمار الوقت والعنايةِ به.
- Pertanyaan semacam ini hanya membuang-buang waktu tanpa hasil yang berarti, sementara syariat memerintahkan kita untuk memanfaatkan waktu dan menjaganya dengan baik.
• تَتَبُّعُ النظرِ في كل شيء وتَطَلُّبُ علمِه من شأن الفلاسفة، ولم يكونوا كذلك إلا لتعلقهم بما يخالف السُّنَّةَ، فاتِّباعُهم في أمرٍ هذا شأنُه خطأٌ عظيمٌ، وانحرافٌ عن الجادة.
- Kebiasaan meneliti segala sesuatu dan ingin tahu segalanya adalah karakter para filsuf. Mereka seperti itu karena tertarik pada hal-hal yang bertentangan dengan Sunnah. Maka mengikuti cara mereka dalam hal ini adalah kesalahan besar dan bentuk penyimpangan dari jalan yang lurus.
إن علماءَ الأمة قد فَطِنوا لهذا الداء، وألَّفوا ما يشفي النفوسَ في بيان كيفية طلب العلم، وما العلمُ الذي يُطلَب، وما هي أولوياتُ طلبِ العلم، فَكَفُوا وشَفُوا، ومِن أنفعِ ما يُقرَأُ للتخلصِ من هذا الداءِ كتابُ الإمامِ ابنِ رجبٍ الحنبلي: (فضلُ علم السَّلَف على علم الخلف).
Para ulama umat ini sudah menyadari bahaya penyakit ini. Mereka telah menulis banyak karya yang bisa menenangkan hati dalam menjelaskan bagaimana cara menuntut ilmu, ilmu apa yang harus dipelajari, dan mana yang jadi prioritas. Mereka sudah cukup menjelaskan dan menyembuhkan. Di antara buku terbaik untuk keluar dari penyakit ini adalah karya Imam Ibnu Rajab al-Hanbali: Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf (Keutamaan Ilmu Salaf atas Ilmu Khalaf).
Alhamdulillah selesai rangkaian tulisan 2 (Dua) Seri
Sumber : Alukah
Leave a Reply