
حكم الجهاد في سبيل الله مع الوقوع في المعاصي والبدع
Hukum Jihad Saat Masih Terjerumus dalam Maksiat dan Bid’ah (Bagian Ketiga)
Tanya Jawab Bersama Syaikh Abdur Rahiim as Sulamiy (Pengajar di Departemen Akidah, Agama, dan Mazhab-Mazhab Kontemporer di Universitas Ummul Qura)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Hukum Jihad, Saat Masih Terjerumus dalam Maksiat dan Bid’ah ini termasuk dalam Kategori Tanya Jawab
ولهذا نحن نحذر من الذنوب حتى لا نهزم، لكن هذا السبب ليس بالضرورة أن يقع؛ لأن هناك قاعدة شرعية: وهي أن الأسباب في تحققها في الواقع لابد من وجود شروط وانتفاء موانع لها.
Oleh karena itu, kita memperingatkan akan bahaya dosa agar kita tidak kalah. Namun sebab ini tidak selalu pasti terjadi, karena ada kaidah syar’i: agar suatu sebab dapat berpengaruh di dunia nyata, harus terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalangnya.
أول شيء: أن يكون السبب حقيقياً.
Pertama: sebab tersebut harus benar-benar ada.
وثاني شيء: أن يريد الله أن يعاقب هذه الأمة بهذا الذنب.
Kedua: Allah harus menghendaki untuk menghukum umat ini melalui dosa tersebut.
ولهذا أقول: إنه لا يمكن أن ننتظر الأمة حتى تتصفى، بحيث لا يكون عندها ذنوب ولا بدع ولا غيرها، ثم بعد ذلك نجاهد، أبداً،
Karena itu saya katakan: tidak mungkin kita menunggu umat ini hingga benar-benar bersih, tidak ada dosa, tidak ada bid’ah, dan sebagainya, lalu baru setelah itu kita berjihad. Sama sekali tidak demikian.
فـصلاح الدين الأيوبي كان يدرس على بعض شيوخه العقيدة الأشعرية التي نحن ننتقدها، وصحيح أن صلاح الدين رجل وقائد عسكري، وما كان من أهل الدراسة التفصيلية،
Shalahuddin al Ayyubi pun pernah belajar kepada sebagian gurunya yang beraqidah Asy’ariyah, padahal kita sekarang mengkritisi aqidah tersebut. Memang benar, Shalahuddin adalah seorang prajurit dan pemimpin militer, bukan dari kalangan ulama yang mendalami kajian secara rinci.
لكن كان الشيوخ الذين يدرسون في دولته والذين لهم المكانة، وكبار العلماء في زمانه كانوا شيوخ الأشعرية وعندهم بدع، لكن هل ننسى بقية خصال الإسلام التي فيهم؟
Namun para ulama yang mengajar di negerinya, yang memiliki kedudukan tinggi, dan para ulama besar di zamannya adalah para ulama Asy’ariyah yang memiliki beberapa bid’ah. Tapi apakah kita akan melupakan berbagai sifat keislaman yang ada pada mereka?
هل ننسى تعظيمهم لله؟ هل ننسى إقامتهم للصلاة؟ هل ننسى إقامتهم للشريعة؟ هل ننسى إقامتهم للقضاء والأحكام الشرعية؟
Apakah kita akan melupakan pengagungan mereka terhadap Allah? Apakah kita akan melupakan bahwa mereka menegakkan shalat? Bahwa mereka menegakkan syariat? Bahwa mereka menegakkan peradilan dan hukum-hukum syar’i?
وصلاح الدين الأيوبي طرد الصليبيين، وأسس لـابن عساكر الدمشقي دار الحديث الأشرفية في دمشق، وكان يدرس فيها عقائد الأشعرية التي ننتقدها.
Shalahuddin al Ayyubi mengusir pasukan Salib, dan mendirikan untuk Ibnu ‘Asakir ad-Dimasyqi sebuah lembaga ilmu bernama Darul Hadits al Asyrafiyah di Damaskus, yang di dalamnya diajarkan aqidah Asy’ariyah—aqidah yang kita kritik saat ini.
فلا يعني وجود بدع أو وجود معاص أن الأمة غير صالحة للجهاد، أبداً، بل الجهاد يحصل بمجموع الأمة حتى لو كان فيها تقصير، بل إنه يبارك الله عز وجل فيها، ويجعل ذنوبها أقل، ويجعل بدعها أقل، ويهيئ لها خيراً مما كانت عليه سابقاً.
Jadi, keberadaan bid’ah atau maksiat tidak berarti bahwa umat ini tidak layak untuk berjihad. Sama sekali tidak. Jihad bisa terlaksana dengan kekuatan kolektif umat meskipun masih ada kekurangan. Bahkan Allah Azza wa Jalla akan memberikan keberkahan kepada mereka, mengurangi dosa dan bid’ah mereka, serta mempersiapkan kebaikan yang lebih baik dari sebelumnya.
فالجهاد ينظف الذنوب والمعاصي، وينظف البدع بإذن الله تعالى، ويجمع المسلمين، فهو من أعظم الحلول وأنفعها للأمة.
Jihad membersihkan dosa dan maksiat, juga membersihkan bid’ah dengan izin Allah Ta’ala, dan menyatukan kaum Muslimin. Maka jihad merupakan salah satu solusi terbesar dan paling bermanfaat bagi umat ini.
إذاً: فهم الأخ فهم غير صحيح، صحيح أنه ينبغي أن نعمل في خطين متوازين: ألا يكون عندنا ردود فعل، لا نقول مثلاً: نجعل الأمة كلها تشارك في الجهاد في سبيل الله حتى لو كانت عاصية ولا ندعوها إلى الله، لا،
Jadi, pemahaman saudara tersebut tidak benar. Benar bahwa kita harus bekerja dalam dua jalur yang berjalan bersamaan. Kita tidak boleh bersikap reaktif, misalnya dengan berkata: “Biarkan seluruh umat ini ikut berjihad meskipun dalam keadaan maksiat, tanpa kita menyeru mereka kepada Allah.” Tidak seperti itu.
وإنما ندعوها إلى الله ونصلحها، ونطالب أن تجاهد في سبيل الله، بل نحن نطالب حتى العصاة أن يدعو إلى الله عز وجل، وأن يأمروا بالمعروف وينهوا عن المنكر، أليسوا مسلمين؟ وأليست الدعوة من شعائر الإسلام؟
Kita tetap menyeru mereka kepada Allah dan memperbaiki mereka, sambil tetap menuntut agar mereka berjihad di jalan Allah. Bahkan kita juga meminta para pelaku maksiat untuk berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla, memerintahkan yang baik dan mencegah kemungkaran. Bukankah mereka juga Muslim? Bukankah dakwah termasuk syiar Islam?
فنحن نطالب العسكريين أن يجتهدوا في الدعوة إلى الله عز وجل في وسطهم العسكري، ونطالب القضاة أن يجتهدوا في الدعوة إلى الله عز وجل مع المتهمين الذين يؤتى بهم، وأن ينصحوهم،
Kita menuntut para tentara untuk bersungguh-sungguh dalam berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla di lingkungan militer mereka. Kita menuntut para hakim untuk berdakwah kepada Allah Azza wa Jalla kepada para terdakwa yang dihadirkan ke pengadilan, dan menasihati mereka.
ونطالب الطلاب بهذا، ونطالب كل إنسان في دائرته أن يحقق العدل، وأن يجتهد في أن يكون صادقاً، وأن يبتعد عن الذنوب والمعاصي، وأن يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر، وينفع المسلمين بما يستطيع،
Kita menuntut hal ini kepada para pelajar, dan kepada setiap individu di lingkungannya masing-masing agar menegakkan keadilan, bersungguh-sungguh dalam kejujuran, menjauhi dosa dan maksiat, memerintahkan yang baik dan mencegah yang mungkar, serta memberi manfaat kepada kaum Muslimin sesuai kemampuannya,
حتى لو كان مقصراً، حتى لو كان حليقاً، حتى لو كان مسبلاً، حتى لو كان عنده دش ويتفرج على الراقصات، ونحن لا نقلل من خطر الذنوب والمعاصي، بل نحذر وننصح،
meskipun dia masih memiliki kekurangan, meskipun tidak berjenggot, meskipun celananya menjulur melebihi mata kaki, meskipun punya parabola dan menonton penari wanita. Kami tidak meremehkan bahaya dosa dan maksiat, justru kami memperingatkan dan menasihati,
لكن أيضاً لا يأتي الشيطان ويتلاعب بالناس، ويجعلهم بسبب هذه الذنوب والمعاصي يتركون إصلاح المجتمع، ويتركون الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، فكلنا ذوو خطأ، وكلنا مقصرون،
tetapi setan juga tidak boleh dibiarkan mempermainkan manusia dengan membuat mereka karena dosa dan maksiat tersebut justru meninggalkan perbaikan masyarakat dan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kita semua adalah manusia yang bersalah dan memiliki kekurangan.
هل تتصورون بمجرد أن الإنسان صارت عنده لحية أو قصر ثوبه أنه صار من الأتقياء والصديقين؟ لا، قد يقع منه الخطأ والذنب، وكلنا ذوو خطأ، لكن لا يقصر الإنسان في النصح.
Apakah kalian mengira bahwa hanya karena seseorang berjenggot atau memendekkan pakaiannya, maka ia telah menjadi orang paling bertakwa dan wali Allah? Tidak. Bisa saja ia masih jatuh dalam kesalahan dan dosa. Kita semua melakukan kesalahan, tetapi jangan sampai seseorang lalai dari kewajiban untuk memberi nasihat.
إذاً: ينبغي أن نفهم الأصول الشرعية بهذه الطريقة.
Jadi, sudah seharusnya kita memahami prinsip-prinsip syariat dengan cara yang seperti ini.
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : Kajian Audio Ushul al Aqidah Syaikh Abdurrahiim As Sulamiy
Leave a Reply