Hukum Bersuci dengan Air yang Tercampur Sabun



حكم التطهر بماء مختلط بصابون

Hukum Bersuci dengan Air yang Tercampur Sabun

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hukum Bersuci dengan Air yang Tercampur Sabun  ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab

السؤال

Pertanyaan:

ما حكم بقاء أثر لزوجة الصابون، أو الحبر على اليدين أثناء الوضوء؟ وهل هذا يبطل الوضوء؟ وهل اختلاط الماء المخصص للوضوء بالصابون، أو غيره يفسد الوضوء؟

Apa hukum jika masih ada sisa licin sabun atau tinta di tangan saat berwudhu? Apakah hal itu membatalkan wudhu? Dan apakah bercampurnya air yang digunakan untuk berwudhu dengan sabun atau selainnya membatalkan wudhu?

الإجابــة

Jawaban:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du:

فإن كان ما على اليد مما ذكر يحول دون وصول الماء إلى البشرة؛ لكونه ذا جِرم: فالواجب إزالته قبل الوضوء، فإن بقاءه يمنع صحة الطهارة.

Jika yang ada di tangan seperti yang disebutkan (sabun atau tinta) menghalangi sampainya air ke kulit karena memiliki lapisan fisik, maka wajib untuk menghilangkannya sebelum wudhu. Sebab jika dibiarkan, hal tersebut menghalangi keabsahan bersuci.

وأما إن كان لا جرم له: فإنه لا يحول دون وصول الماء إلى البشرة، ومن ثم لا يمنع صحة الطهارة، والظاهر في الأثر المذكور أنه لا يحول دون وصول الماء إلى البشرة، وانظر الفتوى الأخرى هنا

Namun jika tidak memiliki lapisan fisik, maka ia tidak menghalangi air sampai ke kulit dan dengan demikian tidak membatalkan keabsahan bersuci. Dan tampaknya sisa tersebut tidak menghalangi air mencapai kulit. Lihat fatwa lain disini

قال النووي في الروضة: فَإِنْ بَقِيَ لَوْنُ الْحِنَّاءِ، لَمْ يَضُرَّ، وَإِنْ كَانَ عَلَى الْعُضْوِ دُهْنٌ مَائِعٌ، فَجَرَى الْمَاءُ عَلَى الْعُضْوِ، وَلَمْ يَثْبُتْ، صَحَّ وضوؤه. انتهى.

Imam An-Nawawi berkata dalam kitab Ar-Raudhah: “Jika warna pacar (henna) masih tersisa, maka tidak membahayakan. Dan jika di anggota tubuh ada minyak cair, lalu air mengalir di atas anggota tersebut dan tidak menghalangi, maka wudhunya sah.” Selesai kutipan.

وأما اختلاط الماء بالصابون، أو غيره: فإن كان الماء متغيرًا بالصابون، بحيث يزول عنه اسم الماء المطلق لم يصح التطهر به.

Adapun bercampurnya air dengan sabun atau selainnya, jika air tersebut berubah karena sabun hingga tidak lagi disebut “air murni”, maka tidak sah bersuci dengannya.

وإن كان غير متغير به، أو كان التغير يسيرًا: صحت الطهارة، وهذا قول كثير من العلماء، أو أكثرهم، وعند بعض أهل العلم أن تغير الماء بمخالطة طاهر له لا يمنع صحة التطهر به، ما لم يخرج عن اسم الماء، والأول أحوط،

Namun jika tidak berubah karena sabun atau perubahannya sangat sedikit, maka bersuci tetap sah. Ini adalah pendapat banyak atau mayoritas ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa perubahan air karena bercampur dengan sesuatu yang suci tidak membatalkan keabsahan bersuci, selama masih disebut “air”. Pendapat pertama lebih hati-hati.

قال الزركشي في شرح الخرقي: ما سقط في الماء مما ذكره من الباقلاء، والزعفران، والورد، والحمص، أو غيره من الطاهرات، كالعصفر، والملح الجبلي، وورق الشجر إذا وضع فيه قصدًا، ونحو ذلك، وكان الواقع يسيرًا، فلم يوجد للواقع في الماء طعم، ولا لون، ولا رائحة، حتى أنه بسبب ذلك يضاف الماء إليه، فيقال: ماء زعفران، ونحو ذلك، فهو باق على إطلاقه فيتوضأ به؛ لدخوله تحت قَوْله تَعَالَى: 

Az-Zarkasyi berkata dalam Syarh al-Kharqi: “Apa yang jatuh ke dalam air seperti kacang fava, saffron, bunga mawar, kacang arab, atau yang lainnya dari benda-benda suci seperti bunga kusumba, garam gunung, atau daun pohon yang dimasukkan dengan sengaja dan jumlahnya sedikit, sehingga tidak menimbulkan rasa, warna, atau bau pada air — sampai-sampai air itu masih disebut air biasa, seperti ‘air saffron’ — maka air tersebut tetap murni dan boleh digunakan untuk berwudhu. Karena masih termasuk dalam firman Allah :

{فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} [النساء: ٤٣]

kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)  (Surah an-Nisa ayat 43)”

وقد ثبت أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغتسل هو وزوجته من جفنة فيها أثر عجين.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ mandi bersama istrinya dari bejana yang di dalamnya masih terdapat sisa adonan.

ومفهوم كلام الخرقي أنه متى وجد للواقع لون، أو طعم، أو رائحة كثيرة، بحيث صار الماء يضاف إليه، زالت طهوريته، ومنع التوضؤ به، وهو إحدى الروايات، اختارها أكثر الأصحاب؛

Pemahaman dari perkataan Al-Kharqi adalah, apabila yang tercampur dengan air memberikan warna, rasa, atau bau yang dominan, sehingga air tersebut dinamakan dengan nama benda yang mencampurinya, maka air tersebut tidak lagi suci menyucikan, dan tidak boleh digunakan untuk berwudhu. Ini adalah salah satu riwayat yang dipilih oleh mayoritas ulama mazhab.

(والرواية الثانية) وهي الأشهر نقلًا، وإليها ميل أبي محمد – هو باق على طهوريته؛ لأن (ماء) من قَوْله تَعَالَى: {فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً} [النساء: ٤٣] نكرة في سياق النفي، فيشمل كل ماء، إلا ما خصه الدليل،

(Riwayat kedua) — yang lebih masyhur dalam periwayatan, dan cenderung dipegang oleh Abu Muhammad — menyatakan bahwa air tetap suci menyucikan. Karena kata *”air”* dalam firman Allah

{فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا} [النساء: ٤٣]

kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)  (Surah an-Nisa ayat 43)”

adalah nakirah dalam konteks penafian, maka mencakup semua jenis air, kecuali jika ada dalil khusus yang mengecualikannya.

(والرواية الثالثة) أنه طهور بشرط أن لا يجد غيره، وحيث أثر التغيير فإنما هو إذا كان كثيرًا. انتهى.

(Riwayat ketiga) menyebutkan bahwa air tersebut tetap suci menyucikan, namun dengan syarat tidak ada air lain. Dan pengaruh dari perubahan (warna, bau, rasa) hanya berpengaruh jika perubahan itu banyak. Selesai kutipan.

والله أعلم.

Allah Maha Mengetahui.

Sumber: IslamWeb



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.