Dilema Fundamentalisme Sekuler dengan Muslim Eropa (Bagian Kedua)
Oleh : Nabil Shibib (Penulis Palestina)
Artikel Dilema Fundamentalisme Sekuler dengan Muslim Eropa ini masuk dalam Kategori Analisa dan Opini
Dalam beberapa dekade terakhir, dapat diamati pula meningkatnya jumlah umat Islam yang telah menjadi warga negara tetap, serta berakhirnya masa “isolasi lokal” di mana kegiatan Islam hanya berfokus pada isu-isu dunia Islam. Kini, umat Islam telah memasuki fase “keterbukaan” dengan perhatian yang lebih besar terhadap masalah-masalah lokal seperti pendidikan Islam, kondisi sekolah, jilbab, hubungan antarjenis kelamin, hingga persoalan praktis seperti penyembelihan halal, pemakaman, dan toko makanan halal. Fase ini juga ditandai oleh meningkatnya minat masyarakat terhadap masjid dan tempat salat, yang jumlahnya kini telah mencapai ribuan di negara-negara Eropa utama.
Dalam konteks ini, ada dua fenomena lain yang menarik perhatian masyarakat Eropa:
- Prediksi penurunan populasi non-Muslim di Eropa. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan tertentu — terutama kelompok sayap kanan ekstrem dan kaum fundamentalis sekuler — terhadap apa yang mereka sebut sebagai “Islamisasi demografis benua Eropa.”
- Meningkatnya jumlah pemuda Eropa yang memeluk Islam setiap tahun. Fenomena ini menunjukkan pengaruh besar pandangan Islam terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan, karena banyak di antara para mualaf muda yang menyebut nilai-nilai keluarga dalam Islam sebagai alasan utama mereka tertarik untuk memeluk agama ini.
Antara “Histeria” dan Ketenangan Berpikir
Dengan latar belakang ini — serta konteks apa yang disebut “perang melawan terorisme” — serangan budaya dan intelektual terhadap Islam telah berpindah dari metode tradisional lama yang sudah kehilangan pengaruhnya, sebagaimana terbukti dengan meluasnya kebangkitan Islam, menuju metode baru yang bersifat provokatif dan agresif. Serangan-serangan ini semakin meluas dalam suasana global yang dikuasai oleh “bahasa kekerasan militer” Amerika terhadap umat Islam.
Karya sutradara Belanda “Van Gogh” menjadi contoh mencolok dari bentuk “kekerasan budaya” dalam beberapa tahun terakhir. Film terakhirnya, Submission (“Ketundukan”), memuat adegan-adegan yang menampilkan ayat-ayat Al-Qur’an berbahasa Arab ditulis di tubuh seorang wanita telanjang yang hanya mengenakan kain transparan, sementara wanita itu “melakukan salat” dan mengeluhkan apa yang disebutnya sebagai penindasan Islam terhadap perempuan.
Dari sudut pandang Islam yang seimbang, tindakan seperti ini bukanlah bentuk kebebasan budaya atau seni, melainkan mencerminkan tingkat “kebangkrutan” yang parah di bidang tersebut. Ia menunjukkan bahwa pembuatnya memilih jalan provokasi, bukan pendekatan yang seimbang untuk menyampaikan pandangannya. Seharusnya, lembaga-lembaga Islam di Eropa segera merespons secara bijak dengan menjadikan film itu sebagai kesempatan untuk menjelaskan secara objektif pandangan Islam mengenai isu-isu yang diserang dalam film tersebut.
Demikian pula, pihak berwenang di Belanda seharusnya memahami makna provokasi dalam karya semacam itu, terutama di tengah situasi panas saat itu yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa di Fallujah, Abu Ghraib, Rafah, dan Jenin. Mereka seharusnya mengambil sikap adil sebelum tragedi pembunuhan itu terjadi, dengan memperingatkan bahaya “menyiram bensin ke api” melalui provokasi, serta menegaskan bahwa “kebebasan seni dan budaya” dalam sistem sekuler tidak berarti kebebasan untuk menghina agama dan menyinggung para pemeluknya.
Tentu saja hal ini sama sekali tidak berarti pembenaran atas tindakan pembunuhan tersebut. Satu langkah gegabah seperti itu dapat menimbulkan kerugian besar bagi keberadaan umat Islam di Eropa — kerugian yang sulit diukur. Namun, bahkan setelah peristiwa itu terjadi, lembaga-lembaga Islam di dalam maupun di luar Eropa masih belum mampu memberikan respons yang efektif untuk menjaga masa depan kehidupan umat Islam yang damai dan konstruktif di Eropa.
Sementara itu, kalangan fundamentalis sekuler justru terus memperkeruh keadaan. Alih-alih mencari solusi terhadap akar masalah dan menenangkan emosi di kedua belah pihak, gelombang pernyataan panas semakin meningkat: dari seruan bahwa “era toleransi terhadap umat Islam di Eropa telah berakhir”, hingga upaya mengubur “slogan keberagaman budaya”, menghidupkan kembali retorika “benturan peradaban”, sampai dengan tuntutan penerapan hukum luar biasa yang memungkinkan deportasi hanya berdasarkan “kecurigaan” tanpa melalui pengadilan, serta usulan untuk menghukum para siswi Muslim yang menolak mengenakan pakaian terbuka dalam pelajaran olahraga.
Perlu dicatat bahwa suara-suara semacam ini masih dominan. Sebagian besar datang dari generasi “Revolusi Mahasiswa 1968” yang kini memegang kendali atas lembaga-lembaga pembuat keputusan di bidang budaya, pemikiran, dan media. Survei menunjukkan bahwa generasi ini justru paling tidak toleran dan paling enggan menerima keberagaman budaya dan agama dibandingkan generasi muda. Karena itu, suara kelompok ini lebih sering terdengar di media massa dibandingkan suara lainnya.
Meski begitu, masih ada suara-suara bijak yang menyerukan keadilan dan keseimbangan. Walau tidak banyak ruang untuk memaparkan contohnya, sebagian besar di antaranya memperingatkan bahaya “histeria” dalam reaksi terhadap pembunuhan tersebut, serta bahaya hilangnya hasil-hasil positif yang telah dicapai di jalur integrasi dan keberagaman sosial di masyarakat Eropa. Harapannya, pada akhirnya, suara kebijaksanaan dan ketenangan inilah yang akan lebih didengar.
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera