Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan (Bagian Pertama)
Siapa dan Bagaimana Sejarah Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan ?
rezaervani.com – 15 Mei 2025 – Pasukan Dukungan Cepat (RSF) adalah kelompok militer yang terbentuk dari milisi Janjaweed dan diakui secara resmi oleh negara pada tahun 2013. Komandannya adalah Muhammad Hamdan Dagalo, yang dikenal dengan nama Hemedti. Pasukan ini diberi berbagai tugas, antara lain memberantas gerakan pemberontakan di Darfur, wilayah barat Sudan, menjaga perbatasan, dan memberantas kegiatan penyelundupan.
Parlemen Sudan menyetujui keberadaan pasukan ini pada tahun 2017 dan menganggapnya sebagai kekuatan keamanan independen yang berada di bawah Angkatan Bersenjata. Pasukan ini turut serta dalam Operasi Khartoum—yang disponsori oleh Uni Eropa untuk menghadapi migrasi ilegal—serta dalam perang di Yaman, dan mendukung revolusi rakyat yang menggulingkan rezim mantan presiden Umar al-Basyir.
Banyak pihak menganggapnya sebagai “tentara di dalam tentara”. Setelah penggulingan Basyir, dimulailah perundingan untuk mengintegrasikan pasukan ini sepenuhnya ke dalam Angkatan Bersenjata Sudan. Komandannya juga berpartisipasi dalam proses transisi yang bertujuan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.
Namun, karena adanya perselisihan antara Hemedti dan panglima militer sekaligus Ketua Dewan Kedaulatan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan—yang berpusat pada isu integrasi pasukan ini ke dalam militer—pada pertengahan April 2023 pecah bentrokan bersenjata antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan tentara yang menganggap mereka sebagai pasukan pemberontak.
Asal-usul
Pasukan Dukungan Cepat (RSF) bermula sebagai kelompok bersenjata yang dikenal dengan nama Janjaweed, yaitu milisi dari berbagai suku yang menurut banyak sumber berasal dari suku-suku Arab.
Pembentukan Janjaweed dikaitkan dengan Musa Hilal, kepala suku Mahamid yang berasal dari suku Arab Rizeigat, yang juga merupakan sepupu dari Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti).
Janjaweed bekerja sama dengan tentara Sudan ketika pecah pemberontakan di wilayah Darfur, barat negara itu, pada tahun 2003. Mereka berhasil memenangkan pertempuran, mengakhiri pemberontakan, dan menguasai situasi di Darfur, namun saat itu dituduh melakukan pembunuhan, pembakaran, perampasan, dan penjarahan.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengeluarkan Resolusi Nomor 1556 tahun 2004 yang menuntut pemerintah Sudan untuk melucuti senjata Janjaweed dan mengadili para pemimpinnya, terutama Musa Hilal.
Amerika Serikat memasukkan Musa Hilal ke dalam daftar tersangka pelaku kejahatan perang di Darfur. Pada tahun 2006, Dewan Keamanan menuduhnya menghalangi proses perdamaian di wilayah tersebut, memberlakukan larangan perjalanan internasional terhadapnya, dan membekukan aset-asetnya.
Pada tahun 2007, Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti), salah satu komandan Janjaweed, membelot dan memberontak terhadap pemerintah karena tidak membayar gaji pasukannya selama beberapa bulan. Ia pun mulai memerangi pasukan pemerintah. Pemerintahan Basyir kemudian menawarkan sejumlah kesepakatan agar Hemedti kembali bergabung, termasuk pembayaran gaji yang tertunggak, pemberian pangkat perwira bagi para komandannya, dan penganugerahan pangkat brigadir untuk Hemedti sendiri.
Pada tahun 2013, milisi ini direstrukturisasi dan dibentuk kembali setelah Basyir mengeluarkan dekret presiden yang melegitimasi keberadaannya, serta memberinya nama baru: “Pasukan Dukungan Cepat (RSF).” Pasukan ini ditempatkan di bawah otoritas Badan Keamanan dan Intelijen Nasional Sudan.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Sudan saat itu menolak memindahkan kewenangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dari badan intelijen ke militer. Karena itu, pasukan ini dianggap sebagai kekuatan resmi yang terpisah dan langsung berada di bawah Presiden. Muhammad Hamdan Dagalo ditunjuk sebagai komandannya, dan wilayah operasinya meluas dari Darfur ke Nil Biru, Kordofan Selatan, hingga ke seluruh penjuru Sudan.
Parlemen kemudian, pada masa pemerintahan Basyir tahun 2017, mengesahkan undang-undang tentang Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan menetapkannya sebagai kekuatan keamanan independen yang berada di bawah Angkatan Bersenjata. Undang-undang tersebut menyebutkan bahwa “Pasukan Dukungan Cepat (RSF) adalah pasukan militer berskala nasional yang tunduk pada prinsip umum Angkatan Bersenjata Sudan.”
Basyir sendiri memuji Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dalam pidato wisuda angkatan kelima pada tahun 2017, menyanjung peran mereka dalam menjaga keamanan dan stabilitas negara serta memadamkan pemberontakan di Kordofan Selatan dan Darfur. Ia menambahkan, “Keputusan yang paling saya sukai dan terbaik bagi saya adalah pembentukan Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Mereka adalah lengan kuat Angkatan Bersenjata.”
Pada tahun 2019, undang-undang Pasukan Dukungan Cepat (RSF) diamendemen dengan menghapus pasal yang menundukkan pasukan tersebut pada ketentuan Angkatan Bersenjata, sehingga menjadikannya pasukan independen dengan aturan tersendiri.
Pasukan Dukungan Cepat (RSF) mendefinisikan dirinya sebagai “pasukan militer berskala nasional yang beroperasi di bawah komando panglima tertinggi, dengan tujuan menjunjung tinggi nilai-nilai kesetiaan kepada Tuhan dan tanah air, serta tunduk pada prinsip umum Angkatan Bersenjata Sudan.”
Tujuan Pasukan Dukungan Cepat
Pasukan Dukungan Cepat menetapkan tujuan-tujuannya sebagai berikut:
- Memberikan dukungan kepada tentara reguler Sudan dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk membela negara dari segala ancaman, baik internal maupun eksternal.
- Melaksanakan setiap tugas yang diberikan oleh panglima tertinggi Angkatan Bersenjata.
- Menangani keadaan darurat di dalam negeri sebagaimana diatur oleh undang-undang.
- Berkontribusi dalam menjaga keamanan dan perdamaian serta mematuhi perjanjian internasional dan regional.
Persenjataan dan Perlengkapan
Tidak ada data resmi mengenai jumlah personel Pasukan Dukungan Cepat. Namun, berbagai sumber memperkirakan jumlahnya berkisar antara 60.000 hingga 100.000 personel yang terdiri dari prajurit, perwira, dan bintara yang tersebar di berbagai wilayah negara.
Pasukan Dukungan Cepat memiliki sekitar 10.000 kendaraan empat roda yang dilengkapi lapisan baja serta senjata ringan dan menengah, termasuk senjata antipesawat. Mereka juga memiliki satuan kendaraan lapis baja ringan tipe BTR (Boyevaya Transportnaya Razvedka).
Markas dan pusat-pusat Pasukan Dukungan Cepat tersebar di ibu kota Sudan dan beberapa kota lainnya, serta di wilayah perbatasan dengan Libya dan Eritrea.
Pendanaan
Pasukan Dukungan Cepat pernah menguasai Jabal Amer, salah satu tambang emas terpenting di Sudan, sebelum akhirnya menyerahkannya kepada Kementerian Keuangan. Selain itu, mereka juga menguasai tambang-tambang lain di wilayah Kordofan Selatan, yang menjadi sumber utama pendanaan pasukan tersebut.
Hal inilah yang menjelaskan pernyataan Hemedti pada hari-hari terakhir pemerintahan Basyir, ketika ia mengatakan bahwa dirinya mendukung perekonomian Sudan dengan jutaan dolar. Setelah penggulingan Basyir, Hemedti membuka rekening cadangan di Bank Sudan dan menyetorkan sekitar 225 juta dolar AS. Ia menjelaskan bahwa dana tersebut diperoleh dari pabrik-pabrik emas dan gaji pasukannya yang berpartisipasi dalam perang di Yaman.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pendapatan dari emas yang diekstraksi dari tambang-tambang yang dikuasai Pasukan Dukungan Cepat antara tahun 2014 hingga 2016 mencapai sekitar 123 juta dolar AS. Laporan lain mengungkap bahwa perusahaan Kaloti asal Uni Emirat Arab memperoleh lebih dari 117 ton emas Sudan antara tahun 2012 dan 2019 melalui Perusahaan Al-Junaid, yang didirikan oleh Abdul Rahim Dagalo, saudara Hemedti.
Sementara itu, laporan Komite PBB menyebutkan bahwa pendapatan dari emas yang diselundupkan ke Uni Emirat Arab antara tahun 2010 hingga 2014 diperkirakan mencapai lebih dari 4,5 miliar dolar AS.
Pasukan Dukungan Cepat juga berupaya menambah sumber pendapatannya dengan mendirikan perusahaan-perusahaan investasi besar di dalam dan luar Sudan.
Keterlibatan Pasukan Dukungan Cepat dalam perang di Yaman juga dianggap telah memperkuat keuangan mereka, karena berbagai laporan menunjukkan adanya dukungan dari Uni Emirat Arab yang membantu meningkatkan perekrutan dan persenjataan pasukan.
Selain itu, partisipasi Pasukan Dukungan Cepat dalam penanganan migrasi ilegal bersama Uni Eropa dalam kerangka “Operasi Khartoum” menyebabkan adanya dukungan finansial Eropa terhadap pasukan ini.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera