Abdul Fattah al-Burhan — Dari Bayang-Bayang ke Orang Nomor Satu di Sudan
Siapa Abdul Fattah al-Burhan, Orang yang saat ini berkuasa di Sudan ?
rezaervani.com – 29 Agustus 2023 – Abdul Fattah al-Burhan adalah seorang perwira militer Sudan yang lahir pada tahun 1960. Ia meniti karier di berbagai posisi militer hingga menjadi pengawas utama pasukan militer Sudan. Namanya mulai dikenal publik setelah penggulingan presiden terguling Omar al-Bashir pada tahun 2019, ketika ia memimpin Dewan Militer dan kemudian Dewan Kedaulatan Sudan. Sejak Agustus 2021, ia menjadi orang nomor satu dalam pemerintahan Sudan.
Kelahiran dan Latar Belakang
Abdul Fattah al-Burhan lahir pada tahun 1960 di desa Qandtu, negara bagian Sungai Nil, di utara ibu kota Sudan, Khartoum. Desa tersebut — yang sebagian besar penduduknya berasal dari suku Shayqiyah — berjarak sekitar 173 kilometer dari Khartoum, dan kota bersejarah Shendi merupakan kota terdekatnya.
Ayahnya bernama al-Burhan Abdul Rahman al-Burhan, sedangkan ibunya, Safiyyah al-Siddiq, merupakan keturunan dari Syekh Ali al-Hafyan, salah satu tokoh sufi terkenal di Sudan. Kakeknya, Abdul Rahman al-Burhan, dimakamkan di kota al-Eidij di Sudan tengah, dan makamnya juga menjadi salah satu tempat ziarah sufi.
Abdul Fattah al-Burhan memiliki tujuh saudara kandung laki-laki dan dua saudara perempuan, serta saudara-saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Ia berasal dari keluarga muslim religius yang mengikuti tarekat Khatmiyyah, salah satu tarekat sufi yang berpengaruh di Sudan.
Al-Burhan menikah dengan Fatimah Suleiman dan memiliki tiga anak — dua laki-laki dan satu perempuan. Dalam beberapa tahun sebelum revolusi 2019 yang menggulingkan al-Bashir, ia banyak menghabiskan waktunya berpindah antara Yaman dan Uni Emirat Arab.
Pendidikan dan Pelatihan Militer
Al-Burhan menempuh pendidikan dasar dan menengah pertama di sekolah-sekolah di desanya, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di kota Shendi. Setelah itu, ia masuk Akademi Militer Sudan sebagai bagian dari angkatan ke-31 dan lulus dari sana. Ia juga mengikuti sejumlah pelatihan militer di Mesir dan Yordania hingga tahun 2018.
Karier Militer dan Politik
Setelah lulus dari akademi militer, al-Burhan bertugas di ibu kota Sudan dan berpindah-pindah antara berbagai unit angkatan darat. Ia bekerja lama bersama Pasukan Penjaga Perbatasan sebelum kemudian ditugaskan sebagai atase militer di Tiongkok. Setelah itu, ia diangkat menjadi komandan Pasukan Penjaga Perbatasan dan kemudian naik menjadi wakil kepala staf operasi angkatan darat, hingga akhirnya menjabat sebagai kepala staf pasukan darat.
Ia terlibat dalam sejumlah pertempuran bersama militer Sudan selama perang di selatan, sebelum pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011. Selain itu, ia juga memimpin berbagai operasi militer selama bertugas sebagai perwira infanteri dan pernah menjadi instruktur di lembaga-lembaga militer di wilayah Jebeit, Sudan timur.
Pada 26 Februari 2018, al-Bashir menaikkan pangkatnya dari letnan jenderal menjadi jenderal penuh dan mengangkatnya sebagai inspektur jenderal militer. Al-Bashir juga sempat menawarinya posisi gubernur di salah satu negara bagian, tetapi ia menolak.
Jabatan dan Tanggung Jawab
Sepanjang kariernya, Abdul Fattah al-Burhan menduduki sejumlah posisi penting, di antaranya:
- Mengawasi pasukan Sudan di Yaman bersama Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti) sejak 2015.
- Komandan Angkatan Darat Sudan pada tahun 2018.
- Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Sudan.
- Diangkat oleh Omar al-Bashir sebagai Inspektur Jenderal Angkatan Bersenjata pada 27 Februari 2018.
- Memimpin Dewan Militer Transisi setelah pengunduran diri Menteri Pertahanan, Letjen Awad bin Auf, pada April 2019.
- Menjabat sebagai Ketua Dewan Kedaulatan Sudan sejak tahun 2021.
Perannya dalam Kehidupan Politik Sudan
Nama Abdul Fattah al-Burhan mulai mencuat ketika ia memimpin Dewan Militer Transisi setelah penggulingan Omar al-Bashir oleh militer, menyusul gelombang demonstrasi yang melanda Sudan selama beberapa bulan.
Ia resmi mengucapkan sumpah jabatan pada 12 April 2019 sebagai ketua Dewan Militer yang mengambil alih pemerintahan Sudan pasca kejatuhan al-Bashir. Hal ini terjadi setelah Letnan Jenderal Awad bin Auf mundur dari jabatannya sebagai ketua dewan kurang dari 24 jam setelah menjabat karena tekanan publik.
Dengan demikian, al-Burhan menjadi kepala pemerintahan de facto di Sudan selama masa transisi, dan ia menunjuk Muhammad Hamdan Dagalo (Hemedti) sebagai wakilnya.
Pembantaian di Depan Markas Militer Sudan
Setelah penggulingan rezim al-Bashir dan berkuasanya Dewan Militer, para demonstran tetap bertahan di lokasi aksi duduk menuntut pemerintahan sipil dan menolak kekuasaan militer.
Pada 3 Juni 2019, pasukan militer — bekerja sama dengan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) — menyerang lokasi aksi duduk di depan markas besar militer dengan tujuan membubarkan massa secara paksa. Serangan itu menewaskan puluhan orang; laporan menyebut jumlah korban mencapai 128 orang, selain ratusan luka-luka dan hilang.
Pihak oposisi menuduh pasukan militer berusaha “menyembunyikan kejahatan mereka dengan membuang jenazah ke Sungai Nil,” tetapi tindakan itu terbongkar dan mayat-mayat berhasil ditemukan.
Sebuah komite penyelidikan dibentuk untuk menyelidiki peristiwa ini, namun tidak pernah berhasil menyerahkan laporan akhirnya kepada otoritas terkait.
Sejumlah kelompok politik di Sudan menyatakan bahwa langkah-langkah yang diambil al-Burhan pada Oktober 2021 telah menghentikan pekerjaan komite tersebut setelah ia “menyingkirkan” pemerintahan Perdana Menteri Abdullah Hamdok.
Pembentukan Dewan Kedaulatan Sudan
Pada Agustus 2019, setelah gelombang protes dan bentrokan di jalanan serta melalui negosiasi antara militer dan gerakan sipil yang dipimpin oleh Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan, tercapailah kesepakatan yang dikenal dengan “Dokumen Konstitusional.”
Kesepakatan tersebut menetapkan masa transisi yang akan dijalankan oleh Dewan Kedaulatan Sudan, terdiri dari 11 anggota — 5 dari kalangan sipil dan 5 dari militer yang ditunjuk oleh dewan transisi — dengan Abdul Fattah al-Burhan sebagai ketua.
Al-Burhan mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Dewan Kehakiman pada 21 Agustus 2019, sementara Abdullah Hamdok dilantik sebagai perdana menteri pada bulan yang sama.
“Kudeta” terhadap Pemerintahan Abdullah Hamdok
Para penentang al-Burhan menuduhnya melakukan “kudeta” terhadap pemerintahan Abdullah Hamdok pada 25 Oktober 2021, setelah ia mengumumkan keadaan darurat, membubarkan Dewan Kedaulatan serta pemerintahan transisi. Militer juga menangkap Hamdok, sebagian besar anggota kabinet, dan sejumlah pejabat serta pekerja media.
Aksi protes besar-besaran pun meletus di berbagai kota menolak negosiasi, kemitraan, serta pemerintahan militer. Namun, pada November 2021, al-Burhan dan Hamdok mencapai kesepakatan politik dalam kerangka “inisiatif nasional menyeluruh” yang ditandatangani oleh sejumlah kekuatan politik dan sosial.
Kesepakatan tersebut menetapkan kembalinya pemerintahan Hamdok, memperkuat kemitraan sipil-militer, dan membentuk pemerintahan teknokrat untuk melanjutkan masa transisi.
Perselisihan antara al-Burhan dan Hemedti
Sejak Oktober 2021, tanda-tanda perpecahan dan rivalitas antara al-Burhan dan Hemedti mulai tampak. Keduanya berupaya mencari dukungan regional dan internasional — terutama Hemedti, yang berusaha menjauhkan diri dari “kudeta” dan menampilkan diri sebagai pendukung tuntutan rakyat Sudan.
Pada Desember 2022, militer bersama beberapa kekuatan sipil menandatangani “Kesepakatan Kerangka Politik” untuk menetapkan masa transisi selama 24 bulan. Saat itu, al-Burhan menegaskan tidak ada campur tangan asing dalam kesepakatan tersebut, sementara Hemedti menyebut “kudeta” itu sebagai kesalahan politik yang memperdalam perpecahan, dan menegaskan pentingnya kesepakatan itu untuk menuju demokrasi.
Kesepakatan tersebut menetapkan masa transisi selama dua tahun, diakhiri dengan penyerahan kekuasaan kepada pemerintahan sipil serta pembentukan pemerintahan transisi pada Juli 2023.
Namun, kesepakatan ini justru memperlebar jurang perbedaan antara militer dan Pasukan Dukungan Cepat. Al-Burhan menegaskan bahwa keluarnya militer dari politik dan pembentukan pemerintahan sipil bergantung pada implementasi penuh kesepakatan, terutama integrasi RSF dan unifikasi institusi militer.
Meski Hemedti menandatangani dan menyetujui kesepakatan itu, para penentangnya menuduhnya “menghambat seluruh langkah pelaksanaan,” khususnya terkait proses integrasi pasukannya ke dalam angkatan bersenjata.
Dalam upaya menenangkan ketegangan, pada Maret 2023 digelar lokakarya “Reformasi Keamanan dan Militer” di Sudan, di bawah mediasi Komite Kuartet yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Namun lokakarya itu berakhir tanpa rekomendasi akhir, terutama mengenai isu integrasi RSF.
Ketegangan kembali memuncak pada April 2023 terkait jadwal integrasi RSF, posisi panglima tertinggi militer selama proses itu, serta status perwira RSF dalam hierarki militer masa depan.
Perselisihan ini akhirnya berubah menjadi konfrontasi bersenjata setelah RSF menempatkan pasukannya di kota Merowe, Sudan utara, dekat bandara kota pada 13 April 2023. Militer reguler kemudian memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut, hingga pecahlah pertempuran yang meluas ke berbagai kota di Sudan.
Sumber: Al Jazeera + Kantor Berita