Umar al-Basyir — Perwira yang Memerintah Sudan dengan “Revolusi Penyelamatan” dan Digulingkan oleh “Revolusi Rakyat”
rezaervani.com – 20 Maret 2025 – Umar al-Basyir adalah seorang perwira militer Sudan yang lahir pada tahun 1944 di desa Hosh Bannaga di negara bagian Sungai Nil. Ia lulus dari Akademi Militer Sudan pada tahun 1967 dan meniti karier hingga memimpin kudeta militer pada tahun 1989 dengan dukungan Front Islam Nasional (jaringan Islamis pimpinan Hassan al-Turabi). Kudeta tersebut dikenal dengan nama “Revolusi Penyelamatan Nasional.”
Selama tiga dekade pemerintahannya, Sudan mengalami berbagai konflik internal besar, termasuk perang berkepanjangan di Sudan Selatan dan di wilayah Darfur. Pada tahun 2009 dan 2010, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan dua surat perintah penangkapan terhadapnya atas tuduhan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.
al-Basyir tetap berkuasa hingga digulingkan oleh militer Sudan pada 11 April 2019, menyusul gelombang protes rakyat besar-besaran menentang rezimnya. Setelah kejatuhannya, ia diadili atas tuduhan korupsi dan perannya dalam kudeta militer.
Kelahiran dan Latar Belakang
Umar Hassan Ahmad al-Basyir lahir pada 1 Januari 1944 di desa Hosh Bannaga, pinggiran kota Shendi di negara bagian Sungai Nil, dalam keluarga petani. Ia berasal dari suku al-Badriyyah al-Dahmashiyyah yang berdarah Arab dan banyak bermukim di wilayah utara Sudan.
Ia menikah dengan sepupunya, Fatimah Khalid, kemudian dengan Wedad Babikr — janda rekannya dalam Dewan Komando Revolusi, Ibrahim Shams al-Din.
Pendidikan dan Pembentukan Akademis
al-Basyir menempuh pendidikan dasar di daerah asalnya, lalu pindah bersama keluarganya ke ibu kota Khartoum, di mana ia menyelesaikan pendidikan menengahnya. Ia lulus dari Akademi Militer Sudan pada tahun 1967 dan memperoleh gelar Magister Ilmu Militer dari Command and Staff College di Malaysia.
Ia juga mengikuti berbagai pelatihan militer, termasuk kursus instruktur terjun payung di Mesir, kursus perang di Akademi Militer Nasser, dan pelatihan di Pakistan. Selain itu, ia meraih gelar fellowship dari Akademi Sudan untuk Ilmu Administrasi dan Magister Studi Sosial dari Universitas Gezira.
Arah Pemikiran
al-Basyir berhaluan Islamis dan terlibat bersama Syekh Hassan al-Turabi dalam pembentukan Front Islam Nasional, yang bertujuan menerapkan syariat Islam di Sudan.
Front tersebut memimpin kudeta 1989 yang dikenal sebagai “Revolusi Penyelamatan Nasional.” Setelah itu, al-Basyir mendirikan Partai Kongres Nasional (National Congress Party) yang ia pimpin — salah satu sayap utama dari gerakan Islam Sudan yang berorientasi pada Islam politik konservatif.
Namun, setelah terjadi perpecahan dengan Hassan al-Turabi, yang kemudian mendirikan partai oposisi Kongres Rakyat (Popular Congress Party), al-Basyir memimpin pemerintahan dengan pendekatan berbeda dari rekan-rekannya dalam gerakan Islam.
Karier Militer
Sejak muda, al-Basyir bergabung dengan angkatan bersenjata Sudan dan cepat meniti karier di berbagai posisi. Ia bertugas di Komando Militer Barat, pasukan lintas udara, dan kemudian menjadi komandan Brigade Kedelapan. Ia juga pernah bertugas di luar negeri, termasuk di Uni Emirat Arab sebagai perwira pinjaman di militer UEA.
Ia turut serta dalam Perang Oktober 1973 ketika Mesir dan Suriah melawan pendudukan Israel untuk merebut kembali Semenanjung Sinai dan Dataran Tinggi Golan.
Pada pertengahan 1980-an, ia memainkan peran penting dalam kampanye militer melawan pemberontak Tentara Pembebasan Rakyat Sudan (SPLA), sayap bersenjata Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan yang dipimpin John Garang di selatan negara itu.
Pada 30 Juni 1989, ketika berpangkat brigadir, al-Basyir memimpin kudeta militer dengan dukungan Front Islam Nasional pimpinan Hassan al-Turabi. Kudeta itu menggulingkan pemerintahan sipil Perdana Menteri terpilih saat itu, Sadiq al-Mahdi.
Setelah kudeta, al-Basyir membubarkan parlemen, melarang partai politik, memberlakukan keadaan darurat, dan menghentikan penerbitan surat kabar besar. Ia kemudian membentuk Dewan Komando Revolusi Penyelamatan Nasional dengan dirinya sebagai ketua, naik pangkat menjadi jenderal penuh, dan merangkap jabatan sebagai presiden negara, perdana menteri, menteri pertahanan, sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata Sudan.
Presiden Sudan
Pada Oktober 1993, Dewan Komando Revolusi dibubarkan, dan Omar al-Bashir tetap memegang kekuasaan sebagai presiden militer Sudan sekaligus pemimpin Partai Kongres Nasional. Ia kemudian terpilih sebagai presiden melalui pemilihan umum pada tahun 1996, sementara Hassan al-Turabi terpilih secara aklamasi sebagai ketua parlemen (Majelis Nasional).
Pada 30 Juni 1998, al-Bashir menandatangani konstitusi baru yang mengakhiri pelarangan terhadap partai politik. Namun, tak lama kemudian terjadi perpecahan antara dirinya dan al-Turabi, yang berujung pada pemecatan al-Turabi dari seluruh jabatan pemerintahan dan partai.
Pada Desember 1999, al-Bashir mengumumkan keadaan darurat selama tiga bulan dan membubarkan parlemen. Keputusan itu kemudian diperpanjang hingga akhir 2001.
Pada Desember 2000, pemilihan umum kembali digelar — sebagian besar partai oposisi memboikotnya — dan al-Bashir kembali terpilih untuk masa jabatan lima tahun, berjanji akan mengupayakan perdamaian nasional, terutama di wilayah selatan.
Pada tahun 2010, al-Bashir pensiun dari jabatan panglima tertinggi militer dengan pangkat Marsekal Lapangan untuk memenuhi persyaratan hukum dalam mencalonkan diri kembali sebagai presiden. Ia memenangkan pemilihan dengan 68% suara, setelah calon utama oposisi mundur dengan tuduhan adanya kecurangan dalam proses pemilu.
Pada September 2013, pecah gelombang protes besar-besaran setelah pemerintah memutuskan mencabut subsidi bahan bakar minyak serta menerapkan kebijakan ekonomi lain yang memperburuk kondisi warga. Para demonstran menyerukan penggulingan rezim al-Bashir, menuduhnya gagal mengelola negara. Namun, protes itu akhirnya mereda.
Tindakan keras aparat keamanan terhadap demonstran menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, ratusan lainnya terluka, dan lebih dari 2.000 aktivis serta tokoh politik ditangkap, menurut laporan lembaga hak asasi manusia.
Dalam pemilihan umum tahun 2015, al-Bashir kembali menang dan mempertahankan kursi kepresidenan. Namun, tingkat partisipasi pemilih rendah dan komunitas internasional mengecam pemilu tersebut karena dianggap tidak berlangsung dalam suasana demokratis yang bebas dan adil.
Perang Saudara
Akar perang saudara di Sudan Selatan telah berlangsung selama beberapa dekade, dengan alasan utama berupa ketimpangan, tuntutan pembagian kekuasaan dan sumber daya, serta seruan untuk memisahkan agama dari negara.
Pada tahun 1992, al-Bashir menandatangani perjanjian pertama mengenai hak menentukan nasib sendiri dengan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan – Faksi Nasser yang dipimpin Lam Akol.
Pada tahun 1993, berlangsung Konferensi Abuja II antara pemerintah dan sejumlah pejabat dari wilayah barat dan selatan, yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata, melanjutkan dialog terkait isu agama dan negara, serta menegaskan komitmen terhadap persatuan Sudan. Namun, John Garang menolak menandatangani kesepakatan tersebut.
Pada tahun 1994, rezim al-Bashir menolak menandatangani inisiatif yang diajukan oleh Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan pimpinan Garang dan Gerakan Persatuan Rakyat Sudan pimpinan Riek Machar, yang menekankan persatuan Sudan dengan syarat pemisahan antara agama dan politik. Namun, pemerintah akhirnya menandatangani perjanjian tersebut pada tahun 1997.
Serangkaian perjanjian kemudian ditandatangani hingga tercapainya Perjanjian Damai Komprehensif pada tahun 2005 antara pemerintahan al-Bashir dan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan pimpinan Garang. Perjanjian itu memberi hak bagi rakyat Sudan Selatan untuk menentukan nasib sendiri. Hasil referendum tahun 2011 menunjukkan sekitar 98% pemilih memilih untuk memisahkan diri, yang mengarah pada kemerdekaan resmi Sudan Selatan.
Sementara itu, di wilayah Darfur, konflik bersenjata pecah pada tahun 2003 ketika Gerakan Pembebasan Sudan dan Gerakan Keadilan dan Persamaan memberontak terhadap pemerintahan al-Bashir, menuduhnya menelantarkan wilayah tersebut.
Untuk menghadapi pemberontakan, al-Bashir memanfaatkan milisi Janjaweed — yang kemudian melahirkan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) — dan dituduh melakukan kekerasan brutal, menghalangi bantuan kemanusiaan, serta menyebabkan lebih dari dua juta orang mengungsi.
Seiring meningkatnya kekerasan, al-Bashir akhirnya menyetujui pengiriman pasukan penjaga perdamaian terbatas dari Uni Afrika, tetapi menolak pengerahan pasukan PBB berskala besar. Pada akhirnya, kedua lembaga tersebut membentuk pasukan gabungan UNAMID (Misi Gabungan PBB–Uni Afrika di Darfur), yang mulai dikerahkan pada tahun 2008.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera