Siapa Muhammad Hamdan Dagalo “Hemedti”, Pimpinan RSF ? (Bagian Kedua)
Siapa Muhammad Hamdan Dagalo, Pemimpin RSF yang terlibat dalam pusaran konflik Sudan ?
Perselisihan dengan al-Burhan
Hingga saat “langkah-langkah luar biasa” yang diambil oleh al-Burhan pada Oktober 2021, hubungan antara dirinya dan wakilnya, Hemedti, masih berjalan baik. Saat itu, Hemedti menikmati kekuasaan yang luas, terutama dalam menentukan para pejabat pemerintahan di tingkat negara bagian.
Keduanya sempat menjadi sekutu melawan kekuatan sipil setelah penggulingan al-Bashir. Al-Burhan menjadi ketua Dewan Kedaulatan sekaligus panglima angkatan bersenjata, sementara Hemedti menjabat wakil ketua dewan tersebut.
Namun, pada Mei 2021, perselisihan antara keduanya mengenai kekuasaan dan pengaruh mulai memanas hingga hampir berujung pada konfrontasi bersenjata. Perdana Menteri Abdullah Hamdok bersama anggota sipil Dewan Kedaulatan turun tangan untuk menengahi, hingga keduanya sepakat mengakhiri kemitraan dengan Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan pada 25 Oktober 2021.
Setelah itu, Hemedti kembali melontarkan tuduhan terhadap al-Burhan. Ia mengatakan bahwa dirinya telah “hidup dalam tipuan” penggulingan al-Bashir, menuduh al-Burhan memiliki “agenda” untuk mengembalikan rezim al-Bashir ke tampuk kekuasaan. Ia juga menyatakan ketidakmampuannya membentuk pemerintahan eksekutif di tengah krisis ekonomi yang memburuk dan situasi keamanan yang terus menurun. Hemedti kemudian “mengasingkan diri” di Darfur, menuding adanya tangan intelijen militer yang memicu kekacauan di Republik Afrika Tengah, serta mengkritik kinerja lembaga keamanan yang setia kepada al-Burhan.
Militer mulai melihat ancaman besar dari meningkatnya kekuatan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Hemedti — baik karena mereka memiliki persenjataan modern maupun karena anggaran besar yang bersumber dari kemandirian finansial pasukan tersebut. Hemedti juga mulai membangun aliansi baru dengan para tokoh suku dan pemuka tarekat sufi, sementara militer berusaha mencari figur sipil untuk melanjutkan masa transisi dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan terpilih yang tidak akan mengganggu kepentingan mereka.
Menjelang akhir tahun 2022, Hemedti secara sepihak menyatakan dukungannya terhadap konstitusi transisi yang disusun oleh Asosiasi Pengacara Sudan. Konstitusi itu menegaskan penghapusan peran militer dalam pemerintahan dan penggabungan seluruh kekuatan bersenjata lainnya ke dalam tentara nasional Sudan sebagai bagian dari reformasi keamanan dan militer yang menyeluruh.
Usulan penyelesaian politik antara pihak militer dan sipil kemudian muncul pada Agustus 2022 dengan dukungan regional dan internasional. Hemedti menunjukkan antusiasme tinggi terhadap kesepakatan ini, berbeda dengan al-Burhan yang menerimanya dengan “sangat hati-hati.”
Pada 5 Desember 2022, al-Burhan dan Hemedti menandatangani perjanjian kerangka awal bersama pihak sipil untuk mengakhiri krisis politik di Sudan. Kesepakatan itu mencakup peluncuran lima lokakarya yang difokuskan pada reformasi keamanan dan militer, keadilan, serta keadilan transisi. Meskipun al-Burhan menandatangani perjanjian tersebut, ia kemudian menegaskan berulang kali bahwa pelaksanaannya harus disertai dengan integrasi Pasukan Dukungan Cepat ke dalam angkatan bersenjata.
Pada Februari 2023, Hemedti mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan penyesalannya karena telah berpartisipasi dalam apa yang ia sebut sebagai “kudeta” 25 Oktober — mengacu pada langkah-langkah luar biasa yang diambil al-Burhan. Pernyataan itu diikuti dengan terhambatnya pelaksanaan lokakarya reformasi keamanan dan militer sebagaimana diatur dalam perjanjian.
Pada 15 Maret 2023, al-Burhan dan Hemedti menandatangani “Dokumen Reformasi Keamanan dan Militer” di bawah mediasi Komite Kuartet yang terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Dokumen tersebut menetapkan batas waktu maksimal 10 tahun untuk integrasi penuh Pasukan Dukungan Cepat ke dalam tentara. Namun, perbedaan pandangan kembali muncul mengenai mekanisme dan detail proses integrasi tersebut.
Upaya mediasi antara kedua belah pihak kemudian dilakukan, tetapi semuanya gagal tanpa menghasilkan solusi. Titik utama perbedaan adalah bahwa al-Burhan dan pendukungnya menegaskan Pasukan Dukungan Cepat harus berada di bawah komando panglima militer, sementara Hemedti berpendapat bahwa pasukan itu seharusnya berada langsung di bawah kepala negara, sesuai dengan isi perjanjian kerangka awal.
Pada April 2023, perselisihan antara Hemedti dan al-Burhan memuncak terkait jadwal integrasi Pasukan Dukungan Cepat, siapa yang akan menjadi panglima angkatan bersenjata selama masa transisi integrasi, serta posisi para perwira RSF dalam hierarki militer di masa depan.
Pada 13 April 2023, Pasukan Dukungan Cepat bergerak menuju kota Merowe di Sudan utara dan membangun markas dekat bandara Merowe, di mana terdapat pangkalan udara yang dilaporkan menampung unsur militer Mesir yang dikirim untuk membantu tentara Sudan dalam perang yang diperkirakan akan pecah melawan Pasukan Dukungan Cepat.
Penempatan pasukan Hemedti itu memicu kemarahan militer, yang kemudian memperkuat kehadirannya di wilayah tersebut dengan tambahan pasukan. Situasi pun berkembang menjadi bentrokan bersenjata yang menyebar ke berbagai kota di Sudan, di tengah saling tuding antara kedua pihak mengenai siapa yang memicu percikan pertama konflik ini.
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera