Kereta Api Hijaz, Proyek Sultan Abdul Hamid dan Dunia Islam (Bagian Ketiga)
Artikel Kereta Api Hijaz, Proyek Sultan Abdul Hamid dan Dunia Islam masuk dalam Kategori Sejarah Ummat Islam
Peluncuran Kereta Api Pertama
Setelah sekitar 8 tahun bekerja dan menghadapi berbagai kendala internal dan eksternal, baik manusia, teknis, alam, maupun finansial, Jalur Hijaz akhirnya diresmikan. Kereta api pertama tiba di Madinah dari Damaskus, dekat dengan jalur sejarah kafilah Suriah, pada 23 Agustus 1908. Di dalamnya turut serta perwakilan pemerintah Utsmaniyah, jurnalis lokal dan asing, serta tamu undangan.
Sementara itu, upacara peresmian resmi ditunda hingga 25 Sya’ban 1326 H (1 September 1908) agar bertepatan dengan peringatan naik tahta Sultan. Acara saat itu dihadiri oleh 30.000 undangan dan perwakilan dari surat kabar asing.
Majalah Al-Muqattaf Mesir melaporkan bahwa kerumunan massa mengangkat Insinyur Mukhtar Bey dan Jawad Pasha di atas pundak sebagai bentuk penghormatan selama upacara peresmian tersebut. Referensi lain menyebutkan bahwa Izzet Pasha saat itu telah dicopot dari jabatannya dan diasingkan setelah kudeta konstitusional terhadap Sultan, sehingga namanya tidak disebut-sebut dalam perayaan.
Layanan Rutin dan Dampaknya
Setelah peresmian, dijalankanlah perjalanan rutin dengan 15 lokomotif antara Damaskus dan Madinah, tiga kali seminggu. Setiap perjalanan secara resmi memakan waktu 56 jam. Selain itu, ada tujuh perjalanan dari Haifa ke Damaskus yang masing-masing memakan waktu 12 jam.
Pertukaran barang dan perpindahan penumpang pun dimulai setiap hari antara Haifa dan Damaskus. Pada musim haji, disediakan tiga kereta api khusus. Khédive Abbas Hilmi II bahkan telah menggunakan kereta api ini untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1910.
Jadwal pergerakan kereta api dan pemberhentiannya diatur sesuai dengan waktu shalat lima waktu. Salah satu gerbongnya diubah menjadi masjid berjalan dan ditunjuk seorang imam untuk memimpin shalat. “Al-Mahmal an-Nabawi asy-Syarif” atau “As-Surrah as-Sulthaniyah” (kiriman Sultan yang mulia) yang biasanya dikirim oleh Sultan Utsmaniyah disertai hadiah ke Tanah Suci, kini dibawa dengan kereta api menggantikan jalur laut sebelumnya.
Rencananya, proyek jalur ini akan dilanjutkan hingga Mekah. Namun, Syarif Hussein bin Ali, yang menjadi Emir Hijaz pada tahun itu, menghalangi upaya penyelesaiannya meskipun negara telah menawarkan berbagai keuntungan kepadanya.
Akibatnya, perjalanan dari Madinah ke Mekah tetap menggunakan kafilah seperti sebelumnya. Jamaah haji yang datang melalui laut ke Jeddah masih harus menempuh perjalanan ke Mekah dan Madinah dengan unta, sedangkan jamaah dari Irak datang ke Tanah Suci melalui padang pasir.
Layanan dan Manfaat
Jalur Kereta Api Hijaz menjadi alternatif yang lebih aman dari jalur darat untuk kafilah haji. Jalur ini mempersingkat waktu tempuh dari 40 hari menjadi hanya 4 hari dengan biaya 3.50 Pound Sterling. Ia juga menyediakan jalan yang aman dari serangan badui yang sebelumnya menghabiskan kas negara 150.000 Lira emas, ditambah 60.000 Lira emas untuk mengamankan jalan tersebut.
Selain itu, jalur kereta api ini menciptakan transformasi sosial di daerah-daerah yang dilaluinya melalui pembangunan stasiun-stasiun. Hal ini mendorong penetapan suku-suku dan komunitas badui, serta meningkatkan pengembangan pertanian dan perdagangan pada masa itu. Jalur ini juga berkontribusi pada meningkatnya jumlah pelancong dan penjelajah yang memasukkan Hijaz ke dalam karya intelektual mereka dan mencantumkan bab khusus tentangnya dalam tulisan-tulisan mereka.
Wujud Kemakmuran dan Manfaat Militer
Di antara bukti kemakmuran yang dibawa adalah penerangan listrik untuk pertama kalinya di Madinah dan pembangunan gedung-gedung besar yang menghadap ke lapangan stasiun. Haifa berubah menjadi pelabuhan regional dan kota dagang, serta terbentuknya ciri-ciri permukiman pertama Amman di sebelah barat rel. Di antara fitur penting proyek ini adalah sepuluh jembatan di Amman yang masih berdiri hingga hari ini.
Di sisi lain, pembangunan jalur ini menjadi perwujudan praktis dan terpenting dari gagasan Al-Jami’ah Al-Islamiyah (Persatuan Islam). Ia juga berperan dalam menunjukkan bahwa Kesultanan Utsmaniyah masih menjaga kekuatan finansial serta kemampuan teknis dan tekniknya.
Negara juga mendapat manfaat militer dari jalur ini, karena memudahkan pasukan Utsmaniyah mencapai selatan Jazirah Arab dan memungkinkan pembuatan peralatan militer di “Ma’mal al-Qadam” untuk kepentingan pasukan tersebut. Jalur ini menjadi sarana transportasi penting ke semenanjung Arab, khususnya untuk memperkuat pasukan yang ditempatkan di Yaman dan Hijaz selama Perang Dunia I.
Jalur ini juga menjadi penyebab bertahannya pasukan Utsmaniyah di selatan Palestina selama sekitar dua tahun melawan pasukan Inggris, serta perlawanan mereka terhadap pasukan “Pemberontakan Arab” selama sekitar tiga tahun.
Penentangan dan Posisi Permusuhan
Suku-suku Badui menentang pembangunan Jalur Kereta Api Hijaz. Mereka menyebut keretanya ‘Abdan dan melancarkan serangan ganas terhadap tentara dan fasilitas. Penanganannya dilakukan melalui pemberian hadiah, menyematkan jubah kehormatan kepada para syekh suku, serta mempekerjakan anggota suku dan marga dalam pekerjaan konstruksi.
Inggris dan Prancis juga mengambil sikap permusuhan terhadap proyek ini karena dinilai bertentangan dengan kepentingan mereka di wilayah tersebut. Mereka berusaha membatasi pembangunannya, menghalangi proses pengumpulan sumbangan di koloni-koloni mereka, lalu merencanakan proyek-proyek tandingan agar jalur ini tidak beroperasi mengingat pentingnya secara militer.
Inggris berada di balik penghancuran Jalur Hijaz. Pejabat mereka menghasut orang-orang Badui untuk menghancurkan jembatan, mencabut rel, dan meledakkan kereta api. Pada tahun 1917, perwira Inggris Thomas Edward Lawrence, yang dikenal sebagai “Lawrence of Arabia”, bergabung dengan “Pemberontak Arab” dan memimpin serangan terhadap Kereta Api Hijaz dengan pelontar bom yang menghancurkannya.
Referensi sejarah menyebutkan bahwa Lawrence memberikan sepotong emas kepada para perampok Badui untuk setiap rel yang dicabut dan dihancurkan di jalur antara Ma’an dan Madinah.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera