Mengapa Bangsa Rusia Menolak Islam dan Memeluk Ortodoks ? (Bagian Ketiga)
oleh Muhammad Sya‘bān Ayyūb
Artikel Mengapa Rusia Menolak Islam dan Memeluk Ortodoks ? ini masuk dalam Kategori Sejarah
Pada akhirnya, Pangeran Vladimir I, yang oleh bangsa Rusia dijuluki “Santo Vladimir”, bersama para bangsawan dari lingkaran istananya, memutuskan untuk memeluk agama Kristen Ortodoks. Kronik Nestor menggambarkan pembaptisan penduduk Kiev dengan adegan yang dramatis: Vladimir terlebih dahulu memerintahkan agar semua patung dewa pagan dihancurkan, terutama patung dewa Perun.
Meskipun sebagian warga merasa sedih kehilangan dewa-dewa lama mereka, semua orang menaati perintahnya. Mereka turun ke Sungai Dnieper, tempat upacara pembaptisan dilakukan bagi rakyat dari segala usia dan kelas sosial. Kronik itu menyebutkan bahwa peristiwa tersebut berlangsung pada tanggal 1 Agustus (menurut kalender Timur) atau 14 Agustus (menurut kalender Barat) — hari yang kemudian dijadikan hari raya keagamaan dalam Gereja Ukraina.
Untuk menata kehidupan keagamaan, Vladimir I mengeluarkan sebuah undang-undang yang menetapkan sepersepuluh harta kekayaan negara diserahkan kepada gereja — yang kemudian dikenal sebagai “pajak sepersepuluh” (decima). Ia juga memberikan berbagai hak kepada para rohaniawan. Catatan pertama tentang jabatan “Metropolitan Rusia” muncul pada tahun 1039, sebagaimana disebutkan oleh Ensiklopedia Dunia Ukraina di situs resminya.
Dengan demikian, tulisan-tulisan Kristen dan budaya gereja mulai tersebar di seluruh wilayah Ukraina dan Rusia. Vladimir I mendirikan sekolah-sekolah dan membangun gereja-gereja, dimulai dari Kiev lalu menyebar ke kota-kota lain. Para imam yang datang dari Khersones — yang kini dikenal sebagai Kherson dan dahulu termasuk wilayah Bizantium serta merupakan salah satu pusat lama Ortodoksi — menjadi pengajar. Mereka menguasai bahasa Slavia, sehingga upacara keagamaan dapat dilaksanakan dalam bahasa Slavia.
Yang menarik, masuknya agama Kristen Ortodoks ke wilayah Rusia dan Ukraina tidak menyebabkan dominasi politik Bizantium, tetapi justru membuka jalur komunikasi baru dengan tetangga-tetangga dekat maupun jauh. Vladimir I berupaya memberi gereja yang baru posisi yang sama dalam struktur negaranya seperti halnya dalam Kekaisaran Bizantium. Ensiklopedia Ukraina mencatat bahwa Kristen Ortodoks memperkuat kesatuan keagamaan dari entitas politik yang dibangun oleh Vladimir I.

Alasan-alasan Lain
Menarik untuk dicatat bahwa keputusan politik Vladimir dalam mengumumkan keputusannya memeluk Ortodoksi bersama rakyatnya memiliki alasan yang lebih mendalam daripada sekadar keyakinannya terhadap argumen sang filsuf dan pengkhotbah dari Konstantinopel. Seperti dijelaskan dalam Ensiklopedia Inggris dan Ensiklopedia Ukraina dalam biografi Pangeran Vladimir I atau “Vladimir Agung”, Kiev — ibu kota bangsa Rus pada masa paganisme — telah terhubung secara strategis dengan Bizantium melalui jalur perdagangan air yang menghubungkan Laut Baltik dan Laut Hitam melalui Sungai Dnieper.
Letak geografis ini membuat ketergantungan ekonomi dan politik Kiev jauh lebih besar terhadap Bizantium dibandingkan hubungan yang dimilikinya melalui Sungai Volga dengan pusat-pusat Islam di timur. Arah geografis jalur perdagangan dan pajak tersebut memperkuat posisi Konstantinopel sebagai mitra dagang utama, penengah politik, serta acuan budaya dan peradaban yang dikagumi oleh bangsa Rusia.
Para peneliti Simon Franklin dan Jonathan Shepard menegaskan gagasan ini dalam buku mereka The Emergence of Rus (Bangkitnya Bangsa Rus), dengan menyebut bahwa jalur-jalur perdagangan itu sendiri memaksa para elit Rusia awal untuk terhubung dengan struktur Bizantium dan mengenalnya lebih dekat daripada dengan tetangga-tetangga lainnya.
Lebih penting lagi, nenek dari Pangeran Vladimir, yaitu Putri Olga, telah memeluk Ortodoksi tiga dekade sebelumnya. Sejarawan Lev Gumilyov dalam bukunya Sejarah Rusia dari Suku hingga Bangsa menjelaskan bahwa pengaruh Gereja Ortodoks Bizantium telah menyebar secara bertahap bahkan sebelum pembaptisan resmi pada tahun 988 M. Gereja telah membangun tempat ibadah dan biara, mengajarkan baca tulis dan seni rupa, serta menciptakan kehidupan berdampingan antara mereka yang telah dibaptis dan kaum pagan yang masih mempertahankan kepercayaan lama mereka.
Mengadopsi agama negara merupakan keputusan strategis yang juga berkaitan dengan penguatan legitimasi politik dan pengokohan aliansi. Memeluk Ortodoksi memungkinkan Vladimir mempererat hubungan perkawinan dan politik dengan istana Konstantinopel — termasuk menikahi saudari Kaisar Bizantium — serta membuka jalan bagi pengakuan dan kerja sama timbal balik.
Sementara itu, Islam dan Yudaisme dipandang bangsa Rusia lebih terkait dengan para pesaing mereka: kaum Muslim Bulgar Volga yang menjadi musuh langsung Kiev, serta bangsa Khazar yang memeluk Yudaisme tetapi tidak menjadi sumber inspirasi bagi Rusia. Selain itu, Islam juga berhubungan dengan jaringan perdagangan di pasar-pasar jauh di tenggara, yang tidak memiliki pengaruh langsung terhadap pusat kekuasaan Kiev.
Hal ini juga ditegaskan oleh sejarawan Amerika keturunan Rusia, George Vernadsky, dalam bukunya Russia of Kiev (Rusia Kiev). Ia menjelaskan bahwa kisah Vladimir yang mendengarkan para duta dan pengkhotbah berbagai agama, serta mengirim utusan untuk mempelajari ajaran agama-agama tersebut, mencerminkan persaingan agama dan politik yang terjadi pada masa itu.
Para utusan Vladimir paling terkesan dengan ritual peribadatan Bizantium di Gereja Hagia Sophia di Konstantinopel. Mereka kembali dengan penilaian yang sangat mengagungkan kemegahan visual dan musikal upacara keagamaan Bizantium, yang pada akhirnya membuat pilihan Vladimir condong ke arah Kristen Timur (Ortodoks). Vernadsky menilai kisah ini menggambarkan orientasi para elit Rusia terhadap solusi yang dapat memberikan pengakuan internasional dan integrasi kelembagaan melalui Gereja Bizantium — bukan sekadar pengalaman spiritual sesaat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, penolakan bangsa Rusia terhadap Islam — dengan syariatnya yang melarang minuman keras dan daging babi, serta mewajibkan khitan — berkaitan erat dengan gaya hidup kalangan elit penguasa Rusia, yang terbiasa dengan pesta, jamuan besar, dan simbol-simbol sosial yang erat kaitannya dengan minuman beralkohol.
Sebaliknya, agama Ortodoks tampak lebih mampu menyerap unsur-unsur folklor dan tradisi musiman Rusia ke dalam ritual gereja yang baru, sehingga biaya peralihan budaya menjadi lebih ringan. Hal ini juga disinggung oleh Andrei Poppe dalam penelitiannya The Christianization of Kievan Rus and Their Church Structure until 1300 (Kristenisasi Rusia Kiev dan Struktur Gereja Mereka hingga Tahun 1300).
Itulah sebagian pandangan dan penjelasan yang membahas alasan-alasan historis mengapa bangsa Rusia, pada titik balik sejarah mereka di abad ke-10 Masehi, dihadapkan pada pilihan antara Islam, Yudaisme, dan Kristen — dan akhirnya memilih Kristen Ortodoks karena berbagai faktor sebagaimana telah kita lihat.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera