Kelaparan Adalah Kejahatan Perang: Mengapa Pelakunya Jarang Diadili?
Kalika Mehta dan Riley Linebaugh
Apa yang dilakukan oleh Tentara Zionis pada rakyat Gaza, yakni membiarkan mereka kelaparan dengan sengaja sesungguhnya adalah suatu kejahatan, karena Kelaparan Adalah Kejahatan Perang. Tapi mengapa sering luput dan pelakunya jarang diadili ?
rezaervani.com – 6 Oktober 2025 – Pada 23 September 1943, surat kabar The Statesman di India menulis: “Dalam pekan yang berakhir pada 18 September, jumlah kematian mencapai 1.319… sejak 16 Agustus, rumah sakit kota menerima 4.338 korban kelaparan, 972 di antaranya meninggal dunia. Sementara jenazah yang diangkat dari jalan-jalan dan rumah sakit oleh pasukan polisi dan dua lembaga nonresmi sejak 1 Agustus berjumlah 2.527.”
Pada bulan itu, Bengal berada di bawah cengkeraman kelaparan buatan yang menewaskan ribuan orang setiap minggu. India, yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris, terlibat dalam Perang Dunia II sejak 1939 sebagai pemasok tentara, bahan mentah, kredit, dan juga sebagai front strategis dalam kampanye Sekutu melawan Jepang.
Pada tahun 1942, pihak kolonial memberlakukan kebijakan “bumi hangus” yang dimodifikasi di wilayah Assam, Bengal, Bihar, Orissa, dan sebagian Madras. Tentara diperintahkan untuk menghancurkan atau menyingkirkan persediaan makanan serta menonaktifkan jalur transportasi darat, laut, kereta api, dan sungai.
Alasannya adalah untuk mencegah Jepang memperoleh sumber daya, tetapi hasilnya justru membuat jutaan warga sipil kehilangan makanan.
Di London, lebih dari lima ribu mil jauhnya, Menteri Urusan India, Leo Amery, memohon kepada pemerintahan perang Winston Churchill agar mengirim 500 ribu ton gandum untuk menyelamatkan Bengal dari kelaparan. Namun, pemerintah menolak permintaan itu dan hanya menyetujui kurang dari seperempat jumlah tersebut.
Kemudian, Amery menulis bahwa pemerintah menganggap persoalan itu sebagai “berlebihan dari pihak India”. Seiring berjalannya waktu, jumlah korban kelaparan dan wabah yang ditimbulkannya meningkat hingga mencapai tiga juta jiwa.
Di tengah sensor ketat yang melarang media memberitakan hal-hal yang bisa menimbulkan ketakutan atau kepanikan, The Statesman menerbitkan laporan tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap perintah.
Pemerintah kolonial lebih memilih cerita yang menyoroti upaya bantuan dan menggambarkan kelaparan sebagai bagian dari “masalah pengemis” yang kronis. Narasi ini membuat kelaparan tampak seperti hal yang wajar dan melekat pada kemiskinan, menyembunyikan skala sebenarnya dari bencana itu, dan menampilkan kolonialisme Inggris sebagai penguasa yang penuh kasih. Bahkan, para pejabat mengganti kata “kelaparan” atau “makanan” dengan istilah “orang miskin yang sakit” dalam laporan kematian, sebagai upaya menggambarkannya sebagai nasib tak terelakkan, bukan akibat dari kebijakan yang disengaja.
Namun demikian, meski beberapa media menentang larangan dengan mengungkapkan kenyataan, hal itu tidak pernah berujung pada pertanggungjawaban hukum bagi siapa pun. Sebab, para perancang hukum internasional setelah perang adalah orang-orang yang juga menggunakan blokade dan kelaparan sebagai senjata dalam perang dan kolonialisme mereka, dan mereka tidak ingin mengkriminalisasi alat yang telah lama mereka gunakan.
Sebagaimana dijelaskan oleh para peneliti Nicholas Mulder dan Boyd van Dijk, Inggris dan Prancis pada abad ke-20 lebih memilih blokade karena dianggap sebagai “intervensi fisik pasif dengan risiko rendah dan hasil tinggi sebagai strategi perang.”
Keraguan untuk mengakui kelaparan sebagai senjata kekerasan telah meninggalkan jejak mendalam dalam hukum internasional hingga hari ini.
Kelaparan dalam Hukum Internasional
Hukum internasional dengan jelas melarang penggunaan kelaparan yang disengaja terhadap warga sipil sebagai senjata perang. Protokol tambahan Konvensi Jenewa tahun 1977 melarang penggunaan kelaparan terhadap warga sipil. Lebih jauh lagi, Statuta Roma dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menetapkan kelaparan sebagai kejahatan perang yang dapat diadili.
Namun, meskipun ketentuan hukumnya jelas, menuntut pelaku kejahatan ini tetap sulit. Mengapa demikian?
Kendala dalam Penuntutan
Kelaparan berbeda dengan bom atau pembantaian. Ia terjadi perlahan, menyebar, dan sering kali tersembunyi di balik kebijakan resmi. Untuk membuktikan kejahatan ini, jaksa harus menunjukkan adanya “niat”, yaitu bahwa para pemimpin dengan sengaja membuat warga sipil kelaparan, bukan karena salah urus atau kegagalan menjaga rantai pasokan.
Blokade, sanksi, dan embargo sering kali dipresentasikan sebagai tindakan militer yang “sah”, sehingga mengaburkan batas antara kebijakan dan kejahatan. Selain itu, menuntut individu atas kekerasan yang bersifat struktural dan sistemik merupakan tugas yang sangat rumit.
Mengapa Harus Dihukum Meski Sulit?
Kesulitan bukanlah alasan. Kelaparan menimbulkan kehancuran yang tak kalah parah dibanding senjata konvensional, sebagaimana terlihat di Gaza saat ini. Ia menghancurkan masyarakat, meninggalkan luka fisik, psikologis, dan ekonomi yang berlangsung lama.
Karena sifatnya yang sistemik — bekerja perlahan, tersembunyi, dan terlindungi oleh kebijakan — maka kebutuhan untuk menegakkannya secara hukum menjadi semakin mendesak.
Selama ini, kelaparan diperlakukan seolah-olah merupakan bagian alami dari perang, padahal sejatinya ia adalah strategi yang disengaja, telah lama dikriminalisasi, namun jarang ditegakkan.
Selama pengadilan dan jaksa gagal memperlakukan kelaparan sebagai kejahatan tersendiri, kekuatan besar akan terus menggunakan rasa lapar sebagai senjata terhadap warga sipil tanpa takut hukuman.
Menamainya dengan jelas adalah langkah pertama. Mengadilinya adalah langkah berikutnya.
Sumber : Al Jazeera