Apakah Integrasi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) ke dalam Tentara Suriah Membuka Jalan bagi Persatuan atau Justru Memicu Ketegangan Baru?
Upaya menyatukan berbagai elemen Suriah ke dalam satu gerak bersama juga nampak pada Integrasi SDF (Pasukan Demokratik Suriah) ke dalam Tentara Suriah
rezaervani.com – 18 Oktober 2025 – Damaskus – Komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Mazloum Abdi, menegaskan dalam pernyataannya kepada Associated Press komitmennya untuk mengintegrasikan pasukannya ke dalam tentara Suriah. Ia mengatakan bahwa pengalaman mereka dalam memerangi ISIS akan memperkuat kemampuan negara Suriah, sambil menyinggung kemungkinan adanya fleksibilitas dari pihak Turki terhadap proses integrasi ini.
Pernyataan tersebut muncul dalam konteks pelaksanaan Perjanjian 10 Maret 2025 antara SDF dan pemerintah Suriah, yang membawa ambisi untuk menyatukan Suriah secara militer dan politik, meski masih menghadapi hambatan ideologis dan politik yang bisa menghalangi tercapainya tujuan tersebut.
Penandatanganan perjanjian pada 10 Maret 2025 di Istana Rakyat di Damaskus—antara Presiden Suriah Ahmad al-Shar’a dan Komandan SDF Mazloum Abdi, dengan kehadiran para utusan Amerika Serikat—dipandang oleh para analis sebagai titik balik dalam upaya membangun kembali negara Suriah.
“Kesepahaman Awal”
Perjanjian tersebut mencakup delapan pasal utama, di antaranya:
- Integrasi lembaga-lembaga militer dan sipil di timur laut Suriah ke dalam struktur negara, termasuk perbatasan, bandara, serta ladang minyak dan gas.
- Pemberlakuan gencatan senjata menyeluruh.
- Jaminan hak politik bagi seluruh warga Suriah tanpa diskriminasi.
- Pemulangan para pengungsi.
Awal bulan ini, ketegangan kembali meningkat antara SDF dan tentara Suriah di kota Aleppo, khususnya di distrik Syaikh Maqsud dan al-Ashrafiyah. Bentrokan berlangsung selama beberapa jam dan menyebabkan korban jiwa serta luka-luka, sebelum akhirnya disepakati gencatan senjata baru pada 7 Oktober 2025 antara Menteri Pertahanan Marhaf Abu Qasrah dan Abdi.
Seorang sumber militer Suriah mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa pernyataan Abdi mengenai adanya integrasi nyata ke dalam tentara “tidak akurat,” menegaskan bahwa yang terjadi sejauh ini baru sebatas kesepahaman awal untuk membentuk komite militer yang akan mengawasi proses integrasi. Komite tersebut—menurut sumber—akan menilai jumlah pasukan, perlengkapan senjata, serta kesiapan militer mereka sebelum mengatur tahap penyatuan secara resmi.
Ia juga menegaskan bahwa integrasi hanya akan mencakup anggota yang berkewarganegaraan Suriah, dan menampik isu pembagian sumber daya minyak dengan SDF, dengan menegaskan bahwa “semua sumber daya akan menjadi milik negara, yang akan mendistribusikannya ke seluruh wilayah, termasuk kawasan timur.”
Sumber tersebut menambahkan bahwa mekanisme peninjauan dan evaluasi yang digunakan tentara “bukanlah hal baru,” karena sebelumnya juga telah diterapkan dalam proses integrasi beberapa faksi lain. Ia juga menyoroti bahwa terdapat pihak-pihak di dalam SDF yang menentang perjanjian dan terus melakukan pelanggaran, terutama di wilayah Bendungan Tishrin dan Syaikh Maqsud, yang memaksa tentara untuk membalas tembakan dari sumber serangan.
Perjanjian dan Mekanismenya
Dalam pernyataan terbarunya, Abdi mengatakan bahwa “para komandan dan anggota SDF akan memperoleh posisi penting di Kementerian Pertahanan dan dalam kepemimpinan tentara,” sambil menambahkan bahwa pengalaman pasukannya dalam memerangi ISIS akan “meningkatkan kemampuan tentara Suriah.” Ia juga mengungkapkan bahwa “polisi di timur laut Suriah akan digabungkan ke dalam lembaga keamanan nasional.”
Ia menjelaskan pula bahwa “peristiwa di Suwayda dan pesisir Suriah telah menyebabkan penundaan dalam pelaksanaan perjanjian dengan Damaskus.”
Abdi menambahkan, “Jika kita sebagai warga Suriah dapat mencapai kesepakatan, maka Turki tidak akan memiliki alasan untuk campur tangan. Saat ini pun tampak ada sedikit fleksibilitas dalam sikap Turki terhadap penggabungan pasukan kami ke dalam tentara Suriah.”
Sementara itu, sumber militer khusus di SDF mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa perjanjian tersebut mencakup penyerahan kendali penuh atas perbatasan, ladang minyak, dan lembaga sipil kepada pemerintah Suriah, yang akan dijalankan oleh pejabat-pejabat pemerintah—sebagian di antaranya mungkin berasal dari staf lama yang sama.
Sumber tersebut menjelaskan bahwa SDF akan tetap menjadi blok militer terpadu yang terdiri dari tiga divisi utama yang mencakup wilayah Raqqa, Deir ez-Zor, dan Hasakah, ditambah beberapa brigade lainnya.
Selain itu, pasukan Asayish (keamanan internal Kurdi) dan Pasukan Perlindungan Perempuan akan berada di bawah naungan Kementerian Dalam Negeri dalam struktur Keamanan Umum Suriah, yang akan bertanggung jawab menjaga keamanan di kawasan timur negara tersebut.
Menurut sumber yang sama, pemerintah Suriah akan menerima 80% dari pendapatan minyak, sementara SDF akan menerima 20% untuk membantu wilayah timur yang sedang menghadapi situasi kemanusiaan yang sulit.
Dewan Demokratik Suriah (MSD) akan dibubarkan dan direstrukturisasi menjadi partai politik yang mewakili warga timur Suriah dalam proses politik mendatang.
Ia juga menambahkan bahwa perjanjian tersebut mencakup pengaturan khusus untuk wilayah Qamishli dan sekitarnya yang mayoritas berpenduduk Kurdi, di mana sebagian pemimpin lokal akan diberi kekhususan administratif.
Pelaksanaan perjanjian ini diperkirakan akan dimulai dalam tahun berjalan, dan seluruh divisi militer di kawasan tersebut akan mengikuti perintah komando lapangan setempat, dengan pengawasan langsung oleh perwira dari Kementerian Pertahanan, sambil mempertahankan pangkat dan struktur yang ada.
Peran Turki
Para pengamat menilai bahwa peristiwa di Suwayda dan pesisir Suriah, serta kunjungan Presiden al-Shar’a ke New York dan pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, telah mempercepat tekanan internasional terhadap kedua pihak untuk segera melaksanakan perjanjian tersebut.
Sebaliknya, pakar urusan Turki Qutaiba Farhat mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa menggambarkan kebijakan Turki terhadap SDF sebagai “fleksibel” adalah “tidak akurat,” dengan menjelaskan bahwa Ankara memandang persoalan ini dari sudut keamanan nasional.
Meski begitu, penerimaan Turki terhadap integrasi SDF ke dalam tentara Suriah mencerminkan aktivitas diplomatik intensif yang bertujuan memastikan tidak ada entitas militer independen yang berada di luar kendali negara Suriah, menurut Farhat. Ia menegaskan bahwa persetujuan Turki bersyarat, yakni dengan tidak memberikan SDF otonomi apa pun—hal yang sejalan dengan kepentingan Ankara untuk menjaga stabilitas perbatasannya.
Farhat menambahkan bahwa penurunan eskalasi dari pihak Turki baru-baru ini mungkin disebabkan oleh kesepahaman antara Washington dan Ankara, atau janji Amerika Serikat untuk menyelesaikan persoalan SDF secara bertahap. Ia menekankan bahwa Turki kini lebih memilih gerak diplomatik terkoordinasi dengan Damaskus dan Washington ketimbang melakukan intervensi militer sepihak.
Ia juga menunjukkan bahwa integrasi SDF tidak akan berdampak negatif terhadap pengaruh Turki di wilayah utara seperti Afrin dan Idlib, yang dianggapnya sebagai bagian dari kedalaman keamanan dan regionalnya.
Integrasi dan Implikasinya
Sementara itu, penulis dan jurnalis Suriah Qahtan al-Sharqi berpendapat bahwa proses integrasi SDF ke dalam tentara Suriah menghadapi hambatan besar, terutama karena perbedaan ideologis dan doktrin militer di antara kedua belah pihak.
Ia menjelaskan bahwa tentara Suriah didasarkan pada doktrin nasional terpadu yang berlandaskan pembelaan terhadap tanah air, sedangkan SDF berpegang pada visi yang berbeda, bercorak etnis dan lokal, yang membuat koordinasi di antara keduanya saat ini menjadi sulit.
Al-Sharqi menambahkan bahwa sejak penandatanganan perjanjian 10 Maret, pemerintah Suriah telah berupaya mencari solusi damai untuk menghindari konfrontasi, namun belum melihat kemajuan dari pihak SDF selama tujuh bulan terakhir.
Ia menegaskan bahwa Damaskus telah memberikan waktu yang cukup kepada SDF untuk berkomitmen terhadap perjanjian, dengan berkoordinasi bersama Turki dan Amerika Serikat. Namun, keterlambatan yang terus berlanjut dapat mendorong Damaskus untuk bekerja sama dengan Ankara dalam mencari jalur alternatif.
Menurutnya, SDF berusaha menunda pelaksanaan dengan pernyataan media tanpa langkah nyata, sambil mengandalkan dinamika internal di Suwayda dan pesisir yang sejauh ini belum menghasilkan apa pun, bahkan setelah pertemuan Presiden al-Shar’a dengan Trump di New York yang telah menyelesaikan banyak isu internasional yang tertunda.
Al-Sharqi juga menjelaskan bahwa SDF masih menguasai sebagian besar sumber daya minyak dan pertanian di wilayah al-Jazirah (timur laut Suriah), menganggapnya sebagai cadangan keuangan yang sulit dilepaskan tanpa tekanan internasional nyata.
Ia menambahkan bahwa perpecahan internal dalam tubuh SDF, khususnya antara kelompok Qandil (kepemimpinan yang bermarkas di pegunungan Qandil di perbatasan Irak–Iran–Turki) dan faksi Mazloum Abdi, dapat semakin memperumit pelaksanaan perjanjian.
Meskipun menegaskan preferensinya pada solusi politik, al-Sharqi tidak menutup kemungkinan opsi militer jika SDF terus menunda pelaksanaan, dengan mengingat bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan penarikan diri SDF dari kesepakatan telah mendorong Turki untuk melancarkan operasi militer di Afrin, Manbij, Raqqa, dan Tel Abyad.
Ia menilai bahwa jika penundaan terus berlanjut dan hanya disertai pernyataan media, skenario yang sama bisa terulang kembali, terutama di tengah meningkatnya koordinasi antara Damaskus dan Ankara.
Sumber: Al Jazeera