Apakah Israel Akan Memindahkan Perang ke Suriah?
Oleh : Ghazi Dahman (Penulis Suriah)
Artikel Apakah Israel Akan Memindahkan Perang ke Suriah? ini kami arsipkan di Kategori Analisa dan Opini
Dengan berakhirnya perang di Gaza, dunia menantikan munculnya fajar baru di kawasan yang didasarkan pada perdamaian dan stabilitas. Hal ini diungkapkan secara eksplisit oleh Presiden Amerika Serikat dalam pidatonya di Sharm el-Sheikh, dan juga dinyatakan oleh para pemimpin kawasan dan dunia melalui kehadiran mereka dalam penandatanganan perjanjian untuk mengakhiri perang.
Namun, keadaan tampaknya tidak seoptimis itu. Di tengah keberadaan pemerintahan sayap kanan ekstrem di Israel, negara itu terus berupaya melarikan diri ke depan dari berbagai kewajiban internal yang menantinya, sambil meyakini bahwa mereka kini memiliki kesempatan besar untuk mengubah lingkungan strategis kawasan tersebut. Hal ini terjadi setelah kegagalan besar Israel secara strategis di Gaza, di mana perang yang berlangsung selama dua tahun berakhir dengan kerugian politik, ekonomi, dan geopolitik yang besar. Kerugian ini tidak dapat ditebus dengan kehancuran Gaza ataupun dengan pembunuhan puluhan ribu warga Palestina. Berlawanan dengan apa yang diinginkan Israel, perang dua tahun itu tidak memberikan nilai tambah apa pun secara geopolitik, justru mengurangi posisi dan pengaruh Israel di tingkat regional maupun global.
Situasi ini memperburuk kondisi kegilaan di kalangan elite sayap kanan ekstrem Israel dan mendorong mereka untuk mencari putaran kekerasan baru di kawasan, menyalurkan kelebihan kekuatan, atau memanfaatkannya untuk mencapai pencapaian strategis yang nyata. Suriah tampak menjadi salah satu arena paling penting dalam pandangan para pemimpin ekstremis Israel, karena memiliki potensi untuk menjadi tempat pelampiasan energi ekstremisme Zionis.
Mengapa Suriah?
Tahap sebelumnya telah membuktikan pentingnya posisi Suriah dalam pemikiran strategis Israel karena berbagai alasan.
Pertama, Suriah merupakan jantung proyek geopolitik Israel yang didasarkan pada perubahan Timur Tengah. Perubahan yang dimaksud Israel, sebagaimana diungkapkan oleh para pejabatnya, bertumpu pada pembongkaran negara-negara kawasan dan menciptakan entitas-entitas kecil berdasarkan etnis dan sektarian.
Suriah dianggap sebagai contoh ideal untuk menerapkan visi Israel ini, mengingat keterkaitannya secara sosial dan geografis dengan Irak dan Turki, serta keserupaannya dengan Iran dalam mosaik etnis dan sektarian. Oleh karena itu, dinamika perubahan di Suriah akan menular ke negara-negara lain di kawasan yang disebutkan di atas, yang merupakan pilar utama Timur Tengah.
Kedua, proyek-proyek operasional Israel terkonsentrasi di Suriah lebih dari di negara-negara kawasan lainnya, seperti “Koridor Daud”, “koridor kemanusiaan di Provinsi As-Suwayda”, dan “zona penyangga di selatan”.
Proyek-proyek ini, sebagian sudah mulai dilaksanakan di lapangan seperti proyek zona penyangga di selatan Suriah yang telah dialokasikan sumber daya militer untuk merealisasikannya, sementara sebagian lainnya masih dalam tahap perancangan teoretis dan menunggu kesempatan bagi Israel untuk menerapkannya di lapangan, seperti proyek “Koridor Daud” dan “Israel Raya”.
Ketiga, lemahnya arena Suriah dan kerapuhannya menjadi pendorong bagi intervensi. Suriah masih terbuka terhadap banyak kemungkinan, setidaknya menurut perkiraan lembaga-lembaga Israel. Para pemimpin Israel masih memandang Suriah sebagai laboratorium untuk menakar keseimbangan kekuatan di kawasan, serta sebagai lahan yang cocok untuk membangun persamaan baru. Negara ini masih berada di bawah kendali empat kekuatan militer yang semuanya bersaing untuk memperoleh peran dalam pengaturan regional mendatang. Selain itu, situasi di Suriah tetap rentan terhadap ledakan akibat perpecahan internal antar komponennya serta kebuntuan politik yang menetap di antara para aktor domestik.
Keempat, dalih kekosongan. Israel telah menciptakan kekosongan di selatan Suriah dengan mencegah otoritas Damaskus melakukan reposisi untuk mengontrol dan mengelola wilayah tersebut. Israel menggunakan dalih kekosongan keamanan ini untuk mempertahankan keberadaannya dan mengembangkan operasinya menuju pelaksanaan proyek-proyeknya pada waktu yang dianggap tepat.
Jalan Menuju Perang
Israel telah merancang situasi luar biasa di Suriah yang hanya memiliki dua opsi: perang atau penyerahan diri yang sangat memalukan, yang tidak hanya mencakup penyerahan Dataran Tinggi Golan, tetapi juga wilayah luas di selatan Suriah. Hal ini didasarkan pada dua premis: kemampuan Israel dan kelemahan Suriah. Israel merasa bahwa ia telah merekayasa situasi saat ini melalui kejatuhan rezim Assad dan penghancuran lengan Iran di Suriah. Selain itu, Israel mengklaim bahwa kendali pemerintahan saat ini atas keamanan sangat rapuh, sehingga kemungkinan kembalinya pengaruh Iran ke selatan Suriah sangat besar. Oleh karena itu, Israel tidak siap duduk diam menunggu munculnya ancaman di selatan Suriah.
Alasan-alasan tersebut telah membebani posisi negosiasi Israel dan membuatnya kehilangan fleksibilitas yang diperlukan untuk mencapai kesepakatan keamanan dengan Suriah, yang selama ini sering diisyaratkan dalam beberapa waktu terakhir. Penciptaan isu “pembukaan koridor untuk As-Suwayda” menjadi jalan keluar bagi Israel untuk menghindari penandatanganan perjanjian dengan Damaskus.
Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan mantan perwira Mossad dan sejumlah jenderal militer yang sudah pensiun—mereka yang bisa mengutarakan hal-hal yang tidak bisa diucapkan oleh mereka yang masih aktif karena jika diucapkan akan menjadi pernyataan resmi mewakili posisi pemerintah.
Semua pihak ini menegaskan bahwa Israel tidak memiliki kepentingan untuk mencapai kesepakatan keamanan dengan Suriah pada tahap ini, karena hal itu akan membatasi geraknya dan memaksanya untuk berjanji menarik diri dari jalur perbatasan tanpa mendapatkan imbalan yang sepadan dengan kontrolnya atas wilayah luas di selatan Suriah, posisinya yang menempatkan ibu kota Damaskus di bawah ancaman tembakan Israel, serta penguasaannya atas cadangan air besar di Quneitra dan Daraa, di tengah minimnya ancaman terhadap Israel akibat pelucutan senjata dan pembubaran faksi-faksi bersenjata. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan operasional untuk menyerahkan keuntungan geopolitik yang berharga tersebut.
Namun, meskipun penilaian Israel ini didasarkan pada data yang sebagian besar benar, data tersebut tetap bersifat sementara dan tidak bisa dijadikan dasar untuk membangun situasi militer permanen di selatan Suriah. Justru, kelanjutan situasi ini berpotensi menimbulkan dinamika yang menentang formula yang coba dipaksakan oleh Israel.
Selain itu, pemerintahan mana pun di Damaskus—apa pun orientasinya—akan menemukan dirinya terpaksa menghadapi pilihan-pilihan keras jika tidak bisa keluar dari situasi ini melalui negosiasi atau mediasi. Terlebih ketika Israel semakin memperketat cengkeramannya atas ibu kota dengan menggerogoti daerah pedesaannya, yang secara signifikan melemahkan fleksibilitas kepemimpinan Suriah dan menghilangkan pragmatismenya di lapangan. Dengan demikian, perang akan menjadi satu-satunya pilihan yang tersisa jika Israel terus berada di jalur ini.
Dapatkah Mengandalkan Rencana Trump?
Pemerintahan Trump berupaya membentuk sistem keamanan baru di Timur Tengah, didorong oleh pertimbangan geopolitik yang dipaksakan oleh visi untuk mempertahankan dominasi atas pusat-pusat kekuasaan dunia. Sistem keamanan baru ini akan menggantikan sistem lama yang terbentuk setelah runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an dan kini telah kehilangan efektivitasnya, bahkan mencapai kebuntuan setelah perang-perang Israel terakhir di kawasan.
Dari berbagai kemudahan yang diberikan oleh pemerintahan Trump kepada pemerintahan baru Suriah, terlihat bahwa Suriah merupakan bagian dari sistem baru ini—baik karena keinginan negara-negara sekutu Washington di kawasan maupun karena pertimbangan Amerika sendiri untuk menetralkan pengaruh Iran dan Rusia di Suriah.
Namun, tidak bisa menganggap sikap akomodatif Washington terhadap negara-negara kawasan sebagai jaminan untuk menahan Israel dari menyerang Suriah. Pada akhirnya, semua pihak yang bersekutu dengan Washington terikat dengan kesepahaman keamanan dan politik yang mendalam dengannya. Demikian pula, tidak dapat diandalkan semangat Trump untuk menghentikan perang Israel di Gaza dan mencegahnya meluas ke Suriah, karena perang Gaza—setidaknya dalam pandangan pemerintahan Trump—sudah tidak lagi menjadi prioritas penting. Sebaliknya, kerugiannya bagi Amerika dan Israel justru lebih besar daripada keuntungannya.
Selain itu, Washington mendukung bentuk dan isi perjanjian keamanan antara Israel dan Suriah sesuai dengan syarat yang diinginkan Israel, bukan berdasarkan logika politik atau prinsip hukum internasional. Oleh karena itu, Amerika tidak akan menentang tekanan Israel terhadap pemerintahan baru Suriah. Buktinya, Washington bahkan tidak pernah memprotes—bahkan sekadar secara verbal—pelanggaran terhadap kedaulatan Suriah meskipun tanpa alasan yang sah. Ini berarti Washington memisahkan antara jalur pembentukan sistem keamanan Timur Tengah dengan kepentingan keamanan Israel di Suriah.
Bahaya utama bagi Suriah terletak pada keberlanjutan dominasi pemerintahan sayap kanan ekstrem di Israel. Sejak berkuasa, mereka tidak menyembunyikan bahwa kebijakan yang mereka jalankan berangkat dari pendekatan berbasis ajaran Taurat.
Di tengah maraknya pemikiran evangelis yang kini menguasai pusat-pusat pengambilan keputusan di Amerika Serikat, tidak mungkin berharap pada mimpi-mimpi indah Trump, terutama terhadap Suriah, selama seluruh proyek pemerintahan sayap kanan ekstrem Israel di Suriah didasarkan pada mitos-mitos Taurat seperti “Koridor Daud”, “Gunung Bashan”, dan “Israel Raya” yang memandang penguasaan atas Damaskus sebagai misi keagamaan yang suci.
Sumber : al Jazeera