Apa yang Sedang Terjadi di al-Fasyir dan Bagaimana Pengaruhnya Terhadap Masa Depan Perang di Sudan?
Sudan masih terus bergejolak, Apa Yang Terjadi di al-Fasyir & Pengaruhnya pada Perang Sudan di Masa Depan ?
rezaervani.com – 26 Oktober 2025 – Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada hari Minggu mengatakan bahwa mereka telah menguasai markas komando tentara di kota al-Fasyir, ibu kota negara bagian Darfur Utara, yang merupakan kota utama terakhir yang masih dikuasai oleh tentara di wilayah Darfur, bagian barat Sudan.
Pernyataan ini muncul setelah beberapa hari pertempuran sengit di sekitar Divisi Infanteri Keenam, yang mendorong tentara Sudan untuk mundur dari beberapa posisi karena alasan taktis, menurut sumber militer Sudan yang berbicara kepada Al Jazeera.
Perkembangan ini menandai titik penting dalam jalannya pertempuran antara tentara dan Pasukan Dukungan Cepat yang terus berlangsung di Sudan sejak April 2023. Berikut konteks dan dampak yang dapat diantisipasi dari peristiwa ini:
Apa yang terjadi di al-Fasyir?
Menurut makalah yang ditulis oleh peneliti Abdel Qader Mohamed Ali dan diterbitkan oleh Pusat Studi Al Jazeera, kondisi damai yang rapuh sempat berlaku di sekitar al-Fasyir setelah pecahnya perang saat ini di Sudan. Hal ini disebabkan oleh kesepakatan tidak tertulis yang didasarkan pada sikap netral yang diambil oleh gerakan-gerakan bersenjata Darfur, serta oleh pengumuman pasukan gabungan gerakan perjuangan bersenjata pada November 2023 bahwa al-Fasyir adalah “garis merah”, dan bahwa mereka akan berperang melawan Pasukan Dukungan Cepat jika garis ini dilanggar.
Gencatan senjata rapuh itu bertahan selama beberapa bulan sebelum ketegangan meningkat akibat sejumlah perkembangan, termasuk keberpihakan sebagian gerakan bersenjata Darfur kepada pihak tentara, serta langkah Gerakan Pembebasan Sudan (di bawah pimpinan Minni Arko Minnawi) dan Gerakan Keadilan dan Kesetaraan (di bawah pimpinan Jibril Ibrahim) yang melakukan rekrutmen besar-besaran untuk berkontribusi dalam “menghancurkan milisi Pasukan Dukungan Cepat.”
Pada 14 April 2024, Pasukan Dukungan Cepat berhasil menguasai kota strategis Mellit, yang terletak di timur laut al-Fasyir dan menghubungkan Darfur Utara dengan Libya. Hal ini berarti pasukan tersebut kini memiliki akses jalur ke Libya untuk mendapatkan dukungan dan pasokan logistik.
Pada Mei 2024, pecah apa yang disebut sebagai “konflik tak terhindarkan” atas kendali kota al-Fasyir, di mana kedua pihak — Pasukan Dukungan Cepat dan Tentara Sudan — saling menuduh sebagai pihak yang memulai pertempuran.
Sejak saat itu, Pasukan Dukungan Cepat mengepung kota al-Fasyir, menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan, dan menyebabkan krisis pangan yang parah serta kekurangan air dan layanan kesehatan di kota yang dihuni sekitar 250 ribu penduduk.
Setelah tentara menguasai ibu kota Khartoum pada Maret lalu, Pasukan Dukungan Cepat meningkatkan serangannya terhadap posisi-posisi tentara di al-Fasyir.
Kota tersebut diserang dengan artileri berat dan serangan berulang menggunakan drone, yang menargetkan permukiman dan kamp-kamp pengungsian. Serangan-serangan ini menyebabkan ratusan warga sipil tewas dan terluka.
Dalam kondisi seperti itu, layanan kemanusiaan di kota tersebut runtuh, dapur umum (takaia) berhenti beroperasi, dan sebagian besar rumah sakit terkena dampak serangan, sehingga mengalami kekurangan besar obat-obatan dan peralatan medis.
Tentara Sudan menuduh Pasukan Dukungan Cepat menggunakan sejumlah besar tentara bayaran yang berasal dari Kolombia, Chad, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah.
Apa pentingnya al-Fasyir?
Kota al-Fasyir merupakan salah satu kota bersejarah penting di Sudan, serta pusat pemerintahan tradisional utama di wilayah Darfur. Kota ini juga merupakan titik pusat utama untuk pengiriman bantuan kemanusiaan menuju lima negara bagian di wilayah Darfur.
Pentingnya wilayah Darfur meningkat setelah Pasukan Dukungan Cepat kehilangan kendali atas ibu kota Khartoum dan beberapa kota besar lainnya di Sudan. Oleh karena itu, penguasaan al-Fasyir menjadi langkah strategis penting bagi Pasukan Dukungan Cepat untuk memperluas kekuasaannya atas negara bagian terakhir dari lima negara bagian yang membentuk wilayah Darfur.
Sebagai ibu kota negara bagian Darfur Utara, al-Fasyir merupakan pusat administratif provinsi, tempat berdirinya berbagai lembaga dan kantor pemerintahan, serta markas Komando Divisi Keenam Tentara. Kota ini juga merupakan pusat pendidikan dan kesehatan, yang menaungi banyak lembaga pendidikan, termasuk Universitas al-Fasyir. Selain itu, kota ini memiliki fasilitas layanan sosial dan perawatan kesehatan yang memenuhi kebutuhan penduduk kota dan para pengungsi yang datang ke sana.
al-Fasyir mencakup 57% dari total luas wilayah Darfur Raya, yang memberinya posisi strategis, karena berbatasan di barat laut dan barat masing-masing dengan Libya dan Chad. Selain itu, kota ini berbatasan dengan tujuh negara bagian Sudan lainnya, dan terhubung melalui jalur transportasi penting dengan empat negara bagian serta ibu kota Khartoum.
Kota ini juga merupakan pusat ekonomi utama di Darfur Utara, dan wilayah di sekitarnya dikenal dengan produktivitas pertanian — menghasilkan tanaman seperti jewawut (millet), jagung, dan kacang tanah, serta peternakan besar yang menjadi sumber kekayaan utama daerah tersebut. al-Fasyir juga berfungsi sebagai pasar pusat bagi penduduk negara bagian, dan titik transit aktif bagi perdagangan barang yang keluar-masuk Sudan karena kedekatannya dengan Libya dan Chad.
Apa yang terjadi setelah Pasukan Dukungan Cepat menguasai al-Fasyir?
Penguasaan atas al-Fasyir merupakan kemenangan politik besar bagi Pasukan Dukungan Cepat (RSF), sekaligus memperkuat kekhawatiran akan kemungkinan terpecahnya negara, karena keberhasilan pasukan tersebut memantapkan kontrol penuh atas wilayah Darfur yang luas, dengan luas wilayah setara dengan Prancis.
Kendali atas wilayah ini juga akan memperkuat pemerintahan paralel yang dibentuk oleh Pasukan Dukungan Cepat pada musim panas tahun ini, yang menjadikan wilayah Darfur sebagai pusat pemerintahannya.
Para aktivis memperingatkan bahwa pengambilalihan kota al-Fasyir oleh Pasukan Dukungan Cepat dapat memicu serangan bernuansa etnis, sebagaimana yang terjadi ketika pasukan tersebut menguasai Kamp Zamzam di selatan.
Pekan lalu, Pasukan Dukungan Cepat menyatakan bahwa mereka memfasilitasi evakuasi warga sipil dan pejuang yang menyerah dari kota tersebut. Namun, mereka yang meninggalkan al-Fasyir melaporkan terjadinya penjarahan, kekerasan seksual, dan pembunuhan yang dilakukan oleh tentara Pasukan Dukungan Cepat di sepanjang jalan.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa lebih dari satu juta orang melarikan diri dari al-Fasyir selama pengepungan yang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat selama 18 bulan terakhir, sementara sekitar 250 ribu warga sipil masih berada di dalam kota.
Pasukan Dukungan Cepat dan sekutunya dihadapkan pada tuduhan keterlibatan dalam gelombang kekerasan bermotif etnis di Darfur selama perang, dan pemerintah Amerika Serikat tahun lalu menyimpulkan bahwa pasukan tersebut telah melakukan genosida. Pimpinan RSF membantah bahwa mereka mengeluarkan perintah untuk melakukan serangan semacam itu, dan mengatakan bahwa para prajurit yang membangkang terhadap perintah akan dibawa ke pengadilan.
Pasukan Dukungan Cepat juga membantah telah menargetkan warga sipil, dan dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 12 Oktober lalu, mereka menyatakan bahwa kota al-Fasyir “bebas dari warga sipil”, serta menuduh tentara dan pasukan sekutunya menjadikan rumah sakit dan masjid sebagai barak militer serta lokasi peluncuran roket.
Sumber: Al Jazeera