Tinjauan atas Posisi dan Peluang Negosiasi di Sudan (Bagian Kedua)
Oleh: Mona Abu Zaid – Penulis dan Jurnalis asal Sudan
Artikel Tinjauan atas Posisi dan Peluang Negosiasi di Sudan ini diarsipkan dalam Kategori Analisa dan Opini
Keniscayaan Negosiasi
Betapapun lamanya perang berlangsung dan serumit apa pun penyebabnya, negosiasi tetap menjadi satu-satunya jalan akhir yang pasti dan logis. Namun, waktu dan bentuknya bergantung pada banyak faktor, terutama pada posisi pihak-pihak yang tidak berafiliasi secara politik, karena kepentingan kekuatan yang berideologi biasanya mewarnai cara mereka membaca kenyataan. Sejarah pun membuktikan bahwa perang yang jauh lebih dahsyat dan isu-isu nasional yang lebih rumit akhirnya berujung di meja perundingan serta menghasilkan kesepakatan transisi yang membuka jalan bagi rakyat untuk menegakkan kehendaknya melalui pemilihan umum.
Pada akhirnya, kata kunci untuk mengakhiri perang ini terletak pada “sifat tekanan yang diarahkan kepada semua pihak, dan kepentingan apa yang dapat dipengaruhi oleh tekanan tersebut.” Negosiasi pada hakikatnya bukanlah tindakan sukarela, melainkan hasil dari keseimbangan antara tekanan dan kepentingan.
Di sinilah muncul dilema: bagaimana koalisi Taqaddum dapat meyakinkan basis pendukungnya—yang sebelumnya digerakkan untuk menyingkirkan pihak lain melalui perang ini—untuk kini menerima dialog politik yang terkait dengan negosiasi militer menuju perdamaian berkelanjutan, yang pada gilirannya menuntut penerimaan terhadap keberadaan pihak lain.
Demikian pula, bagaimana kaum Islamis dapat meyakinkan pengikutnya—yang juga sebelumnya digerakkan atas dasar menyingkirkan pihak lain melalui perang ini—untuk menerima dialog politik yang berpijak pada rekonsiliasi dan keberagaman.
Pertanyaan-pertanyaan ini tetap terbuka, tetapi merangkum inti dari tahap berikutnya, di mana perdamaian tidak akan lahir dari niat baik semata, melainkan dari kemampuan untuk mengubah kepentingan menjadi pintu menuju kebijaksanaan, penerimaan, dan rekonsiliasi dengan diri sendiri—melalui peninjauan atas kontradiksi internal—sebelum rekonsiliasi dengan pihak lain.
Sikap yang Mungkin Terhadap Negosiasi
Tidak ada pembicaraan tentang negosiasi yang dapat berhasil tanpa pemahaman mendalam atas peta kekuatan dan keseimbangan kepentingan, serta penentuan titik-titik temu yang mungkin antara pihak-pihak yang berkonflik. Berdasarkan hal itu, posisi masing-masing pihak dapat dibaca sebagai berikut:
1. Tentara Nasional
Tentara merupakan kekuatan negara yang sah dan memperoleh legitimasi dari konstitusi serta dukungan sebagian besar rakyat. Namun, di dalam tubuhnya terdapat perbedaan pandangan tentang negosiasi yang tidak bijak untuk diabaikan.
Ada satu arus yang melihat negosiasi sebagai keharusan demi menyelamatkan negara, sementara arus lain menganggapnya sebagai bentuk pengorbanan terhadap kedaulatan atau tunduk pada tekanan internasional. Tantangannya adalah menyatukan posisi militer-politik agar pandangan umum yang dipegang bersama adalah bahwa negosiasi merupakan kelanjutan dari tugas nasional, bukan kekalahan di medan perang.
2. Pasukan Dukungan Cepat (RSF)
RSF bertindak sebagai otoritas de facto di wilayah-wilayah yang dikuasainya, dan mencari pengakuan politik serta peran dalam setiap penyelesaian mendatang. Namun, legitimasi internasional dan penerimaan rakyat menjadi dua hambatan utama baginya.
Karena itu, satu-satunya jalan kembali ke panggung politik bagi RSF adalah melalui pengaturan keamanan yang jelas serta proses reintegrasi bertahap yang disertai akuntabilitas dan keadilan transisional.
3. Arus Islamis
Meskipun masih ada perdebatan mengenai peran mereka dalam pelanggaran rezim sebelumnya, keterlibatan mereka dalam perang ini telah mengembalikan kehadiran politik yang tak bisa diabaikan. Dapat diperkirakan bahwa kelompok ini akan berupaya berpartisipasi secara bersyarat dalam dialog politik, dengan jaminan peran di masa depan tanpa kembali sepenuhnya pada retorika atau praktik lama rezim Inqaz.
Sikap Islamis terhadap negosiasi kemungkinan akan lebih fleksibel apabila diakui perlunya keterlibatan mereka dalam masa transisi mendatang. Peran mereka selama perang telah membantu menjembatani perpecahan dan memperbaiki keretakan emosional yang ditinggalkan oleh runtuhnya rezim Inqaz dan masa transisi pascarevolusi dalam hubungan mereka dengan kelompok-kelompok rakyat yang tidak berideologi.
4. Koalisi Taqaddum (dengan kedua faksinya) dan Komponen Revolusi
Koalisi ini merupakan sayap sipil yang paling terorganisasi, namun menghadapi dilema ganda: bagaimana meyakinkan pendukungnya untuk menerima negosiasi dengan pihak yang mereka anggap musuh revolusi, dan bagaimana memastikan dirinya tidak tersingkir dari proses perdamaian mendatang, di tengah besarnya ketidakpercayaan publik serta tuduhan kolaborasi dan pengkhianatan yang diarahkan kepadanya.
Karenanya, posisi Taqaddum akan sangat tergantung pada sejauh mana perubahan sikap internasional terhadap kaum Islamis serta jaminan yang diberikan kepadanya dalam kesepakatan pembagian kekuasaan.
5. Kekuatan Regional dan Internasional
Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Mesir, Chad, dan Sudan Selatan merupakan kunci pengaruh utama dalam arah keterlibatan internasional dalam negosiasi.
Sementara itu, Amerika Serikat dan Eropa bersikap pragmatis, menyeimbangkan antara menghentikan perang dan melindungi kepentingan mereka.
Selain itu, ada pula satu pihak internasional tertentu yang menjadi aktor utama dalam perang ini, yang sikapnya perlu dikelola dengan hati-hati. Oleh karena itu, setiap proyek negosiasi yang mengabaikan kepentingan eksternal ini tidak akan lebih dari sekadar proyek teoritis tanpa prospek nyata.
Jalur Negosiasi yang Mungkin
A. Jalur Militer-Keamanan
- Penghentian tembakan di bawah pengawasan regional dengan mekanisme bersama.
- Restrukturisasi angkatan bersenjata dan integrasi RSF berdasarkan jadwal yang diawasi secara internasional dalam skala terbatas.
- Penegakan keadilan transisional melalui mekanisme nasional independen berupa “komisi tinggi.”
B. Jalur Politik-Sipil
- Dialog nasional antara komponen politik sipil, termasuk Islamis, kekuatan politik lainnya, revolusioner, dan perwakilan kelompok masyarakat non-ideologis.
- Pembentukan pemerintahan transisi teknokratis dan konsensus, dengan mandat dan masa kerja terbatas.
- Persiapan pemilihan umum setelah penyelesaian pengaturan keamanan.
C. Jalur Kemanusiaan-Sosial
- Peluncuran inisiatif nasional untuk rekonsiliasi dan rekonstruksi, dengan partisipasi masyarakat sipil dan diaspora Sudan.
Syarat Keberhasilan Dialog dan Negosiasi
- Pengakuan bersama dari semua pihak bahwa penyelesaian politik adalah keharusan, dan tidak ada pihak yang akan menang mutlak.
- Meminimalkan keterlibatan asing dengan mengarahkan kepentingan internasional untuk mendukung stabilitas, bukan keberpihakan.
- Menangani perbedaan di dalam lembaga-lembaga negara, bukan di jalanan atau di medan perang.
- Melibatkan aktor-aktor independen yang tidak berafiliasi politik.
- Menjamin keadilan dan akuntabilitas untuk menghindari siklus balas dendam.
Mekanisme Pelaksanaan dan Jaminan
- Pengawasan regional yang disepakati bersama.
- Jaminan internasional dari mitra yang kredibel.
- Komisi Nasional Tertinggi untuk memantau implementasi, terdiri dari perwakilan tentara, RSF, kekuatan politik, dan masyarakat sipil.
- Jadwal waktu yang tegas untuk menyelesaikan masa transisi dan menyelenggarakan pemilihan umum.
Perang di Sudan tidak akan berakhir melalui kelelahan atau sanksi, melainkan melalui keseimbangan realistis atas kepentingan yang membawa semua pihak ke satu meja perundingan.
Proyek negosiasi yang diharapkan bukanlah kemenangan satu pihak atas pihak lain, melainkan kemenangan negara atas kekacauan.
Membangun peta jalan bagi dialog politik sejati dimulai dari pengakuan bahwa semua pihak—meski berbeda pandangan—telah menjadi tawanan perang itu sendiri, dan bahwa perdamaian kini bukan sekadar pilihan moral, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan hidup.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera