Sejarah Kelompok Bersenjata di Sudan dan Perjanjiannya (Bagian Kedua)
Kelompok Bersenjata di Sudan dan gerakan mereka adalah hal yang sangat erat dengan Sudan. Apa saja kelompok-kelompok tersebut ? Apa saja perjanjian-perjanjian yang pernah dibuat terkait kelompok-kelompok bersenjata tersebut ?
Jalur Dialog dan Perjanjian antara Gerakan Bersenjata dan Pemerintah Pusat
Sudan telah melalui perjalanan panjang berupa dialog, perundingan, perjanjian, dan pakta yang bertujuan mengendalikan situasi keamanan di negara tersebut. Berikut adalah jalur-jalur negosiasi dan perjanjian yang paling menonjol:
Perjanjian Addis Ababa (1972)
Gerakan bersenjata selatan Anya Nya melancarkan perang terhadap pemerintah pusat sejak tahun 1955, yang menelan banyak korban jiwa. Sejak Meja Bundar yang diselenggarakan di kota Juba pada tahun 1965, di tengah berkecamuknya perang dan pemberontakan, berbagai upaya untuk mencapai gencatan senjata dan kesepakatan damai terus dilakukan. Akhirnya, pada tahun 1972, tercapai Perjanjian Damai Addis Ababa di ibu kota Ethiopia.
Perjanjian ini menetapkan penghentian tembakan antara kedua belah pihak serta pembentukan dewan pemerintahan untuk wilayah selatan.
Deklarasi Kokadam (1986)
Deklarasi Kokadam yang digelar di Ethiopia antara Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) dan mayoritas partai politik Sudan menyerukan penghentian perang yang berkepanjangan. Deklarasi ini meminta pemerintah untuk menghentikan operasi militer dan mencabut status darurat.
Namun, hasil konferensi tersebut tidak pernah diterapkan karena pemerintah menolaknya akibat belum tercapainya kesepakatan yang memuaskan dengan kelompok-kelompok bersenjata.
Inisiatif Perdamaian Sudan (1988)
Presiden Sudan saat itu, Ahmad al-Mirghani, menandatangani Inisiatif Perdamaian Sudan dengan pemimpin SPLM, John Garang, di Ethiopia.
Inisiatif ini berupaya “meninggikan ikatan kewarganegaraan di atas segala bentuk ikatan lainnya” dan menyerukan pembekuan undang-undang yang dikaitkan dengan Islam sampai diputuskan dalam sebuah Konferensi Konstitusi Nasional yang diikuti oleh seluruh kekuatan politik nasional Sudan.
Perjanjian Istana (1989)
Perjanjian Istana disusun di bawah pengawasan Perdana Menteri saat itu, Sadiq al-Mahdi, bersama sejumlah partai politik Sudan, kecuali Front Nasional Islam.
Isi perjanjian menegaskan pentingnya mengakhiri perang, menyelesaikan permasalahan Sudan secara damai, serta meneguhkan kembali semua perjanjian yang telah ditandatangani pemerintah dengan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan.
Perjanjian Abuja (1992)
Konferensi Abuja diselenggarakan di ibu kota Nigeria antara pemerintah Sudan, beberapa faksi dari selatan, dan delegasi kelompok Nasser yang memisahkan diri dari SPLM.
Konferensi tersebut memutuskan pembentukan komite gabungan untuk mendistribusikan pendapatan negara, membangun kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat perang saudara, serta menyelesaikan permasalahan para pengungsi dan warga terlantar.
Pada tahun 1993, diselenggarakan Konferensi Abuja Kedua yang bertujuan menghentikan tembakan dan menegaskan pentingnya melanjutkan dialog terkait isu agama dan negara. Namun, konferensi berakhir tanpa hasil karena John Garang menolak menandatangani pernyataan penutup.
Deklarasi Prinsip Negara-negara IGAD (1994)
Negara-negara anggota Organisasi IGAD di Afrika — yang terdiri dari Kenya, Eritrea, Ethiopia, Uganda, dan Djibouti — mengumumkan sebuah inisiatif perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Sudan Selatan. Dokumen deklarasi tersebut mencakup pengakuan atas hak rakyat selatan untuk menentukan nasib sendiri, dengan tetap menegaskan persatuan Sudan, komitmen penuh terhadap perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, penerapan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, pembagian kekuasaan yang adil, serta pemisahan agama dari negara.
Dokumen tersebut ditandatangani oleh Ketua Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM), John Garang, bersama perwakilan negara-negara IGAD. Namun, pemerintah Sudan menolak menandatanganinya karena keberatan terhadap poin pemisahan agama dari negara, meskipun akhirnya kemudian ikut menandatangani deklarasi itu.
Meskipun IGAD terus memfasilitasi inisiatif perdamaian ini, langkah tersebut tidak berhasil mengakhiri konflik bersenjata yang terus berlanjut.
Konferensi Asmara (1995)
Konferensi Asmara tentang Isu-isu Kritis membahas permasalahan wilayah-wilayah yang terpinggirkan serta kemungkinan mengurangi dominasi administratif Khartoum atas wilayah selatan. Konferensi ini memberikan hak kepada wilayah selatan untuk menentukan nasibnya di masa depan.
Perjanjian Damai Khartoum (1997)
Perjanjian ini menetapkan bahwa warga di wilayah selatan memiliki hak untuk mengadakan referendum sebelum akhir masa transisi yang ditetapkan selama empat tahun sejak pengesahan perjanjian oleh seluruh pihak. Referendum tersebut menawarkan dua pilihan — persatuan atau pemecahan diri (kemerdekaan) — dengan ketentuan bahwa semua pihak harus menghormati dan melaksanakan hasilnya.
Perjanjian ini juga mengatur pembentukan Dewan Koordinasi Sudan Selatan dan pembagian wilayah selatan menjadi sepuluh negara bagian. Pemerintah menandatangani perjanjian tersebut dengan sejumlah faksi bersenjata dari selatan.
Deklarasi Tripoli (1999)
Libya mengundang Dewan Kepemimpinan Aliansi Demokratik Nasional Sudan (oposisi) untuk menghadiri pertemuan di Tripoli guna menyepakati deklarasi yang menyerukan kepada seluruh pihak Sudan agar segera menghentikan operasi militer dan kampanye media saling serang, serta memulai dialog untuk mencapai solusi politik yang menyeluruh.
Mesir kemudian mengadopsi deklarasi ini sebagai dasar bagi Inisiatif Gabungan Libya-Mesir yang diluncurkan setelahnya.
Inisiatif Gabungan Mesir–Libya (2001)
Inisiatif ini ditandatangani oleh pemerintah Sudan dan Aliansi Nasional Sudan (yang mencakup kelompok bersenjata dari selatan, sebagian besar oposisi dari utara, serta berbagai partai politik Sudan dengan beragam orientasi).
Isi inisiatif ini menegaskan pentingnya menegakkan sistem multipartai dan memulai dialog langsung antara seluruh pihak.
Inisiatif ini juga menyerukan pembentukan Komite Persiapan untuk mengatur konferensi nasional yang inklusif, menentukan waktu dan tempat pelaksanaannya serta agenda pembahasannya. Selain itu, disepakati pembentukan pemerintah persatuan nasional, penyelenggaraan konferensi untuk meninjau konstitusi dan menyusun pemilu, serta komitmen semua pihak untuk menghentikan tembakan secara segera.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera