Washington Post: Perang Sudan Mengambil Arah yang Mengerikan dan Trump Membalikkan Wajahnya
Dianggap tidak memiliki pengaruh terhadap kepentingan Barat, Perang Sudan cenderung diabaikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Demikian diungkapkan oleh jurnalis Washington Post
rezaervani.com – 2 November 2025 – Surat kabar The Washington Post memberikan perhatian besar terhadap apa yang disebutnya sebagai “Tragedi al-Fashir”, dengan membahasnya dalam tajuk rencana yang mengecam ketidakpedulian dunia terhadap krisis Sudan, serta dalam artikel opini yang ditulis oleh jurnalis Ishan Tharoor, yang mengkritik ketidakmampuan pemerintahan Amerika Serikat menemukan solusi sederhana untuk mengakhiri perang di negara tersebut.
Menurut surat kabar itu, dunia telah mengetahui tragedi al-Fashir lebih dari setahun yang lalu, ketika kota tersebut menjadi benteng terakhir pasukan bersenjata Sudan di wilayah Darfur Barat. Namun, tidak ada satu pun pihak yang bergerak untuk meringankan penderitaan rakyat Sudan yang — hingga kini — tidak mendapatkan perhatian yang layak dari komunitas internasional.
Ketika pasukan pemberontak berhasil menguasai kota itu pekan ini, kota yang hanya menyisakan sekitar 250 ribu warga sipil kelaparan — yang selama ini hidup dari memakan rumput dan pakan ternak — menjadi saksi pembantaian mengerikan. Menurut laporan Washington Post, lebih dari 460 pasien dan staf rumah sakit dibantai di dalam fasilitas medis kota tersebut.
Para pejuang Pasukan Dukungan Cepat (RSF) bahkan mengunggah rekaman video yang memperlihatkan mereka mengeksekusi warga sipil di tempat, sementara korban memohon agar nyawanya diselamatkan. Dalam editorialnya, surat kabar itu menyebut bahwa salah satu komandan milisi dengan sombong mengaku mungkin telah membunuh 2.000 orang.
Washington Post juga mengutip citra satelit yang memperlihatkan tumpukan jenazah di atas genangan darah besar yang terlihat bahkan dari luar angkasa. Sementara para saksi mata yang berhasil melarikan diri dari kota tersebut mengatakan bahwa para milisi menyerbu rumah-rumah dan menembak warga tanpa pandang bulu, termasuk perempuan dan anak-anak.
Dalam tajuk rencananya, surat kabar itu menulis bahwa beban moral dari tragedi kemanusiaan ini sangat berat, dan bahwa Amerika Serikat seharusnya lebih peka, mengingat posisi strategis Sudan di Laut Merah yang memengaruhi arus energi dan perdagangan internasional.
Sebagai tanggapan, pemerintahan Trump memang telah memanggil perwakilan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan militer Sudan ke Washington pada Kamis dan Jumat lalu untuk menekan keduanya agar menyetujui gencatan senjata selama tiga bulan. Namun, menurut pejabat Departemen Luar Negeri Amerika, tidak tercapai kesepakatan, karena kedua belah pihak masih yakin dapat memenangkan perang.
Washington Post menyimpulkan bahwa pemerintahan Amerika Serikat masih memiliki peluang untuk menekan kedua pihak melalui pengaruh Uni Emirat Arab dan Turki. Surat kabar itu juga memuji langkah Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat, Senator James E. Risch, yang menyerukan agar Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dimasukkan ke dalam daftar organisasi teroris asing.
Menurut editorial Washington Post, langkah tersebut akan menjadi titik awal yang baik dalam upaya menghentikan kekerasan dan membawa para pelaku keadilan.
Bukan Prioritas
Sementara itu, penulis The Washington Post, Ishan Tharoor, berpendapat bahwa perang di Sudan kini mengambil arah yang mengerikan, sementara Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru membalikkan wajahnya dari konflik tersebut, meskipun ia sering mengklaim sebagai “pencipta perdamaian terbesar di dunia.” Trump bahkan menisbatkan kepada dirinya keberhasilan menyelesaikan berbagai konflik — sebagian di antaranya masih terus berlangsung, dan sebagian lainnya bahkan tidak pernah ada sebelumnya.
Menurut Tharoor, mengakhiri salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia tidak pernah menjadi prioritas pemerintahan Trump. Sebaliknya, pemerintahan itu lebih memilih membongkar Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), lembaga yang selama ini mendanai sebagian besar bantuan kemanusiaan bagi rakyat Sudan.
Meski demikian, Tharoor menekankan bahwa tidak ada solusi mudah untuk mengakhiri perang di Sudan, karena jaring kepentingan eksternal yang sangat kompleks. Dua pihak yang bertikai — yaitu Angkatan Bersenjata Sudan yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) — masing-masing mendapat dukungan dari kekuatan asing yang saling berkelindan, dan masih berpegang pada wilayah pengaruh mereka masing-masing.
Tharoor menyebut bahwa militer Sudan mendapat dukungan dari negara-negara seperti Mesir dan Iran, sementara RSF mengandalkan Uni Emirat Arab, yang menurut laporan telah memasok senjata kepada kelompok itu setelah kehilangan posisinya di ibu kota Khartoum pada Maret lalu, meskipun Abu Dhabi membantah terlibat dalam kampanye militer tersebut.
Selain itu, Turki, Rusia, bahkan Ukraina disebut turut berperan dalam memasok senjata kepada pihak-pihak yang berperang, sementara Arab Saudi dan Qatar memiliki kepentingan ekonomi serta geopolitik yang mendalam di kawasan tersebut.
Banyak analis menilai bahwa Trump sebenarnya memiliki kemampuan untuk menekan sekutunya — negara-negara yang memiliki hubungan erat dengannya — namun Tharoor bersikeras bahwa tidak ada harapan akan munculnya kesepakatan dari Trump yang dapat mengakhiri perang di Sudan.
Ia menyimpulkan bahwa upaya semacam itu tampaknya tidak mungkin dilakukan oleh Gedung Putih, yang lebih menyukai “kesepakatan instan” dan momen-momen penandatanganan di depan kamera. Karena itu, tragedi yang terus memburuk ini akan berlanjut, sebuah krisis yang telah menelan lebih dari 150 ribu korban jiwa dan membuat jutaan warga sipil terusir dari rumah mereka.
Sumber: The Washington Post