Pasukan Dukungan Cepat telah memberlakukan pengepungan ketat atas kota Al-Fashir selama lebih dari satu tahun (Reuters)
Bantuan Minim Tak Tembus Al-Fashir yang Terkepung
Bantuan Minim yang Tak Tembus Al-Fashir membuat Krisis Kemanusiaan di Sudan semakin memburuk
Al-Fashir – Setiap hari penderitaan warga sipil yang terjebak di kota Al-Fashir, ibu kota negara bagian Darfur Utara, semakin parah. Janji-janji internasional yang berulang untuk mengirim bantuan kemanusiaan kandas akibat blokade militer dan pertempuran yang terus berlangsung.
Meski PBB telah memperingatkan akan terjadinya kelaparan, pintu kota masih tertutup bagi sebagian besar bantuan. Sementara itu, lebih dari seperempat juta warga Sudan menderita kekurangan pangan dan obat-obatan yang parah, di tengah runtuhnya hampir total layanan kesehatan dan kemanusiaan.
Di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB, setelah pertemuan negara-negara anggota kelompok Kuartet, muncul pernyataan dari Musaad Boulos, penasihat senior Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk urusan Arab dan Timur Tengah. Pernyataan itu sempat menumbuhkan harapan, meski rapuh.
Pejabat Amerika tersebut menyatakan harapannya bahwa bantuan kemanusiaan akan masuk ke kota Al-Fashir “dalam beberapa hari mendatang”. Kota itu telah dikepung oleh Pasukan Dukungan Cepat selama lebih dari setahun dan kini menyaksikan meningkatnya kekerasan.
Ia menambahkan, “Kami telah berdiskusi dengan Pasukan Dukungan Cepat dan sepakat mengenai mekanisme yang memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan ini,” seraya menegaskan pentingnya mengakhiri konflik di Sudan, mengembalikan perdamaian, dan memenuhi kebutuhan kemanusiaan rakyat Sudan.
Sumber terbatas
Data menunjukkan kesenjangan yang mengejutkan yang mencerminkan besarnya bencana. Sementara Darfur membutuhkan ribuan ton makanan dan obat setiap bulan, total yang berhasil masuk ke seluruh wilayah selama enam bulan terakhir hanya beberapa ribu ton saja, menurut sumber lokal. Jumlah itu nyaris tidak berarti dibandingkan kebutuhan yang sangat besar, terutama karena akses ke Al-Fashir—yang digambarkan sebagai pusat krisis—benar-benar tertutup.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, Menteri Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Sosial, Dr. Mu’tasim Saleh, mengatakan, “Bantuan yang masuk ke Darfur jauh lebih sedikit daripada kebutuhan nyata. Penyebab utamanya adalah pembatasan di jalan-jalan serta pengepungan ketat yang dilakukan oleh Pasukan Dukungan Cepat.”
Ia menambahkan, pernyataan pejabat Amerika itu “mencerminkan tekanan internasional yang sah, tetapi lebih merupakan pesan politik ketimbang komitmen nyata yang dapat dijalankan di tengah hambatan keamanan yang disengaja.”
Meskipun sumber bantuan beragam, jumlah yang benar-benar sampai ke warga sipil di Darfur tetap sangat sedikit. Bantuan kemanusiaan untuk Sudan yang diperuntukkan bagi wilayah Darfur pada dasarnya berasal dari tiga sumber utama:
- Organisasi PBB, yang menjadi pemasok utama, tetapi menghadapi hambatan besar dalam transportasi dan distribusi.
- Bantuan dari negara-negara seperti Arab Saudi, Qatar, Turki, dan Mesir, namun jumlahnya terbatas dan tidak teratur.
- Inisiatif lokal, berupa upaya amal perorangan atau melalui asosiasi Sudan, tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan yang sangat besar.
Siapa yang Menghalangi Bantuan?
Sejak 10 Juni 2024, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) memberlakukan pengepungan ketat di kota Al-Fashir dengan menggunakan “senjata kelaparan” terhadap warga sipil. Taktik ini melanggar hukum humaniter internasional. Kota tersebut juga mengalami serangan artileri harian yang menghalangi pergerakan aman penduduk dan mencegah masuknya bantuan kemanusiaan.
Dr. Abdenaser Selim Hamed, Direktur Program Afrika Timur dan Sudan di Pusat Riset Focus, Swedia, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa sifat politik konflik di Darfur telah menjadikan kerja kemanusiaan sebagai sandera.
Ia menambahkan, “Bantuan telah berubah menjadi alat tawar-menawar dan tekanan di tangan pihak-pihak yang bertikai, sementara komunitas internasional hanya mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang tidak mengubah kenyataan kematian perlahan.”
Hamed menegaskan, “Menghalangi bantuan adalah kejahatan perang menurut hukum humaniter internasional, karena secara langsung menargetkan warga sipil dan melanggar inti Konvensi Jenewa.” Ia menambahkan, “Model ini mengancam stabilitas regional dan mendorong pihak lain dalam konflik berbeda untuk mengadopsi metode yang sama.”
Ia menunjukkan bahwa “pengepungan terhadap Al-Fashir bukan sekadar isolasi kemanusiaan, tetapi bagian dari rencana militer untuk menekan tentara Sudan.” Dengan membuat warga kelaparan, RSF berupaya menciptakan tekanan internal, melemahkan moral, dan memutus jalur suplai dari Kordofan Utara, Libya, dan Chad.
Ia melanjutkan, “Taktik ini mengingatkan pada pengepungan Sarajevo, kelaparan Madaya, dan pengepungan Taiz. Semua contoh itu menggunakan kelaparan sebagai senjata perang, dan PBB menyebutnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Apa yang terjadi di Al-Fashir mengikuti pola yang sama, tetapi berlangsung dalam hampir total keheningan.”
Ia menutup dengan mengatakan, “Bertahannya Al-Fashir atau jatuhnya kota itu tidak hanya ditentukan faktor militer, tetapi juga sejauh mana kemampuan komunitas internasional memecah pengepungan lewat koridor kemanusiaan yang dilindungi. Masalah ini tidak lagi sekadar tentang keamanan pangan, melainkan menyangkut nasib sebuah kota yang perlahan berubah menjadi ujian bagi legitimasi hukum internasional.”
Kesaksian Lapangan
Dari jantung Al-Fashir, Amina Mohamed (42 tahun) menggambarkan penderitaan harian yang dialami warga. Ia berkata kepada Al Jazeera Net, “Janji-janji datang bagai guruh, tetapi hujan tak kunjung turun. Anak-anak kami kurus di depan mata kami, rumah sakit kosong. Kami mendengar tentang konferensi dan pertemuan Kuartet, tetapi yang kami lihat hanya pengeboman dan kelaparan.” Ia menambahkan, “Kami hidup dengan harapan, tetapi harapan tidak mengenyangkan orang lapar.”
Para pakar memperingatkan bahwa berlanjutnya krisis di Al-Fashir dapat membawa dampak serius di kawasan. Jumlah pengungsi di wilayah sekitar dan di Chad berlipat ganda, menambah tekanan pada sumber daya yang sudah minim. Penyebaran luas senjata ringan juga menjadi ancaman bagi keamanan regional secara keseluruhan.
Relawan kemanusiaan Ahmed Abdel Qader mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa kerja kemanusiaan di Darfur kini menjadi sandera konflik politik dan militer. Ia menekankan bahwa tim bantuan menghadapi ancaman berkelanjutan dan bantuan dihalangi masuk ke daerah paling terdampak seperti Al-Fashir. Ia menambahkan, “Kami bekerja dalam kondisi berat, berusaha menyelamatkan nyawa, tetapi kami menghadapi tembok ketidakpedulian, janji-janji, dan pembatasan.”
Al Jazeera Net tidak berhasil mendapatkan komentar langsung dari juru bicara Pasukan Dukungan Cepat terkait tuduhan ini. Tidak ada pula pernyataan resmi dari PBB mengenai mekanisme khusus untuk memecah pengepungan dan memasukkan bantuan. Hal ini memperbesar kekhawatiran warga yang terkepung bahwa janji bantuan akan berubah menjadi sekadar kenangan dalam catatan penderitaan kemanusiaan.
Sumber: Al Jazeera