Kereta Api Hijaz, Proyek Sultan Abdul Hamid dan Dunia Islam (Bagian Kedua)
Artikel Kereta Api Hijaz, Proyek Sultan Abdul Hamid dan Dunia Islam masuk dalam Kategori Sejarah Ummat Islam
Sumber Pendanaan
Pada tahun 1900, Sultan memerintahkan pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus, Madinah, dan Mekah, dengan membangun jalur darat di sepanjang rutenya. Bersama para penasihatnya, ia bertekad menjadikan proyek ini sebagai proyek Utsmaniyah-Islam dalam pendanaan dan pengelolaannya, tanpa modal asing.
Perintah itu dianggap ambisi besar yang menantang secara finansial dan teknis. Banyak negarawan meragukan kemampuan Sultan untuk mewujudkan proyek ajaib ini. Sebagian besar insinyur dan geografer juga menyatakan mustahil proyek ini diselesaikan.
Perkiraan biaya pembangunan sekitar 4 juta Lira jika diperpanjang hingga Mekah, dan 3,5 juta Lira jika hanya sampai Madinah (setara 15%-20% dari anggaran), sementara negara mengalami defisit besar dan kesulitan keuangan akibat utang publik.
Di tengah kondisi keuangan sulit, keberatan negara-negara Barat, serta kampanye ejekan dan cemoohan terhadap kesuksesan proyek, pembangunan jalur dimulai setelah mempelajari semua opsi pendanaannya. Sumber utama adalah pinjaman dari Bank Pertanian Utsmaniyah sebesar setengah juta Lira yang diangsur selama 8 tahun. Kesultanan Utsmaniah mengandalkan 3 sumber pendanaan utama:
- Sumber Resmi Tetap: Dari pajak khusus yang menjamin 250 ribu Lira per tahun, serta subsidi dari prangko pos dan tunjangan haji sebesar 150 ribu Lira per tahun, ditambah pendapatan dari penjualan kulit hewan kurban dan lainnya. Lahan dan proyek juga diwakafkan untuknya, yang terpenting adalah Mata Air Panas Al-Hammah dan Pelabuhan Haifa.
- Sumbangan dari Raja, Pangeran, Lembaga, dan Perorangan: Dimulai dengan sumbangan Sultan sekitar 320 ribu Lira Turki (setara seperempat total biaya proyek), kemudian keluarga kerajaan, pejabat tinggi Utsmaniah, pegawai, dan masyarakat umum.
- Sumbangan datang dari Syah Iran (setara 50 ribu), Amir Kuwait (500 Lira), Sultan Maroko (750 Franc), Amir Bukhara (400 Franc), Sultan Al-Mukalla (20 ribu Rupee).
- Khédive Mesir, Abbas Hilmi, menyumbang sejumlah material konstruksi dan kayu.
- Amir Hyderabad membiayai pembangunan Stasiun Madinah.
- Sumbangan Perorangan dan Lembaga dari Seluruh Penjuru Dunia Islam: Muslim Natal di Afrika Selatan mengirim 1000 Lira, Muslim Singapura 4000 Pound Sterling, dan dari Muslim India datang sumbangan senilai 150 ribu Lira.
Total sumbangan mencapai 760 ribu Lira Utsmaniah (setara 17 juta Franc), atau sepertiga dari jumlah yang dibutuhkan untuk menyelesaikan jalur ini. Sejarawan James Nicholson menganggap ini pencapaian luar biasa. Keberhasilannya dibuktikan oleh 6 jilid arsip di Arsip Utsmaniah Istanbul, yang memuat nama lebih dari 20.000 donor.
Berdasarkan maklumat Sultan tahun 1901, diciptakan medali dengan nama jalur ini (Hidjaz Railway Medals/Hamidiye Hicaz Demiryolu Madalyası), bintang jasa, pangkat, dan gelar untuk menghormati para donor dan kontributor tenaga, pikiran, dan dana. Bahkan seorang warga Austria membayar sekitar 2100 Lira emas untuk mendapatkan gelar “Pasha”. Para pekerja juga diberi jam saku perunggu bergambar lokomotif uap.
Amir Kuwait termasuk yang namanya tercatat dalam buku medali untuk donor yang disimpan di gedung arsip, bersama nama-nama dari seluruh dunia Islam dan tentara dari setiap provinsi.
Pekerjaan Konstruksi dan Manajemen
Pada Mei 1900, Sultan mendirikan “Administrasi Imperial” (İdare-i Şahane) dengan membentuk dua komite untuk mengawasi pelaksanaan proyek:
- Pertama, berkedudukan di Istanbul dengan Sultan sebagai ketua dan Izzet Pasha sebagai direktur jalur.
- Kedua, untuk pelaksanaan di Damaskus yang diketuai oleh Gubernur Suriah.
Manajemen umum diserahkan kepada Mayjen Kazım Pasha (menantu Sultan) untuk mengoordinasikan pekerjaan konstruksi. Tugas survei umum di wilayah tersebut untuk menentukan rute jalur dipercayakan kepada Insinyur Mukhtar Bey, sedangkan manajemen teknis diserahkan kepada insinyur Jerman Heinrich August Meissner dengan Shawqi Pasha Al-Muayyad Al-Azm sebagai asistennya.
Meissner bertugas mengawasi para insinyur dan bertanggung jawab atas pekerjaan konstruksi dengan bayaran 200 Franc plus kenaikan 100 Franc per bulan hingga 1909. Di bawah pengawasannya, ada 43 insinyur dari berbagai kebangsaan: 17 Utsmaniah, 12 Jerman, 5 Prancis, serta orang Austria, Belgia, dan Yunani. Pekerjaan konstruksi dilakukan oleh tentara Utsmaniah, yang jumlahnya hingga 1908 mencapai sekitar 7.500 orang.
Mulai dari Stasiun Al-Akhdhar, 760 kilometer di selatan Damaskus, hingga Madinah, komite proyek tidak lagi menggunakan tenaga teknis asing. Hal ini karena non-Muslim tidak diizinkan melewati wilayah ini. Mereka digantikan oleh teknisi dari kalangan Arab di bawah pengawasan insinyur Utsmaniyah, Mukhtar Bey. Di antara mereka ada seorang pemuda bernama Nadzif Al-Khalidi, asal Yerusalem, yang namanya hingga kini digunakan untuk menyebut Jabal An-Nadzif di Amman.
Pembangunan jalur ini dilaksanakan dalam 3 tahap utama:
- Pertama: Survei tanah yang akan dilalui jalur untuk memperkirakan biaya finansial.
- Kedua: Penentuan rute dan ketinggian jalur.
- Ketiga: Pelaksanaan teknis, yang diwujudkan dalam 3 langkah konstruksi:
-
- Langkah 1: Meratakan tanah tempat jalur akan dibangun.
- Langkah 2: Menyiapkan badan jalur, membangun jembatan dan terowongan.
- Langkah 3: Meletakkan rel baja di tempatnya yang benar.
Jalur Hijaz mengikuti rute dan arah yang telah dilalui kafilah haji sejak zaman dahulu (Thariq al-Haj asy-Syami) dengan beberapa modifikasi kecil untuk alasan teknis. Pembangunannya diselesaikan dalam 5 tahap dengan rata-rata 182 kilometer per tahun.
Pekerjaan dimulai pada 1 September 1900 dengan pembangunan jalur telegraf di bawah pimpinan Shawqi Pasha Al-Muayyad Al-Azm. Gubernur saat itu, Menteri Hussein Nazim Pasha, bertugas memfasilitasi pengiriman peralatan telegraf ke kota-kota yang dilaluinya dengan bantuan suku-suku Yordania.
Pembangunan telegraf dari Damaskus ke Madinah via Amman sepanjang 1.303 kilometer mempercepat komunikasi dan menghubungkan bagian-bagian negara dalam waktu yang singkat. Setelah itu, pembangunan fisik jalur kereta dimulai dari Stasiun Muzayrib. Bagian pertama, Damaskus-Dara’a, diresmikan pada September 1903.
Sebulan kemudian, jalur mencapai Amman, lalu ke Ma’an pada tahun 1904. Di Ma’an, didirikan pusat administrasi yang mulai mengoperasikan angkutan penumpang dan barang pada 1 September 1905. Pendapatannya digunakan untuk mendanai pembangunan jalur ke arah selatan.
Jalur kemudian mencapai Mada’in Salih (sekarang Al-‘Ula) pada tahun 1906, disertai dengan jalur cabang ke Haifa, Palestina, sebagai tahap keempat. Jalur akhirnya tiba di Madinah pada tahun 1908, berhenti pada jarak 250 mil dari Mekah.
Saat itu, Sultan memerintahkan agar kain felt (wol) dihamparkan pada 30 kilometer terakhir jalur. Kain ini dicuci dengan air mawar setiap hari sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan terhadap tanah yang diberkati tersebut. Di sana juga dibangun Masjid Al-Anbariyah (tanpa mimbar dan tidak untuk salat Jumat).
Sumber-sumber sejarah berbeda dalam memperkirakan panjang jalur, antara 1.465 kilometer hingga 1.322 kilometer. Jalur ini mencakup 40 stasiun dengan jarak rata-rata 20 kilometer antar stasiun. Kota dan pusat permukiman yang terletak di sepanjang Jalur Hijaz diperkirakan berjumlah 50 buah. Jalur ini juga meliputi 2.666 jembatan batu dan jembatan pejalan kaki, 250 dermaga, 7 jembatan besi, 9 terowongan, 7 bak air, 37 tangki air, rumah sakit di Tabuk dan Ma’an, bengkel kecil di Haifa dan Dara’a, pengecoran, bengkel pipa di Haifa, serta banyak gudang di sepanjang jalur dan pusat perawatan gerbong.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera