Sejumlah anggota pasukan keamanan Taliban tampil dalam parade militer untuk memperingati tiga tahun penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan. Acara tersebut digelar di Pangkalan Udara Bagram pada 14 Agustus 2024. (Associated Press)
Trump dan Bagram: Akankah Picu Konflik Lawan Afghanistan?
Oleh: Ahmad Maulana
Trump dan Bagram, begitulah kurang lebih frasa yang tepat untuk menggambarkan betapa obsesifnya Trump untuk membangun pangkalan di wilayah Afghanistan tersebut
Ketika sejarawan sekaligus diplomat Inggris, Arnold Toynbee, pernah menulis: “Tempatkan dirimu di Irak, maka akan tampak jelas bahwa separuh jalan dunia kuno mengarah ke Aleppo, dan separuh lainnya menuju Bagram,” ia merangkum dengan cemerlang posisi Afghanistan di jantung dunia lama.
Bertahun-tahun kemudian, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menghidupkan simbolisme itu saat menyatakan bahwa Washington berupaya merebut kembali kendali atas Pangkalan Udara Bagram.
Dalam konferensi pers bersama Perdana Menteri Inggris Keir Starmer di London pada 18 September lalu, Trump menyampaikan alasannya: Bagram hanya berjarak satu jam dari pabrik roket dan fasilitas senjata nuklir Cina, yang ia maksud adalah lokasi uji coba nuklir di Lop Nur, Xinjiang, dekat perbatasan Cina–Afghanistan.
Itu bukan pertama kalinya Trump menuntut penguasaan kembali atas Bagram. Pada Maret 2025, ia kembali menegaskan hal yang sama dengan menuduh pendahulunya, Presiden Joe Biden, telah meninggalkan Afghanistan dan menyerahkan Bagram kepada Cina.
Isu Bagram juga disuarakan oleh Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth. Ia menyoroti penarikan pasukan dari Kabul pada 2021 sebagai momen ketika Afghanistan menjadi simbol kehinaan dan kemunduran Amerika.
Dalam bukunya “The War on Warriors”, Hegseth menekankan bahwa Amerika kehilangan sembilan pangkalan militer, termasuk Bagram, sekaligus meninggalkan persenjataan besar di tangan Taliban. Persenjataan itu mencakup 40 ribu kendaraan militer—di antaranya 12 ribu Humvee—42 ribu perangkat penglihatan malam, alat pengawasan, biometrik, GPS, 300 ribu senjata ringan, puluhan helikopter, serta 10 ribu bom udara-darat.
Hegseth menyalahkan para jenderal yang setelah pensiun bekerja di perusahaan senjata, dengan tuduhan bahwa mereka akan mendapat keuntungan finansial dari kontrak baru untuk mengganti senjata yang hilang di Afghanistan.
Dalam pandangan Hegseth, Bagram menjadi simbol kekalahan di medan perang dan bukti keterputusan institusi militer dari tujuan tradisionalnya: bertempur dan mengalahkan musuh.
Pentingnya Pangkalan Militer
Toynbee menekankan peran pangkalan militer dalam meneguhkan kedaulatan imperium. Ia menelusuri asal-usulnya ke Romawi, yang membangun benteng sebagai pos logistik, menjaga jalur perdagangan, sekaligus menunjukkan kekuatan menghadapi lawan.
Sebuah studi dari Congressional Research Service tahun 2024 berjudul “US Bases Abroad” menjelaskan bahwa Amerika Serikat sejak awal membangun jaringan pangkalan lintas batas.
Sejak akhir abad ke-19, Angkatan Laut AS menyewa stasiun pengisian batu bara: di Meksiko (1869), Samoa (1878), dan Hawaii (1887), sebelum kemudian mendirikan pangkalan permanen di Filipina, Guam, dan Teluk Guantanamo setelah Perang Spanyol–Amerika 1898.
Setelah itu, pangkalan di Panama dibangun untuk menjaga keamanan Terusan Panama. Namun, pangkalan militer di luar negeri baru memainkan peran utama dalam strategi Amerika setelah Perang Dunia II.
David Vine, dalam bukunya “Base Nation: How U.S. Military Bases Abroad Harm America and the World”, menegaskan bahwa momen ini sering dipandang sebagai peristiwa kecil dalam sejarah Perang Dunia II, padahal sebenarnya menjadi titik awal transformasi Amerika menjadi kekuatan militer global.
Pada 2 September 1940, Presiden Franklin Roosevelt menandatangani perjanjian dengan Inggris, di mana London memperoleh 50 kapal perusak tua milik Amerika sebagai imbalan atas hak bagi Washington untuk menguasai serangkaian pangkalan udara dan laut di koloni Inggris di Karibia.
Perjanjian itu kemudian dikenal dengan nama “Destroyers for Bases” (kapal perusak untuk pangkalan). Kesepakatan tersebut memberikan Amerika Serikat hak sewa hingga 99 tahun di Kepulauan Bahama, Jamaika, Saint Lucia, Trinidad, Guyana Britania, dan wilayah lain. Durasi panjang kontrak sewa itu mencerminkan ambisi Amerika untuk meneguhkan kekuatan globalnya setidaknya selama satu abad ke depan.
Dengan pecahnya Perang Dingin, kehadiran militer Amerika meluas ke Eropa dan Asia Timur. Dominasi militer AS dibangun atas apa yang oleh para strategis disebut sebagai “kapasitas akses”, yakni kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan secara cepat dan tanpa hambatan ke wilayah luas dan vital di dunia. Kapasitas ini bertumpu pada ukuran dan kekuatan armada laut, kualitas persenjataan, serta jaringan pangkalan di luar negeri.
Di pangkalan-pangkalan itu, peralatan militer disimpan dan dirawat baik di masa damai maupun perang. Pasukan ditempatkan, kesadaran geografis kawasan dipantau melalui jaringan radar dan sistem peringatan dini. Pangkalan juga berperan menghadapi ancaman dengan sistem pertahanan rudal, serta memudahkan respons cepat terhadap krisis atau keadaan darurat.
Selain itu, pangkalan berfungsi sebagai titik awal pelatihan dan latihan gabungan dengan sekutu, yang meningkatkan interoperabilitas militer, memperkuat citra komitmen Washington dalam melindungi sekutunya, sekaligus mencegah para pesaing Amerika mengakses lokasi-lokasi strategis. Dengan demikian, pangkalan militer menjadi bagian penting dari kalkulasi pencegahan strategis.
Pentagon mendefinisikan pangkalan sebagai lahan atau fasilitas yang dimiliki atau disewa dalam bentuk apa pun oleh cabang militer atau lembaga lain di bawah Departemen Pertahanan.
Dengan definisi itu, pangkalan hadir dalam ukuran dan bentuk beragam: mulai dari kompleks besar di Jerman dan Jepang hingga fasilitas radar kecil di Puerto Riko. Pangkalan meliputi pelabuhan, bandara, bengkel perbaikan, area latihan, fasilitas senjata nuklir, lokasi uji coba rudal, gudang senjata, barak militer, pusat penyadapan dan komunikasi, hingga pangkalan pesawat tak berawak (drone).
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera