Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Agama Jawa - Detail Buku
Halaman Ke : 11
Jumlah yang dimuat : 577
« Sebelumnya Halaman 11 dari 577 Berikutnya » Daftar Isi
Arabic Original Text
Belum ada teks Arab untuk halaman ini.
Bahasa Indonesia Translation

Tidak ada yang mempersoalkan Geertz ketika ia menyebut penduduk desa yang menjadikan slametan sebagai pusat aktivitas keagamaan mereka sebagai golongan abangan. Semua juga tahu bahwa slametan bagi kelompok sosial ini sangat penting, meskipun secara statistik mereka selalu saja dianggap sebagai ummat Islam. Tetapi ketika Geertz menamakan mereka yang mempunyai kecenderungan ke-Islam-an yang kental sebagai golongan santri, maka masalah pun muncul. Bukan saja dalam tradisi konsep abangan biasa dipertentangkan dengan mutihan—jadi “merah” lawan “putih”—sedangkan kata santri dalam tradisi Jawa berarti mereka yang belajar di pesantren. Jadi, santri adalah anak muda yang masih belajar berbagai cabang ilmu keagamaan Islam. Tetapi ketika kata ini dijadikan sebagai nama dari orientasi keagamaan, maka kekacauan semantik pun telah terjadi. Apalagi kata priyayi yang dipakai Geertz sebagai identifikasi dari golongan ketiga. Maka tiba-tiba profesi kepegawaian pemerintah (suatu golongan yang diperbesar di masa kolonial) dan tingkat atas dalam sistem hicrarki dari status sosial tradisional telah dengan begitu saja menjadi nama dari golongan yang disebut Geertz mempunyai kecenderungan religius yang bersifat “Hinduistis”. Sepintas lalu kritik ini memang sangat mengena sasaran. Bukankah dengan penamaan yang dilakukannya Geertz telah mencampur-adukkan kategori sosial? Tetapi jika dibaca dengan teliti tampaklah bahwa Geertz sangat sadar akan makna dari ketiga kata yang dipakainya itu. Hanya saja ia dengan sengaja—bahkan merasa bebes—untuk memberi nama yang dianggapnya sesuai dengan golongan-golongan yang mempunyai orientasi keagamaan yang dikisahkannya itu. Golongan ini katanya, “saya namakan santri". Jadi, ia memberi nama dengan mengambil istilah yang artinya paling mendekati situasi dan orientasi kultural dan keagamaan yang biasa dipakai dalam masyarakat Jawa. Karena itu, janganlah heran kalau kemudian ilmuwan atau komentator sosial bisa merasa enak saja memakai kata santrinization—santrinisasi—sebagai istilah ilmiah ketika mengatakan tentang pelebaran wilayah kultural yang semakin mendekati tradisi Islam di kalangan masyarakat Jawa. Gejala sosial inilah yang rupanya dilihat para peneliti dan pengamat setelah Orde Baru semakin kukuh berkuasa. Mereka yang membaca karya Geertz ini kemudian tahu juga bahwa nama sesungguhnya dari “Mojokuto” itu ialah Pare, sebuah kota kecil di Jawa Timur.


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 11 dari 577 Berikutnya » Daftar Isi