Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
dengan elemen petani: santri, yang mewakili penekanan pada aspek Islam dari sinkretisme dan umumnya dihubungkan dengan elemen peda- gang Guga kepada elemen tertentu di kalangan tani): serta priyayi, yang menekankan aspek Hindu dan terkait dengan elemen birokratik—semua ini, dengan demikian, adalah tiga subtradisi utama yang akan saya gambarkan. Mereka bukan jenis yang diada-adakan, tetapi merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan sendiri oleh orang Jawa. Ketiganya mengindikasikan cara orang Jawa di Mojokuto memahami situasi, yang saya harapkan bisa terlihat dari kutipan yang panjang dari catatan lapangan saya, yang saya sertakan dalam teks. Semua kutipan ini barangkali tidak mutlak diperlukan untuk penggambaran sederha- na mengenai agama orang Mojokuto, tetapi menurut saya, salahsatu ciri laporan etnografi yang baik—esei ini tidaklah lebih dari sebuah laporan—adalah bahwa si etnografer mampu mencari jalan ke luar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas agar para pewbaca dapat melihat sendiri bagaimana fakta-fakta itu kelihatannya dan dengan demikian, menilai kesimpulan serta generalisasi si etnografer dalam kaitannya dengan persepsi aktual si etnografer. Jawa tak mudah dicirikan dengan satu label atau digambarkan di bawah satu tema yang dominan. Pulau itu lebih lama mengalami peradaban daripada Inggris yang selama lebih dari 1500 tahun telah menyaksikan orang-orang India, Arab, Cina, Portugis serta Belanda, datang dan pergi. Dewasa ini, Jawa memiliki jumlah penduduk yang termasuk paling padat di dunia, pertumbuhan kesenian yang paling tinggi serta pertanian yang paling intensif. Sungguh benar bahwa dalam menggambarkan agama sebuah peradaban yang begitu kompleks sebagaimana peradaban Jawa, pandangan tunggal sederhana mana pun pasti tidak memadai. Karenanya, pada halaman-halaman berikut, saya mencoba menunjukkan betapa banyak variasi dalam upacara, pertentangan dalam kepercayaan dan konflik dalam nilai-nilai, yang tersembunyi di balik pernyataan sederhana bahwa penduduk Jawa lebih dari 9096 beragama Islam. Kalau saya, sebagai konsekuensinya, telah memilih penekanan pada keanekaragaman keagamaan di Jawa masa kini—atau lebih khusus lagi, di sebuah kompleks kota-desa di Jawa masa kini—maka maksud saya bukanlah untuk mengingkari dasar kesatuan keagamaan dari rakyat Jawa, atau lebih luas lagi, dari rakyat Ind. mesia pada umumnya. Namun, untuk membawa pulang, kenyataan t :tang kompleksitas, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual mereka.