Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Kata Pengantar
Tafsir Al-Azhar
(Orang-orang yang saya kenang)
Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir” ini.
Mereka itu ialah, pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya dapat kelak menggantikan tempat beliau menjadi orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi, yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka dalam zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.
Pada 12 haribulan Rabi‘ul Akhir 1386, bersetuju dengan 31 Juli 1966, ninik- mamak dan Majlis Alim-Ulama negeri Sungai Batang — Tanjung Sani, yang di kedua negeri itu di zaman dahulu; ayah, nenek dan nenek dari nenek saya menjadi Guru pembimbing ummat dalam Agama Islam, telah memberikan secara resmi gelar Tuanku Syaikh kepada saya, sebagai gelar pusaka yang dahulu beliau-beliau pakai dan terletak gelar itu sejak ayah saya wafat pada 21 Jumadil Akhir 1364 bersetuju dengan 2 Juni 1945.
Ketika “Tafsir” ini disusun selalu saya terkenang beliau, dan mengharap moga-moga amalku yang tiada sepertinya ini dapat kiranya menimbulkan rasa bahagia beliau di dalam alam barzakhnya, Amin.
Orang kedua yang saya kenangkan lagi ialah guru dan ipar saya, suami dari kakak saya yaitu kakanda Ahmad Rasyid Sutan Manshur. Biaupun dari kecilk usia 9 tahun telah mendidikku pula dan telah memimpinku, sehingga aku dapat menjadi orang. Bila saya ziarah ke rumah beliau, selalu kelihatan rasa bangga pada airmukanya, karena adiknya telah menjadi.
Kadang-kadang beliau terpakau kagum mendengarkan saya menguraikan suatu falsafah agama, dan beliau bertanya: “Dari mana kau dapat itu?” Lalu
id) oleh admin pada 21 September 2025 - 11:53:41.Kata Pengantar
Tafsir Al-Azhar
(Orang-orang yang saya kenang)
Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir” ini.
Mereka itu ialah, pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya dapat kelak menggantikan tempat beliau menjadi orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi, yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka dalam zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu.
Pada 12 haribulan Rabi‘ul Akhir 1386, bersetuju dengan 31 Juli 1966, ninik- mamak dan Majlis Alim-Ulama negeri Sungai Batang — Tanjung Sani, yang di kedua negeri itu di zaman dahulu; ayah, nenek dan nenek dari nenek saya menjadi Guru pembimbing ummat dalam Agama Islam, telah memberikan secara resmi gelar Tuanku Syaikh kepada saya, sebagai gelar pusaka yang dahulu beliau-beliau pakai dan terletak gelar itu sejak ayah saya wafat pada 21 Jumadil Akhir 1364 bersetuju dengan 2 Juni 1945.
Ketika “Tafsir” ini disusun selalu saya terkenang beliau, dan mengharap moga-moga amalku yang tiada sepertinya ini dapat kiranya menimbulkan rasa bahagia beliau di dalam alam barzakhnya, Amin.
Orang kedua yang saya kenangkan lagi ialah guru dan ipar saya, suami dari kakak saya yaitu kakanda Ahmad Rasyid Sutan Manshur. Biaupun dari kecilk usia 9 tahun telah mendidikku pula dan telah memimpinku, sehingga aku dapat menjadi orang. Bila saya ziarah ke rumah beliau, selalu kelihatan rasa bangga pada airmukanya, karena adiknya telah menjadi.
Kadang-kadang beliau terpakau kagum mendengarkan saya menguraikan suatu falsafah agama, dan beliau bertanya: “Dari mana kau dapat itu?” Lalu
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #1 | 21 Sep 2025, 11:53:41 | id | admin | Tervalidasi | — |
Kata Pengantar Seketika menyusun “Tafsir” ini, baik selama dalam tahanan maupun setelah keluar dan menelitinya kembali, terkenanglah saya kepada tiga orang yang amat besar peranan mereka di dalam membentuk pribadi dan wajah kehidupan saya, yang saya belum merasa puas kalau belum menuliskannya dalam permulaan “Tafsir” ini. Mereka itu ialah, pertama ayah dan guru saya yang tercinta, Almarhum Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah, yang sejak saya mulai terlancar dari perut ibu saya, mulai melihat cahaya matahari, beliau ingin sekali agar saya dapat kelak menggantikan tempat beliau menjadi orang alim. Karena baik beliau sendiri, ataupun ayah beliau (nenek saya) Syaikh Muhammad Amrullah, atau nenek beliau Syaikh Abdullah Shalih, atau nenek yang di atas lagi, yaitu Tuanku Pariaman Syaikh Abdullah Arif, adalah orang-orang alim belaka dalam zamannya. Ayahku mengharap janganlah hal itu putus pada anak-anaknya dan sayalah yang beliau harap meneruskan itu. Pada 12 haribulan Rabi‘ul Akhir 1386, bersetuju dengan 31 Juli 1966, ninik- mamak dan Majlis Alim-Ulama negeri Sungai Batang — Tanjung Sani, yang di kedua negeri itu di zaman dahulu; ayah, nenek dan nenek dari nenek saya menjadi Guru pembimbing ummat dalam Agama Islam, telah memberikan secara resmi gelar Tuanku Syaikh kepada saya, sebagai gelar pusaka yang dahulu beliau-beliau pakai dan terletak gelar itu sejak ayah saya wafat pada 21 Jumadil Akhir 1364 bersetuju dengan 2 Juni 1945. Ketika “Tafsir” ini disusun selalu saya terkenang beliau, dan mengharap moga-moga amalku yang tiada sepertinya ini dapat kiranya menimbulkan rasa bahagia beliau di dalam alam barzakhnya, Amin. Orang kedua yang saya kenangkan lagi ialah guru dan ipar saya, suami dari kakak saya yaitu kakanda Ahmad Rasyid Sutan Manshur. Biaupun dari kecilk usia 9 tahun telah mendidikku pula dan telah memimpinku, sehingga aku dapat menjadi orang. Bila saya ziarah ke rumah beliau, selalu kelihatan rasa bangga pada airmukanya, karena adiknya telah menjadi. Kadang-kadang beliau terpakau kagum mendengarkan saya menguraikan suatu falsafah agama, dan beliau bertanya: “Dari mana kau dapat itu?” Lalu | |||||