Perubahan masyarakat yang menyeluruh akan melahirkan dan sekaligus disertai oleh perubahan mental dan psikologis yang sama mendasarnya. Perubahan ini akan mengangkat manusia Arab dari keadaan pasif dan tak berdaya menuju posisi yang penuh kekuatan dan kesadaran. Ada baiknya kita menunjuk beberapa sifat dasar yang menjadi ciri keadaan manusia ideal yang diharapkan. Sifat-sifat itu tampak sederhana, sering diabaikan para analis dan perencana, padahal nilainya sangat besar dan pengaruhnya sangat menentukan. Justru sifat-sifat ini lebih sulit diwujudkan dibanding mobilisasi material atau persiapan militer dan ekonomi. Bahkan, mobilisasi dan persiapan itu tidak akan berhasil tanpa tumbuhnya sifat-sifat tersebut dalam diri manusia Arab, baik secara individu maupun kolektif. Tujuan artikel ini adalah mengarahkan perhatian pada sebagian sifat-sifat dasar itu yang terus kita kehilangan, dan kehilangan itulah yang membuat kita terpuruk dan gagal.

Kita mulai dengan sifat yang paling dekat dengan naluri alami dan tanda kehidupan, yaitu kemarahan dan pemberontakan terhadap penindasan luar serta terhadap korupsi dan kelemahan di dalam. Sangat menyedihkan bahwa tanda vitalitas individu dan kolektif ini kini dalam keadaan lesu dan padam. Jika kita kecualikan yang terlihat dalam revolusi Palestina, khususnya dalam penampakan terbesarnya yaitu Intifada, hampir tidak ada lagi wujudnya di negeri-negeri Arab yang luas. Ironisnya, ketika bangsa-bangsa ini berada di bawah kekuasaan asing, mereka selalu bergolak marah setiap kali ditimpa penderitaan. Bangsa Suriah, Lebanon, dan Irak mendukung saudara-saudara mereka di Mesir dan Maghrib dalam revolusi mereka, demikian pula sebaliknya. Mereka yang hidup di masa penjajahan ingat bagaimana gema amarah itu menembus batasan dan rintangan yang didirikan penjajah. Kini, rintangan dan pagar itu semakin kokoh, dan luapan amarah rakyat semakin hilang, menjadi bukti mati surinya vitalitas rakyat akibat penindasan rezim mereka sendiri. Setelah masa bangkit dalam pergerakan nasional pertama, rakyat berubah menjadi “massa” yang diklaim sebagai sumber kekuasaan padahal tak memiliki kuasa apa-apa, dan menjadi “rakyat jelata” yang hanya melayani penguasa. Bisakah massa seperti itu marah dan memberontak? Atau sudah kehilangan kemampuan itu?

Ketika Israel menyerang Lebanon pada musim panas 1982 dan menduduki sebagian besar wilayahnya termasuk ibu kotanya, Beirut — ibu kota Arab pertama yang mengalami penderitaan sedemikian besar — amarah dan perlawanan heroik hanya terbatas pada warga kota itu dan pada perlawanan Lebanon dan Palestina. Sementara itu, bangsa Arab lainnya tidak bergolak seperti dulu untuk alasan yang jauh lebih sepele, seperti penahanan pejuang atau pengasingan seorang pemimpin. Tak ada satu pun demonstrasi besar di negeri Arab yang menunjukkan kemarahan rakyat, sementara justru ada protes di negara-negara asing. Hal serupa juga terjadi setiap hari di Palestina yang diduduki: pembunuhan, pemenjaraan, pengasingan, perusakan, dan pengusiran. Namun, di mana gema kemarahan bangsa Arab atas kebiadaban ini? Jika bangsa Arab tidak merebut kembali vitalitas mereka yang terampas, dan tidak mengembalikan kemampuan mereka untuk marah dan menolak, mereka akan tetap lemah dan tak mampu berkontribusi dalam perjuangan demi Palestina. Kini, hampir satu-satunya luapan amarah itu hanyalah “Intifada” rakyat Palestina di bawah penjajahan, yang sejak dua tahun lalu terus menyalakan api perlawanan meski menghadapi represi, pembunuhan, dan kehancuran yang tak tertandingi kecuali oleh rezim apartheid minoritas kulit putih di Afrika Selatan terhadap mayoritas kulit hitam.

Hari ini, ketika saya meninjau draf artikel ini, surat kabar menulis tentang kampanye Zionis di Amerika Serikat terhadap sebuah film dokumenter tentang Intifada Palestina berjudul “Hari-Hari Kemarahan: Rakyat Palestina”. Tekanan itu memaksa jaringan televisi yang menayangkannya mengubah isi dan judul film sebelum ditayangkan. Ini bukti bahwa kemarahan rakyat Intifada mulai menarik perhatian dan simpati publik asing, dan Zionisme pun menghadangnya, tidak hanya dengan penindasan di dalam negeri, tetapi juga di medan media internasional, khususnya di Amerika Serikat yang didominasi pengaruhnya.

Harus ditegaskan bahwa aspek kemampuan diri ini — tanda vitalitas rakyat — hanya akan berbuah baik bila disertai dengan pengendalian diri yang kuat, sehingga amarah itu terarah pada tujuannya tanpa dimanipulasi oleh pihak yang tamak atau bermaksud buruk. Daya tahan internal ini tumbuh seiring dengan berkembangnya unsur lain dari kemampuan diri yang mungkin paling penting, yaitu rasionalitas. Yang dimaksud adalah kemampuan menangani urusan umum maupun pribadi dengan kesadaran penuh, pemikiran jernih, dan metode ilmiah; bukan dengan khayalan, ilusi, atau naluri primitif. Di sini pun, masyarakat Arab masih jauh dari tingkat “rasionalitas” atau “keilmiahan” yang dibutuhkan untuk membangun kesehatan masyarakat dan menuntun langkahnya dengan benar, terutama di zaman ketika ilmu menjadi ukuran utama kemampuan dan kemajuan. Ilmu yang dimaksud bukan sekadar teknologi canggih atau perangkat modern yang dikejar negara-negara terbelakang karena godaan negara maju, melainkan sesuatu yang lebih mendasar, yang menjadi inti rasionalitas dan hakikat ilmu: kemampuan memahami alam, manusia, dan masyarakat lewat pengamatan, penelitian, kritik (terutama kritik diri), uji coba, keterkaitan, dan sintesis. Ini adalah kemampuan diri yang diperoleh, menyebar ke berbagai bidang kehidupan: rumah tangga, sekolah, ladang, pabrik, tempat ibadah, hingga ke tata pemerintahan dan administrasi. Ciri ini memberi cap khusus pada cara pandang dan perilaku manusia, mengangkatnya dari primitivitas menuju derajat peradaban.