Maka terlihat dengan jelas kebijaksanaan dari menjadikan iman sebagai sesuatu yang umum dan kekal, serta bahwa Allah tidak pernah mengabaikan generasi-generasi atau bangsa-bangsa tanpa rasul yang mengajak kepada iman ini dan memperdalam akar keyakinan ini.
Seringkali, seruan ini muncul setelah kerusakan pada nurani manusia, setelah nilai-nilai tinggi hancur, dan ketika manusia sangat membutuhkan mukjizat untuk mengembalikan mereka kepada fitrah yang benar, agar mereka dapat memperbaiki bumi dan memenuhi amanah hidup.
Keyakinan ini adalah roh bagi setiap individu, dengan itu kehidupan yang baik menjadi hidup, dan tanpanya, kematian rohani terjadi. Ini adalah cahaya yang, jika seseorang buta terhadapnya, akan tersesat dalam jalur kehidupan dan tersesat dalam lembah-lembah kesesatan.
"Allah itu wali (pelindung) orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir adalah wali-wali dari yang zalim (yang memerintah kepada yang zalim). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah, 2:257)
Keyakinan adalah sumber emosi yang mulia, penanam perasaan yang baik, dan pemicu perasaan yang mulia. Tidak ada kebajikan yang tidak berasal darinya, dan tidak ada kebaikan yang tidak kembali kepadanya.
Al-Quran, ketika berbicara tentang perbuatan baik, selalu menempatkan keyakinan di depannya sebagai akar dari segala perbuatan baik tersebut. Allah berfirman:
"Bukanlah kebajikan itu antara kamu memalingkan wajahmu ke arah timur atau barat, tetapi kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil, (sedangkan mereka sendiri) berada dalam keadaan kesulitan, dan dalam keadaan tertindas." (QS. Al-Baqarah, 2:177)