Yang jadi pokok dari memberikan khutbah ialah memberi pelajaran, pendidikan, peringatan dan kesadaran beragama, mengulang-ulangkan peringatan ke dalam hati orang yang beriman agar mereka memperteguh takwanya kepada Tuhan dengan anjuran yang benar-benar menawan hati dan menimbulkan keinsatan.
Dalam mazhab Syafi‘i disebutlah rukun-rukun khutbah. Yaitu;
(1) Memuji Tuhan dengan ucapan Alhamdulillah,
(2) Mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah s.a.w.,
(3) Memberikan nasihat agar bertakwa kepada Allah dalam kedua khutbah,
(4) Bacakan ayat al-Quran walaupun hanya satu ayat,
(5) Mendoakan kaum Muslimin.
Dalam mazhab Hanbali hanya empat, sekadar mendoakan kaum Muslimin itu tidak masuk.
Dalam mazhab Malik, rukun Khutbah hanya satu. Yaitu asal khutbah itu mengandung satu hal saja yang amat penting, yaitu memberikan kesadaran beragama kepada jamaah yang mendengarkan sehingga meresap padanya kesadaran beragama.
Dalam mazhab Hanafi pun hanya satu saja. Yaitu asal khutbah itu mengandung dzikr (menyebut dan mengingat) Allah.
Memang, sudah biasa apabila orang berkhutbah yang berdasarkan agama, baik tabligh agama, baik ceramah atau pengajian, dituruti orang sunnah Nabi, yaitu dimulai dengan memuji Allah. Maka kalau dalam mazhab Syafi‘i hal itu dijadikan rukun, maka oleh mazhab Hanafi dan Maliki tidaklah kepada kemestian membaca Alhamdulillah itu perhatian ditekankan, melainkan kepada isi khutbah.
Hendaklah kita tinjau dan simpulkan pendapat-pendapat dari inazhabmazhab itu dengan sebaik-baiknya. Kalau kita hanya membeku saja menurut rukun Khutbah yang digariskan dalam mazhab Syafi‘i, niscaya mudah saja seorang Khathib naik mimbar lalu berkhutbah;
“Segala puji bagi Allah.
Shalawat dan Salam atas Rasulullah,
Wahai sekalian manusia, takwalah kcpada Allah, Katakanlah bahwa Allah itu adalah Satu,
Ya Tuhanku, ampunilah Muslimin dan Muslimat.’’
Cuma itu saja, lima patah kata; dia pun turun sebentar dan naik lagi untuk khutbah kedua, dibacanya itu juga. Dalam tjga menit selesai dia baca Khutbah.