kurlah di antara orang-orang itu, seorang pun tidak tahu
bahwa saya lama termenung di sini karena saya dilahirkan
di daerah yang dipertontonkan ini.
Jika mereka bertanya, “Apakah ini masih ada?” Tentu
akan saya jawab, “Masih!”
Apa jawaban saya jika mereka bertanya, “Mana kakus-
nya?”
Apa jawaban saya jika mereka bertanya, “Mana pipa
airnya?”
Apakah saya akan menerangkan bahwa di bawah ru-
mah ini adalah tempat menyembelih sapi dan baunya sam-
pai ke rumah?
Syukurlah saya sadar diri bahwa Minangkabau yang
dipertontonkan itu memang bagus dan indah, seperti ke-
nang-kenangan. Namun, zaman telah berubah dan tidak-
lah segala yang lama dapat dipertahankan lagi. Sudah ba-
nyak yang harus disimpan dalam museum untuk dikunjungi
dan dipelajari, tidak untuk diulangi kembali. Jauh masanya,
sebelum saya ke Amerika, sebelum melihat museum di
Chicago, saya telah menulis tentang hal ini.
Sebelum ada orang yang bertanya, saya pun mundur
dengan teratur dari tempat itu. Keluar dari dalam museum
menuju ke udara yang lapang di alam yang luas. Salju telah
mulai menitik di atas mantelku. Mobil-mobil meluncur dan
melancar keras, kegiatan terlihat di mana-mana. Rumah
pencakar langit di kota besar Amerika yang kedua, sesu-
dah New York.
Ingatan tentang Minangkabau, tempat aku dilahirkan,
telah timbul dengan sendirinya meskipun menurut suasa-
na sekarang, saya telah menjadi orang Indonesia. Ingat-
an bahwa saya adalah orang Indonesia, bertambah keras