Sistem Pangan Gaza Ditekan Israel Hingga Titik Kehancuran
Oleh : Georgina McAllister (Asisten Profesor di bidang Stabilisasi Pertanian pada Centre for Agroecology, Water & Resilience, Universitas Coventry)
Artikel Sistem Pangan Gaza Ditekan Israel Hingga Titik Kehancuran ini masuk dalam Kategori Analisa
“Kuasi minyak, maka kau kuasai bangsa; kuasai makanan, maka kau kuasai manusia.” Pepatah ini, yang sering dikaitkan dengan Henry Kissinger, terlintas di benak saya ketika menyaksikan langsung bagaimana kedua strategi tersebut diterapkan secara efektif dalam pendudukan dan blokade Israel terhadap Gaza.
Sebagai peneliti sistem pangan dan pertanian di wilayah konflik, saya berada di wilayah terkepung itu — sekitar 50 km kali 10 km, yang menjadi rumah bagi 2,2 juta warga Palestina — untuk meneliti bagaimana wilayah tersebut dapat memulihkan kedaulatan pangannya. Saya sangat terkesan dengan tradisi kuliner yang bertahan lama dan terkait erat dengan sejarah perdagangan yang kaya, serta bagaimana varietas lokal yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di Gaza kini terancam punah.
Ketika perang Israel terbaru di Gaza pada bulan Agustus mulai terlupakan, ada baiknya menilik bagaimana sejarah belakangan ini telah membentuk sistem pangan wilayah itu hingga mencapai titik kehancuran.

Sumber: Google Earth, CC BY-SA
Bertani di tanah berpasir pesisir Gaza membutuhkan keterampilan yang diasah selama berabad-abad. Varietas lokal dari pohon zaitun, kurma, jeruk, dan anggur telah beradaptasi secara unik selama ribuan tahun untuk menghadapi kondisi salinitas tinggi. Tanah yang lebih berat dengan dasar lempung di perbatasan timur wilayah yang kini disebut Jalur Gaza menyimpan cukup kelembapan dan kesuburan untuk mendukung pertanian tadah hujan.
Saat ini, kegiatan pertanian di Gaza terutama dilakukan di dalam dan sekitar wilayah perkotaan, terjepit antara perampasan lahan pertanian di perbatasan dan ekspansi kota. Seperempat penduduknya — sebagian besar perempuan — menggantungkan penghidupan pada pertanian keluarga berskala kecil, baik sebagai tenaga kerja berbayar maupun tidak berbayar. Namun demikian, dan hal ini cukup mengagumkan, Gaza terbukti mampu swasembada buah dan sayuran. Secara teori, itu sudah cukup untuk memberi makan penduduknya dan menghasilkan pendapatan ekspor.
Namun, serangan udara berulang selama 55 tahun pendudukan dan blokade selama 15 tahun telah sangat memengaruhi pola produksi dan konsumsi di Gaza. Meski swasembada dalam beberapa jenis tanaman, tekanan terhadap lahan penggembalaan dan pertanian menghasilkan produksi sereal yang sangat rendah serta ketersediaan protein hewani yang minim.
Kekurangan gizi ini ditangani oleh PBB, melalui distribusi paket makanan bagi 68% penduduk yang mengalami kerawanan pangan, serta oleh impor dari Israel. Wilayah pendudukan Palestina sendiri merupakan pasar ekspor terbesar ketiga bagi Israel (setelah Amerika Serikat dan Tiongkok).

Sumber foto: Mohammed Saber / EPA
Tanah rusak dan benih impor
Dalam upaya bersaing dengan impor pangan yang sangat disubsidi, banyak petani menjadi bergantung pada pupuk kimia sintetis dan pestisida impor. Ketergantungan ini justru meningkatkan biaya produksi lokal dan merusak biologi tanah, termasuk kemampuannya untuk menahan kelembapan dan kesuburan. Pencemaran air tanah akibat kebocoran nitrat kini menjadi masalah besar.
Ketergantungan yang meningkat pada benih hibrida juga menggantikan benih-baladi (lokal) yang diserbuki terbuka, yang sangat adaptif dan kaya nutrisi, serta dapat disimpan dan ditanam kembali setiap tahun. Benih-benih inilah inti budaya pangan Gaza, dan keberagaman yang dikandungnya sangat penting untuk menghadapi perubahan iklim.

Air, energi, dan limbah
Seiring pertumbuhan penduduk Gaza, akuifer pesisir yang dulunya menyediakan air tawar bagi wilayah itu kini telah dieksploitasi secara berlebihan dan terkontaminasi air laut. Kini, air tersebut dinyatakan tidak layak untuk dikonsumsi manusia maupun untuk irigasi.
Penargetan sistematis oleh Israel terhadap infrastruktur energi, air limbah, dan air bersih Gaza — yang semuanya merupakan bagian penting dari sistem pangan — serta penolakannya untuk mengizinkan akses peralatan guna perbaikan atau penggantian, telah mempercepat apa yang oleh PBB disebut sebagai “kemunduran pembangunan Gaza”.
Serangan udara terhadap satu-satunya pembangkit listrik dan pabrik pengolahan limbah terbesar di Gaza pada tahun 2008 menyebabkan 100.000 meter kubik limbah mengalir ke rumah-rumah dan lahan pertanian di sekitarnya. Pada tahun 2018, penghancuran infrastruktur sanitasi oleh Israel menyebabkan kerusakan lingkungan lebih lanjut, sehingga limbah padat dan cair mentah dibuang langsung ke Laut Tengah, mengancam stok ikan yang menjadi sumber penghidupan dan konsumsi warga Gaza.
Pembangunan instalasi pengolahan limbah yang didanai secara internasional mungkin telah mengurangi aliran limbah untuk sementara waktu. Namun, ancaman terus-menerus tetap ada — berupa kapasitas yang terbatas, pasokan energi yang tidak stabil, serta risiko serangan di masa depan.
Wilayah yang menyusut
Israel “menarik diri” dari Gaza pada tahun 2005, dengan dalih untuk “mengembalikan” tanah yang sebelumnya berada di bawah permukiman dan zona militer Israel. Namun pada kenyataannya, bentuk pendudukan justru meningkat melalui apa yang disebut “wilayah terbatas akses”.
Lebih dari sepertiga lahan pertanian Gaza berada di zona terlarang ini yang membentang di sepanjang perbatasan utara dan timur — wilayah yang dulunya merupakan pusat produksi buah dan sumber pangan utama wilayah itu. Batas pasti dari zona ini tidak pernah diumumkan, tetapi diperkirakan bervariasi antara 300 hingga 1.000 meter.
Siapa pun yang terlalu dekat dengan area tersebut berisiko ditembak, dan peralatan mereka disita atau dihancurkan. Di sepanjang perbatasan darat sejauh 60 km, Israel menempatkan pos-pos perbatasan — beberapa di antaranya dilengkapi senapan mesin yang dikendalikan jarak jauh, sensor darat, dan drone. Demikian pula, akses ke perairan Mediterania dibatasi antara enam hingga lima belas mil laut dari pantai, sehingga nelayan tradisional Gaza kehilangan akses penuh ke daerah penangkapan ikan yang paling produktif.
Hingga tahun 2022 saja, tercatat sudah terjadi 644 insiden penembakan untuk mencegah warga mengakses darat atau laut.

Penghancuran lahan pertanian
Meskipun blokade yang telah dianggap “normal” dan serangan udara rutin terus berlangsung, invasi darat tetap menjadi ancaman paling signifikan. Antara tahun 2000 dan 2008, diperkirakan sekitar 112.000 pohon zaitun telah dicabut selama “penyerbuan” Israel.
Setelah Operasi Cast Lead (2008–2009), PBB mendokumentasikan penghancuran tanah, tanaman sayuran, kebun buah, ternak, sumur, tempat penetasan, sarang lebah, rumah kaca, jaringan irigasi, kandang, dan gudang. Pohon buah pengganti atau muda tidak mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas tinggi, sehingga tidak dapat bertahan hidup.
Setelah Operasi Protective Edge (2014), PBB tidak diberi izin untuk mengakses wilayah tersebut, namun melaporkan bahwa penghancuran infrastruktur penting telah menjadi “kenyataan yang berulang”.
Penyemprotan herbisida dua kali setahun oleh Israel — yang disebut dilakukan untuk alasan keamanan — merusak ratusan hektare tanaman. Selain itu, invasi rutin menggunakan buldoser menghancurkan lebih banyak lagi lahan pertanian.


Kompensasi atas penghancuran lahan pertanian dan infrastruktur oleh negara Israel seharusnya disalurkan oleh PBB melalui kontribusi negara-negara anggotanya. Namun hingga kini, tidak ada kompensasi yang diberikan kepada para petani Palestina.
Pada akhirnya, komunitas internasional — yang mendukung apa yang disebut “keamanan pangan” sambil diam-diam menanggung biaya kerusakan — tetap ikut bersalah melalui sikap diamnya. Kekerasan Israel terhadap sistem pangan dan pertanian Palestina menjadikan pangan yang layak dan bermartabat mustahil diwujudkan. Gaza, dalam waktu yang tidak lama lagi, mungkin benar-benar menjadi tempat yang tak layak huni.
Sumber : The Conversation