Perang di Gaza dan Bangkitnya Kembali Imperialisme (Bagian Kedua)
Oleh : Hisyam Ja’far (al Jazeera)
Artikel Perang di Gaza dan Bangkitnya Kembali Imperialisme ini masuk dalam Kategori Analisa
Catatan : Analisa yang dimuat tidak selalu mencerminkan sikap redaksi rezaervani.com
3. Bangkitnya Negara Peradaban
Sebagai negara yang didasarkan pada peradaban, jenis negara ini punya tugas utama: melindungi tradisi budaya tertentu. Wilayah pengaruhnya mencakup semua daerah yang didominasi oleh budaya tersebut.
Negara peradaban dibangun atas dasar budaya, bukan semata politik atau batas wilayah. Dalam pandangan ini, menjaga dan melestarikan budaya lebih penting dibanding sekadar patuh pada hukum kewarganegaraan. Ikatan budaya dinilai lebih kuat daripada status legal warga negara.
Selama ini, Amerika Serikat kerap memulai perangnya dengan membawa misi budaya yang jelas—seperti menyebarkan nilai demokrasi ala Amerika, atau menyebarkan budaya kapitalisme. Tapi Amerika berusaha membungkusnya agar tampak netral dan seolah-olah bermanfaat bagi semua, bukan sekadar kepentingan budaya yang hanya cocok untuk sebagian masyarakat dan bertentangan dengan yang lain.
Yang berbeda di era Trump—dan sejalan dengan Proyek 2025 yang dianggap sebagai manifesto pemerintahannya—adalah ajakan untuk menghidupkan kembali semangat Amerika dengan prinsip-prinsip tertentu. Misalnya: menghidupkan tradisi Yahudi-Kristen, mengembalikan keluarga tradisional yang terdiri dari laki-laki dan perempuan sebagai pusat masyarakat, serta melindungi kedaulatan negara, perbatasan, dan sumber dayanya dari pengaruh luar.
Di sisi lain, ketika Rusia mencaplok Krimea tahun 2014, itu jadi titik balik penting. Langkah itu secara terang-terangan menolak salah satu prinsip utama dalam sistem internasional liberal, yakni bahwa batas negara tidak boleh diubah dengan kekerasan.
Yang menarik, Putin membenarkan langkah ini dengan alasan yang kultural atau berbasis peradaban, yaitu bahwa Krimea selalu menjadi bagian dari dunia Rusia. Tapi menariknya, konflik ini memperlihatkan Rusia Ortodoks justru berhadapan dengan Ukraina yang juga Ortodoks—bukan dengan Turki Muslim seperti dalam sejarah. Ini menunjukkan bahwa batas peradaban atau agama tidak selalu jelas dan kaku, seperti dalam teori benturan peradaban ala Huntington.
Hal serupa juga terlihat di India. Ketika Narendra Modi dan partainya, Bharatiya Janata Party (BJP), menggantikan Partai Kongres yang pluralistik pada 2014, itu dilakukan dalam kerangka ideologi Hindutva. Ideologi ini menggambarkan India sebagai negara peradaban yang berakar pada Hindu—meskipun ratusan juta warga India menganut agama lain.
Di Tiongkok, Xi Jinping tampil sebagai pemimpin yang semakin berani menantang Barat secara ideologis. Ia juga sangat menekankan pentingnya menjaga keutuhan wilayah Tiongkok—seperti yang ia tunjukkan di Hong Kong, dan yang ia usahakan terhadap Taiwan.
Pada Februari 2025, Partai Likud yang berkuasa di Israel, dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, bergabung sebagai anggota pengamat dalam aliansi sayap kanan ekstrem: Kemitraan untuk Eropa (Partnership for Europe).
Dalam pemilu Parlemen Eropa Juni 2024, partai-partai sayap kanan ekstrem menjadi kekuatan politik terbesar ketiga. Dengan narasi baru ini, Yahudi dan Eropa diposisikan sebagai korban dari Islam fasis yang dianggap sedang bangkit. Maka terbentuklah poros baru antara Israel dan kelompok kanan ekstrem di Eropa untuk menghadapi apa yang mereka anggap sebagai ancaman dari umat Islam.
4. Peran Negara Baru
Inti dari negara peradaban adalah: mendorong satu cara hidup tertentu dan melindunginya dari semua alternatif lainnya.
Menurut pemimpin redaksi majalah NOEME, ada dua masalah utama dalam globalisasi versi Barat.
Pertama, banyak masyarakat di Asia dan Afrika melihat nilai-nilai Barat hanya sebagai salah satu pilihan di antara banyak cara hidup lain. Janji bahwa mereka bisa tetap menjaga budaya tradisional dalam masyarakat liberal ternyata hanyalah ilusi berbahaya.
Jika Turki, Tiongkok, atau Rusia mengikuti seluruh nilai dan aturan Barat, maka masyarakat mereka perlahan akan menjadi salinan masyarakat Barat—dan kehilangan jati diri budayanya.
Dulu, proses seperti ini dianggap sebagai harga yang harus dibayar untuk menjadi modern. Tapi kini, semakin banyak orang mulai bertanya-tanya: apakah benar harus meniru Barat untuk bisa menikmati kehidupan modern?
Ada masalah lain: nilai dan standar Barat masih perlu ditafsirkan dan diterapkan. Dan yang sering memegang kendali dalam hal ini adalah negara-negara Barat yang paling berkuasa.
Dalam pandangan negara peradaban, ide bahwa seluruh dunia harus bersatu dalam nilai-nilai bersama dianggap sebagai ideologi Barat untuk melawan budaya lain. Seperti yang pernah dikatakan Samuel Huntington, orang-orang di luar dunia Barat sebaiknya melihat ide “satu dunia” itu sebagai ancaman.
Lalu, kenapa negara lain tidak boleh melakukan hal serupa? Kenapa mereka tidak bisa membangun negara berdasarkan pandangan mereka sendiri tentang “kehidupan yang baik”? Sebuah negara yang bertumpu pada nilai dan peradaban mereka sendiri?
Dalam dunia seperti ini, peradaban-peradaban yang berbeda sebenarnya sudah bersikap global—meski tidak selalu terang-terangan menunjukkan ambisi mereka. Mereka bisa bersaing dalam kekuasaan global, namun tetap menjadi bagian dari jaringan politik dan ekonomi yang saling terhubung. Hal ini akan membentuk wajah konflik masa depan dengan cara yang baru—dan perlu terus kita amati.
— Selesai Rangkaian Artikel 2 (Dua) Seri —