Mengapa Pihak Pejuang Tidak Menyerang Israel ? (Bagian Kedua)
Oleh: Sa’id Ziyad – Peneliti dalam bidang politik dan strategi
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Mengapa Pihak Pejuang Tidak Menyerang Israel ? – pertanyaan itu sering diajukan oleh orang-orang yang tidak terlibat langsung pada perang Gaza. Analisa dari Sa’id Ziyad ini cukup komprehensif agar kita bisa memahami hal tersebut
Pengamatan dan analisa menunjukkan bahwa metode pertahanan yang efektif di awal pertempuran, tidak lagi relevan untuk digunakan pada bulan-bulan berikutnya. Taktik yang diterapkan oleh pejuang Palestina di sektor Gaza dan sektor utara berbeda dengan taktik pertempuran yang diterapkan di sektor Khan Younis dan Rafah. Bahkan, di dalam satu sektor yang sama, taktik tersebut berubah-ubah seiring dengan perubahan strategi dan taktik yang digunakan oleh pasukan musuh. Tidak hanya itu, perubahan taktik juga terjadi hingga pada tingkat batalion di dalam sektor tersebut.
Hal ini dapat diamati dengan mudah apabila dilakukan perbandingan antara metode pertempuran pejuang Palestina dalam Pertempuran Jabalia pertama pada bulan November, Pertempuran Jabalia kedua pada bulan Mei, dan Pertempuran Jabalia ketiga pada bulan Oktober dalam skenario perang yang disebut sebagai “Rencana Para Jenderal”.
Berkaitan dengan metode pertahanan, secara umum pergerakan pejuang Palestina — terlebih ketika durasi pertempuran berlangsung lama dan sumber daya mereka semakin menipis — cenderung mengadopsi model pertahanan fleksibel. Hal ini berbeda dengan tentara konvensional (resmi) yang dalam banyak pertempuran mengandalkan model pertahanan statis.
Yang dimaksud dengan pertahanan fleksibel adalah pergerakan dan manuver pasukan pertahanan secara dinamis, digerakkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan situasi di medan tempur. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memanfaatkan pasukan secara optimal dan menempatkan mereka secara taktis di titik-titik paling strategis yang memungkinkan untuk melancarkan serangan mematikan dan signifikan ke titik-titik lemah pasukan musuh. Dengan demikian, kekuatan pasukan tidak akan dihamburkan sia-sia di lokasi-lokasi yang secara taktis tidak memberikan hasil signifikan dan tidak mampu menimbulkan kerugian besar bagi musuh.
Adapun prinsip ekonomi dalam penggunaan kekuatan, yang dimaksudkan adalah penggunaan sumber daya secara minimal — baik dalam jenis senjata, jumlah pejuang, maupun infrastruktur — untuk mencapai tujuan pertahanan, tanpa harus menguras seluruh sumber daya dan melelahkan pasukan. Prinsip ini bertujuan agar pejuang Palestina mampu mempertahankan kemampuan tempurnya dan memperpanjang durasi pertempuran selama mungkin.
Mengingat kondisi pejuang Palestina yang tidak memiliki jalur logistik dan suplai (garis belakang) sebagaimana dimiliki oleh tentara resmi, maka realitas operasional menuntut mereka untuk bekerja secara lebih ketat mengikuti prinsip ini dalam strategi perang.
Prinsip ini pula yang diterapkan oleh pejuang Palestina dalam pertempuran di sektor Khan Younis menghadapi Divisi ke-98 pasukan musuh, serta dalam pertempuran di sektor Rafah menghadapi Divisi ke-162 pasukan musuh.
Bahkan, pada saat itu, pasukan penjajah Israel telah menerbitkan banyak laporan yang menyebutkan bahwa Brigade Al-Qassam di kedua sektor tersebut telah menarik tiga perempat kekuatan tempurnya, dan hanya menyisakan seperempat pasukan di medan untuk menjalankan tugas-tugas pertahanan di area operasi.
Dalam pertempuran panjang dan paling rumit yang sedang berlangsung antara pejuang Palestina dan pasukan penjajah Israel, strategi saling menguras kekuatan (perang atrisi) menjadi salah satu medan persaingan utama yang diperebutkan oleh kedua belah pihak.
Sepanjang bulan-bulan perang yang telah berlalu, tampak jelas bahwa pejuang Palestina terus mengembangkan taktik-taktik baru untuk menghindari terjadinya pengurasan kekuatan secara sia-sia. Sebaliknya, Israel — yang terlibat dalam pertempuran di banyak front sekaligus seperti Lebanon, Suriah, dan Tepi Barat — terpaksa mengerahkan sebanyak mungkin kekuatan militernya. Situasi ini memperlihatkan adanya gejala krisis pengurasan kekuatan di pihak musuh, terutama di barisan pasukan cadangan mereka.
Sebagian besar pihak semula memperkirakan bahwa setelah berakhirnya gencatan senjata yang cukup panjang, perang akan segera menuju pada penghentian total tembak-menembak, atau setidaknya akan dilanjutkan dengan gencatan senjata yang lebih lama.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Pasukan cadangan Israel, juga pasukan reguler mereka, mendapati diri mereka harus kembali bertempur. Israel pun dipaksa untuk mengerahkan tiga divisi militernya sekaligus ke Jalur Gaza — jumlah yang tergolong besar, terlebih jika dibandingkan dengan karakteristik tentara Israel yang terkenal kecil dalam ukuran kekuatan.
Langkah Israel untuk mengerahkan pasukan dalam jumlah besar serta melancarkan serangan ke wilayah Rafah menggambarkan sebuah situasi di mana Israel terpaksa menanggung sendiri beban biaya perang atrisi ini. Mereka menggelontorkan pasukan besar, sumber daya, amunisi, dan rencana operasional dalam jumlah besar, sementara pejuang Palestina tetap mempertahankan kekuatan utamanya, infrastruktur militernya, serta jaringan terowongannya untuk disiapkan pada waktu yang menurut perhitungan mereka paling tepat — apakah untuk keterlibatan penuh atau keterlibatan sebagian dalam pertempuran besar.
Dengan demikian, pada saat pejuang Palestina memutuskan untuk kembali terlibat secara aktif dalam pertempuran, perhitungan perang atrisi ini akan berada pada titik di mana pejuang Palestina praktis tidak mengalami pengurasan kekuatan yang signifikan, sementara pihak musuh telah menanggung kerugian besar baik dalam jumlah pasukan, peralatan, maupun logistik.
Sepanjang bulan-bulan perang yang telah berlalu, berbagai pertanyaan memang banyak dilontarkan terkait kemampuan pejuang Palestina — terlebih dengan gencarnya propaganda Israel yang terus mengklaim bahwa operasi militer mereka telah berhasil menghancurkan kekuatan pejuang Palestina.
Namun, banyak bukti dan fakta yang muncul di lapangan justru membantah klaim tersebut.
Sebagai contoh, wilayah Beit Hanoun mencatatkan salah satu kerugian terbesar yang dialami oleh tentara Israel dalam operasi darat ini. Hanya dalam waktu 72 jam — tepat sebelum dimulainya gencatan senjata — sekitar 10 tentara Israel berhasil dilumpuhkan di wilayah ini. Padahal, Beit Hanoun adalah salah satu wilayah yang sejak malam pertama operasi darat telah menjadi sasaran serangan pasukan Israel, dan tetap mereka serang hingga malam terakhir dari total 471 hari perang ini, sebelum dimulainya tahap pertama dari pelaksanaan penghentian tembak-menembak.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah