Bagaimana Pihak Perlawanan Gaza Mengatur Strategi Diplomasi? (Bagian Pertama)
Dr. Said Al-Haj (Penulis dan peneliti Palestina)
Artikel Bagaimana Pihak Perlawanan Gaza Mengatur Strategi Diplomasi? ini masuk dalam Kategori Analisa Politik
Laporan berita menunjukkan bahwa negosiasi tahap kedua di Gaza akan segera dimulai, dan menjelang itu, pendudukan meningkatkan tingkat tekanannya terhadap Gaza, baik terhadap rakyat maupun perlawanan, melalui arus isu dan berita terarah untuk menempatkan perlawanan Palestina pada posisi tawar yang defensif dan lemah.
Perjanjian Sebelumnya
Pemerintah Netanyahu menunda selama lebih dari satu tahun sebelum mencapai sebuah perjanjian yang lebih dari siapa pun mereka sadari bahwa tidak ada jalan lain selain itu untuk mendapatkan kembali tawanan mereka, setelah kegagalannya dalam memenuhi janji dan ancamannya untuk membebaskan mereka dengan kekuatan militer.
Pada pertengahan Januari 2025, yaitu setelah lima belas bulan sejak dimulainya perang, pemerintah pendudukan menerima perjanjian gencatan senjata, dan tahap pertamanya mulai dilaksanakan beberapa hari setelah itu.
Jika kembali kepada faktor utama yang mendorong pemerintah Netanyahu menuju perjanjian tersebut, kita akan menemukan kegagalan tentara pendudukan dalam membebaskan para tawanan dengan kekuatan, ketidakmampuannya untuk menampilkan citra kemenangan militer atau pencapaian politik, khususnya terkait dengan pemberantasan perlawanan meskipun telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencapai tingkat genosida, meningkatnya tekanan internal terhadapnya khususnya terkait dengan isu tawanan, serta kondisi kelelahan yang menimpa tentara baik sebagai institusi maupun individu.
Namun semua itu tidak cukup untuk memaksa pemerintah menandatangani perjanjian selama 15 bulan penuh, hingga terpilihnya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat dan keinginannya untuk mencatat sebuah pencapaian sebelum memasuki Gedung Putih, di mana tekadnya untuk itu menjadi faktor penentu dalam penandatanganan Netanyahu terhadap kesepakatan tersebut.
Dan karena tidak ada perbedaan besar antara Trump dan Netanyahu mengenai sebagian besar jalur dan detail perang, serta karena masalahnya berkaitan dengan citra kekuatan yang ingin dibanggakan presiden Amerika, bukan tekanan nyata untuk menghentikan perang, maka sejak awal sudah jelas bahwa pendudukan hanya tertarik pada tahap pertama dari kesepakatan itu, dan bahwa gencatan senjata yang nyata dan berkelanjutan masih jauh dari jangkauan.
Oleh karena itu, pasukan pendudukan mengabaikan protokol kemanusiaan setelah memperoleh tawanan pada tahap pertama, bahkan dengan sengaja hampir sepenuhnya menghalanginya, termasuk masuknya bantuan, evakuasi para korban luka untuk berobat, masuknya peralatan berat untuk membantu membuka jalan dan mengangkat reruntuhan, serta menolak masuk dalam negosiasi tahap kedua, dan melanjutkan serangan udara, pembunuhan, dan pengusiran secara sistematis.
Strategi Pendudukan
Dengan menandatangani perjanjian gencatan senjata, Netanyahu memenuhi keinginan Trump sehingga terhindar dari reaksi marah darinya, dan mendapatkan senjata Amerika yang telah dibekukan sejak pemerintahan Biden, di samping senjata baru, serta mendapat dua kali pertemuan di Gedung Putih.
Selain itu, ia juga mendapatkan sejumlah tawanan yang berada di tangan perlawanan, sehingga membantah tuduhan bahwa ia tidak peduli pada nasib mereka dan mengurangi tekanan internal yang menimpanya. Meskipun tidak berkomitmen sepenuhnya pada perjanjian tersebut, khususnya bagian kemanusiaannya, ia tidak menghadapi kritik atau tekanan nyata dari para mediator, negara-negara Arab dan Islam, maupun kekuatan internasional lainnya.
Dengan demikian, unsur tekanan internal dan eksternal hampir sepenuhnya hilang dari Netanyahu, sehingga ia tidak lagi terburu-buru, yang memungkinkannya untuk mengubah strategi negosiasi secara menyeluruh.
Strategi baru tersebut menetapkan untuk tidak langsung masuk dalam negosiasi tahap kedua, melainkan melakukan tekanan maksimal terhadap perlawanan dalam hal kemanusiaan dengan memperketat blokade, mencegah masuknya bantuan, makanan, dan obat-obatan, serta melanjutkan serangan udara, pengusiran, dan perintah evakuasi, guna menghasut basis rakyat agar berbalik melawan perlawanan.
Bagian kedua dari strategi tersebut mencakup upaya melemahkan kemampuan perlawanan Palestina, khususnya Gerakan Hamas, pada level politik, militer, keamanan, dan administratif, terutama yang berkaitan dengan kerja pemerintahan, dalam upaya nyata untuk melumpuhkan kemampuannya dalam mengelola urusan masyarakat dan membantu mereka.
Pesawat-pesawat pendudukan telah melancarkan ratusan serangan udara serentak yang menewaskan ratusan warga Palestina, di antaranya Ketua Komite Tindak Lanjut Kerja Pemerintahan Issam Al-Da’alis, Wakil Menteri Kehakiman Penasihat Ahmad Al-Hutta, Wakil Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal Mahmoud Abu Wafah, Direktur Jenderal Badan Keamanan Dalam Negeri Letnan Jenderal Bahjat Abu Sultan, serta sejumlah pemimpin lain dari perlawanan.
Adapun bagian ketiga dan terakhir dari strategi ini adalah langkah yang berulang, yaitu menyebarkan berita bohong tentang adanya tawaran yang sesuai yang diajukan kepada perlawanan, dan bahwa pemerintah “Israel” telah menyetujuinya dan hanya menunggu persetujuan Hamas, untuk meningkatkan tekanan terhadapnya dan menampilkannya dalam posisi yang keras kepala.
Ini adalah jalur politik–media yang dijalankan pendudukan bersama dengan pemerintah Amerika dan sebagian media Arab maupun internasional, dan kita telah menyaksikan berulang kali model semacam ini sepanjang berbulan-bulan perang.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera