Catatan Harian Petugas Medis dari Jantung Gaza (Bagian 2)
Gaza – rezaervani.com – Pada Catatan Harian Petugas Media dari Jantung Gaza ini kita bisa melihat bagaimana mereka mendedikasikan penuh jiwa dan raga mereka untuk membantu para korban kebrutalan penjajah Israel.
Tertembak di Leher
Khalid sangat menyadari betapa berbahayanya pekerjaan yang ia jalani — sebuah tugas yang bisa merenggut nyawanya kapan saja. Ia telah menyaksikan sendiri bagaimana banyak rekan seprofesinya dibunuh oleh tentara pendudukan. Di antara mereka adalah: Tareq ‘Ashour, Mahmoud Abu Mshayekh, Ahmad Abdurrahman, Hani al-Ja’frawi (yang menjabat sebagai kepala layanan ambulans), Usamah al-Balli, Khalid ‘Abid, Muhammad al-Matouq, dan Isma’il ad-Dahdouh.
Pada suatu hari di bulan Desember 2023, Khalid hampir saja menjadi korban yang diangkut oleh rekan-rekannya sendiri dengan mobil ambulans. Saat itu, ia tertembak di bagian leher ketika sedang berusaha menyelamatkan rekan-rekannya yang dikepung oleh pasukan pendudukan, sementara mereka tengah dalam perjalanan untuk mengangkut pasokan obat-obatan.
Ia sempat berteriak meminta pertolongan, tapi tembakan terus menghujani. Dengan darah mengalir dari lehernya, ia memaksa diri untuk bangkit, berlari, menerobos hujan peluru — dan selamat secara ajaib. Beberapa bulan setelah kejadian itu, ia kembali lolos dari maut saat sebuah pesawat tempur menembakkan roket tepat di belakang mobilnya.

Meski terus menghadapi bahaya yang mengancam nyawa, Khalid dan rekan-rekannya tidak menerima gaji sejak pecahnya perang. Mereka hanya sesekali mendapat bonus kecil setiap beberapa bulan, karena pemerintahan di Gaza tak lagi memiliki sumber pendapatan.
Dalam satu kejadian lain yang tak akan dilupakannya, di hari-hari awal serangan, Khalid pergi ke sebuah lokasi yang baru saja dibombardir oleh Israel. Ia tidak menemukan korban luka di sana, dan memutuskan untuk tetap tinggal sejenak.
Tak jauh dari lokasi itu, ada sebuah keluarga yang tinggal di dalam tenda. Tiba-tiba terdengar teriakan — mereka mengeluarkan seorang anak perempuan kecil berusia sekitar tiga tahun. Ia sedang tidur ketika sebuah pecahan peluru menembus tubuh kecilnya, dan ia meninggal dalam diam.
Khalid berkata, “Saat melihat wajahnya… aku membayangkan itu adalah anakku sendiri.”
Luka Kecil, Tapi Mematikan
Betapa berat rasanya menyelamatkan seseorang dan membawanya ke rumah sakit, sementara kamu tahu betul bahwa ia tidak akan bertahan hidup — padahal lukanya terlihat tidak terlalu parah. Begitulah yang diungkapkan oleh seorang petugas medis bernama “Muhammad” — nama samaran, karena ia memilih untuk tidak mengungkapkan identitas aslinya.
Muhammad dan rekan-rekannya bekerja keras mengevakuasi korban luka dari lokasi serangan atau dari bawah reruntuhan, lalu membawa mereka ke rumah sakit. Namun, perawatan medis nyaris tidak tersedia, karena sistem layanan kesehatan di wilayah utara Jalur Gaza hancur akibat serangan langsung dari pendudukan Israel.
Di Rumah Sakit al-Ma’madani (Rumah Sakit Baptis), Muhammad terpaksa membaringkan pasien-pasien yang terluka di lantai karena tak ada cukup tempat tidur, dan tak ada pengobatan. Keesokan paginya, ia kembali dan mendapati mereka telah terbujur dalam kafan putih di depan gereja rumah sakit.
Luka-luka mereka sebenarnya tidak tergolong parah — hanya serpihan kecil di perut atau dada — namun menjadi mematikan karena menyebabkan pendarahan hebat, sementara tidak ada ruang operasi, tidak ada mesin CT-scan, dan tidak ada dokter bedah.
Karena kekurangan tenaga medis yang sangat parah, Muhammad dan rekan-rekannya pun harus berperan sebagai dokter. Mereka menjahit luka anak-anak tanpa bius, memasang gips untuk korban patah tulang tanpa bantuan pencitraan sinar-X, sehingga mereka bahkan tidak tahu seberapa parah kerusakan tulangnya.
Pembantaian Keluarga
Dalam sebuah kejadian yang tak pernah hilang dari ingatan Muhammad, ia bergegas menuju lokasi untuk menyelamatkan sebuah keluarga yang apartemennya baru saja dibombardir. Namun ia terkejut saat mendapati apartemen itu kosong.
Beberapa menit kemudian, setelah melakukan pencarian, ia menemukan bahwa kekuatan ledakan telah melemparkan seluruh anggota keluarga — seorang ibu dan tiga anaknya — ke atap rumah tetangga. Tubuh mereka terbakar, dan tak satu pun dari mereka yang selamat.
Dalam insiden lain, mereka menerima panggilan darurat dari sebuah sekolah yang digunakan sebagai tempat pengungsian dan telah menjadi sasaran serangan. Seorang pemuda terjebak di bawah tembok. Muhammad dan lima rekannya tak memiliki peralatan apa pun, sehingga mereka mulai menggali dengan tangan kosong.
Tiba-tiba, mereka mendapat peringatan bahwa sekolah itu akan diserang kembali dalam waktu tiga menit. Namun mereka menolak untuk pergi, terus menggali, hingga berhasil menarik pemuda itu keluar di detik-detik terakhir. Hanya dua menit setelah mereka meninggalkan lokasi, roket benar-benar menghantam.
Hal yang paling sulit diterima oleh Muhammad adalah pembantaian terhadap keluarga-keluarga — seluruh keluarga lenyap dalam sekejap. Pernah, mereka menemukan seorang anak laki-laki berusia 3 tahun dengan wajah yang telah rusak parah. Ia satu-satunya yang selamat dari sebuah pembantaian yang menewaskan tiga keluarga sekaligus di jalan yang sama. Tak ada seorang pun dari kerabatnya yang mengenalinya, sehingga seorang perawat akhirnya memutuskan untuk mengasuhnya.
Muhammad menutup ceritanya dengan nada yang sarat duka, bahkan setelah satu setengah tahun terus menyaksikan tragedi demi tragedi:
“Kami tidak bisa melupakan… ingatan seorang petugas medis dipenuhi oleh segala hal mengerikan yang telah ia lihat.”
Selesai Rangkaian Artikel 2 (Dua) Seri