4 Bukti atas Kebohongan Kemenangan Netanyahu (Bagian Pertama)
Oleh : Jalal al-Wurghi
Bukti atas Kebohongan Kemenangan yang digembar-gemborkan Netanyahu semakin nyata. Dipaparkan setidaknya ada 4 Bukti atas Kebohongannya tersebut
rezaervani.com – 4 September 2025 – Di tengah perayaannya atas apa yang ia anggap sebagai kemenangan bersejarah, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tidak ragu untuk menganggap dirinya sedang berada dalam sebuah “misi bersejarah dan spiritual”, sambil mengumumkan bahwa ia sangat berpegang pada visi Israel Raya, yang mencakup wilayah Palestina, dan mungkin juga sebagian wilayah Yordania serta Mesir, menurut laporan surat kabar Times of Israel.
Surat kabar itu menyebutkan bahwa pewawancara saluran i24 Israel, Sharon Gal, yang sempat menjadi anggota Knesset dari kubu sayap kanan untuk waktu singkat, menghadiahkan Netanyahu sebuah jimat berbentuk “peta tanah yang dijanjikan”. Ketika ditanya sejauh mana keterikatannya dengan “visi” Israel Raya, Netanyahu menjawab: “Tentu saja.”
Gagasan atau istilah “Israel Raya” digunakan setelah Perang 1967, atau yang dikenal sebagai “Naksa”, untuk merujuk pada Israel dan wilayah-wilayah yang didudukinya saat itu, termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan.
Pernyataan Netanyahu ini tidak hanya menegaskan ideologi Zionisnya yang ekstrem, yang tercermin jelas dalam susunan dan kebijakan pemerintahannya, tetapi juga memperlihatkan besarnya taruhan pribadi Netanyahu yang telah membengkak, terutama terkait apa yang ia anggap sebagai pencapaian militer penting di Gaza, Lebanon, Suriah, Iran, bahkan di Yaman dan Irak.
Namun, keuntungan-keuntungan militer yang Netanyahu banggakan ini, pada level strategis, tidak tampak sebagai kemenangan sejati yang dapat memberikan jaminan keamanan dan keberlangsungan eksistensi bagi Israel. Sebaliknya, sebagian di antaranya justru bisa berubah menjadi beban yang menyerupai kekalahan bagi Netanyahu maupun bagi Israel.
Pertama: Netanyahu saat ini tidak dapat mengumumkan kemenangan yang ia klaim telah diraihnya, karena jika dibandingkan dengan tujuan yang ia umumkan di awal perang sekitar 22 bulan lalu, ia belum berhasil membebaskan para tawanan, yang merupakan salah satu tujuan yang diumumkan, dan belum berhasil mengakhiri gerakan perlawanan Islam Hamas. Bahkan, alih-alih menghancurkan Hamas, tentara pendudukan Israel justru berkali-kali menerima pukulan telak lewat serangan penyergapan dari Brigade Izzuddin al-Qassam yang berafiliasi dengan Hamas. Setiap kali, Netanyahu kembali harus masuk ke meja perundingan dengan gerakan itu. Lebih jauh lagi, Hamas justru berhasil memposisikan diri sebagai pihak yang bernegosiasi dengan Amerika Serikat, yang membuyarkan gagasan Netanyahu untuk melenyapkan gerakan tersebut sebagaimana ia rencanakan.
Dan kenyataannya, sejak bulan-bulan pertama perang di Gaza, berbagai pernyataan terus bermunculan dari para pemimpin tentara pendudukan Israel, tokoh-tokoh oposisi, hingga banyak pemimpin dunia termasuk mantan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, bahwa Hamas tidak mungkin bisa dikalahkan. Alasannya sederhana: Hamas bukan sekadar sebuah kelompok bersenjata, melainkan sebuah gagasan.
Kedua: Netanyahu juga tidak bisa mengklaim bahwa dirinya telah berhasil sepenuhnya membungkam front pertempuran lain yang terbuka setelah 7 Oktober 2023, baik dengan Lebanon, Yaman, maupun Iran. Perkiraan menunjukkan bahwa proyek nuklir Iran tidak hancur, melainkan hanya mengalami kerusakan sebagian, yang justru membuat skenario percepatannya lebih mungkin terjadi dibandingkan skenario penghentiannya. Hingga kini, seluruh kawasan masih berada dalam kondisi yang mengindikasikan ketegangan dan kekacauan, bukan dalam kondisi stabil yang menguntungkan Israel.
Selain itu, front utama yaitu Gaza tetap terlihat sebagai rawa yang menyeret Netanyahu ke dalam apa yang digambarkan sebagai “jebakan strategis” menurut Kepala Staf Tentara Pendudukan, Eyal Zamir, yang dalam pertemuan internal menolak gagasan pendudukan Gaza.
Ketiga: Netanyahu berkhayal bahwa skala kehancuran, pembunuhan, dan genosida yang dilakukannya di Gaza merupakan bukti kemenangannya dan keberhasilannya. Padahal, dunia kini melihat besarnya kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan-kejahatan itu telah mengubah Israel menjadi entitas yang dibenci dan terasing, yang kini mengalami isolasi serta kehilangan lingkaran teman dan pendukungnya satu per satu. Perubahan signifikan dalam sikap para pemimpin Barat, kecuali Amerika Serikat, menunjukkan besarnya kerugian diplomatik dan politik yang menimpa Israel akibat genosida yang dilakukan Netanyahu di Gaza.
Opini publik dunia setiap pekan turun ke jalan dalam jumlah jutaan orang untuk menunjukkan solidaritas dengan Gaza dan menolak kejahatan mengerikan terhadap anak-anak, perempuan, dan para pengungsi. Selama dua tahun terakhir, bendera Palestina dikibarkan di berbagai penjuru dunia, dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi bendera negara mana pun dalam sejarah.
Isu Palestina pun berubah menjadi pusat perhatian internasional, baik di tingkat rakyat maupun resmi. Langkah banyak negara yang telah mengakui negara Palestina atau menyatakan niat untuk mengakuinya, mencerminkan perubahan mendasar dalam sikap internasional terkait isu Palestina.
Pentingnya perubahan ini semakin menonjol ketika negara-negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seperti Prancis dan Inggris, menyatakan niat mereka untuk mengakui negara Palestina.
Momentum ini, di satu sisi mengembalikan legitimasi perjuangan Palestina dan hak rakyat Palestina, di sisi lain membuat para pemimpin Israel semakin bingung hingga secara terang-terangan menyerang negara-negara tersebut dan menuduh mereka berpihak kepada Hamas.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera