4 Bukti atas Kebohongan Kemenangan Netanyahu (Bagian Kedua)
Oleh : Jalal al-Wurghi
Bukti atas Kebohongan Kemenangan yang digembar-gemborkan Netanyahu semakin nyata. Dipaparkan setidaknya ada 4 Bukti atas Kebohongannya tersebut
rezaervani.com – 4 September 2025 – Selain dari seluruh isolasi diplomatik ini, para pemimpin Israel saat ini juga menghadapi tuntutan dari peradilan internasional di berbagai belahan dunia, terutama dari Mahkamah Internasional serta Mahkamah Pidana Internasional.
Keempat: Para pakar Amerika dan Barat menilai bahwa dengan sikap keras kepala dan berlarut-larutnya Netanyahu dalam perang di Gaza, serta petualangan militernya di front-front lain, justru telah menjerumuskan pemerintahan Trump ke dalam kubangan konfrontasi militer dan peperangan yang sebenarnya tidak diinginkan.
Pada saat Trump berusaha keras membangun citra dirinya sebagai sosok pembawa damai dan penentang perang, dengan menargetkan meraih Hadiah Nobel Perdamaian, Netanyahu justru bertindak berlawanan. Ia berusaha menyeret Trump ke dalam rawa perang melawan Iran, bahkan menyeret Amerika Serikat untuk ikut terlibat di kawasan dan menyalakan sumbu ketidakstabilan di dalamnya. Dengan cara itu, Netanyahu juga mengalihkan fokus Washington dari Cina sebagai musuh strategis, dan dari Rusia sebagai ancaman strategis.
Banyak suara di Amerika Serikat yang telah memperingatkan Trump, mendesaknya agar tidak terjerumus dalam permainan dan sikap keras kepala Netanyahu, serta menegaskan perlunya menjaga jarak dari kebijakan Israel yang kini identik dengan genosida, kejahatan perang, kelaparan, dan pengusiran.
Netanyahu telah menyia-nyiakan apa yang mungkin bisa dianggap sebagai keuntungan militer ketika ia gagal memanfaatkannya secara politik. Sebaliknya, ia terus bersikeras melanjutkan perang yang merenggut nyawa warga sipil tak berdosa dan meninggalkan kehancuran luas, tanpa tujuan yang jelas ataupun dapat dicapai.
Euforia atas apa yang ia anggap sebagai keuntungan militer justru menjadi jebakan yang menjerumuskan para pemimpin Israel, khususnya Netanyahu dan tim pemerintahannya, ke dalam pernyataan-pernyataan berbahaya yang meruntuhkan segala peluang untuk membangun dan memetik manfaat politik dari keuntungan itu. Para pemimpin Israel, dalam euforia mereka, bahkan sampai berbicara tentang genosida, pengusiran paksa, hingga penggunaan senjata nuklir terhadap warga Gaza.
Netanyahu juga dengan sombong berulang kali membicarakan tujuan Israel untuk membentuk ulang kawasan dan merekayasa ulang Timur Tengah. Ia bahkan beberapa kali menyeret kembali ilusi “Israel Raya” yang mencakup bagian dari banyak negara Arab, termasuk di antaranya negara-negara yang telah menjalin normalisasi hubungan dengan Tel Aviv.
Sikap arogan Israel ini telah memicu kemarahan negara-negara kawasan dan membuat peluang Israel untuk menjalin hubungan normal dengan negara-negara tersebut dipenuhi keraguan. Namun kesombongan itu tetap berlanjut. Bahkan, dikutip dalam salah satu pertemuan pemerintahannya, Netanyahu mengatakan bahwa negara-negara Arab akan tetap menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa perlu Israel menghentikan perangnya.
Ada ilusi yang kini menguasai pikiran dan ambisi para pemimpin ekstremis Israel: dominasi kawasan dan rekayasa ulang tatanannya. Ambisi inilah yang justru akan memperdalam krisis Israel dan menghapus apa yang mereka anggap sebagai keuntungan militer dan keamanan.
Keunggulan militer yang dijamin Amerika Serikat bersama negara-negara Barat untuk Israel kini dibaca keliru oleh para pemimpin Israel. Mereka menafsirkannya sebagai peluang untuk mendominasi kawasan dan memegang kendali penuh atasnya.
Kecenderungan ini terlihat jelas dalam berbagai pernyataan Netanyahu maupun tokoh Israel lainnya yang berbicara tentang “rekayasa ulang kawasan”, “Perjanjian Abraham”, dan “Israel Raya”.
Sikap ini disertai dengan agresi militer Israel yang brutal, menyerang negara-negara kawasan, termasuk Palestina, Lebanon, Irak, Iran, dan Suriah, serta aktivitas jaringan mata-mata yang masif. Dengan dorongan ambisi hegemoninya, Israel merasa percaya diri dengan kampanye militernya terhadap negara-negara kawasan, termasuk Iran, sembari melupakan fakta keras yang tidak bisa dilewati begitu saja—baik dari sisi sejarah, demografi, geografi, politik, maupun strategi.
Impian untuk berubah menjadi kekuatan hegemonik kawasan tidak bisa hanya ditopang oleh keuntungan militer Israel, meskipun sepenuhnya didukung Amerika Serikat. Hegemoni semacam itu mensyaratkan faktor lain yang jauh lebih penting—faktor-faktor yang tidak tampak dimiliki Israel, baik saat ini maupun di masa depan.
Israel, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 10 juta jiwa, 25% di antaranya adalah orang Arab, tidak mungkin menjadikan dirinya kekuatan dominan di kawasan yang dihuni sekitar 450 juta orang Arab, 90 juta orang Iran, dan sekitar 90 juta orang Turki, dengan wilayah geografis lebih dari 15 juta kilometer persegi. Sementara wilayah pendudukan yang ditempati Israel tidak lebih dari 23 ribu kilometer persegi.
Israel sama sekali tidak memiliki modal dasar sebagai kekuatan hegemonik regional. Sebagai kekuatan pendudukan, ia terhalang oleh kodratnya sendiri, tidak mampu berintegrasi di kawasan, dan tidak pernah akan diterima oleh komponen-komponen regional sebagai kekuatan dominan. Semua itu menggugurkan aspirasi Israel untuk menguasai kawasan, dan menjadikannya tak lebih dari sekadar ilusi.
Selain dari suasana umum di tengah masyarakat kawasan yang menolak, bahkan sangat memusuhi Israel, tampaknya Israel tidak mampu untuk menyingkirkan atau menundukkan pihak-pihak yang ia anggap menghalangi rencananya. Tidak Turki yang sedang bangkit, tidak Iran yang keras kepala, tidak Mesir yang sedang mencari jati dirinya, dan tidak pula Suriah yang perlahan kembali muncul, akan menerima sebuah tatanan regional yang dibentuk oleh Israel, dikendalikan olehnya, dan dijadikan sarana untuk mendominasi kawasan.
Bahkan, meskipun Israel hari ini menampilkan dirinya seolah berada di puncak kekuatan, ia tetap akan menghadapi tantangan besar—baik dari dalam negeri, dari kawasan, maupun dari dunia internasional. Tantangan-tantangan itu tidak hanya akan memaksanya mundur dan menyusut, melainkan juga akan kembali membangkitkan pertanyaan yang sejak berdirinya hingga hari ini terus menghantui dan mengejarnya: pertanyaan tentang eksistensi itu sendiri.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera