Keluarga para tawanan: Netanyahu pengkhianat dan musuh terburuk bagi orang Yahudi
rezaervani.com – 9 September 2025 – Keluarga para tawanan menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai pengkhianat dan musuh terburuk bagi orang Yahudi, di tengah gelombang protes besar-besaran menuntut kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan tawanan di Gaza.
Puluhan ribu warga Israel turun ke jalan menentang kebijakan Netanyahu yang menolak perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan perang. Menurut laporan Times of Israel, keluarga para tawanan memimpin demonstrasi besar dua hari lalu, mengecam keras sikap perdana menteri.
Para jurnalis media tersebut—Charlie Sommers, Noam Lehmann, dan Jacob Magid—melaporkan bahwa aksi ini berlangsung bersamaan dengan rencana militer Israel untuk menguasai Kota Gaza, lokasi yang diyakini masih menahan sejumlah tawanan, meski ada peringatan dari pejabat militer bahwa operasi tersebut dapat membahayakan nyawa mereka.

Massa bergerak dari jembatan gantung di pintu masuk Yerusalem menuju jalan tempat tinggal Netanyahu. Mereka membawa poster bertuliskan “Pemerintah Kematian”, sementara aparat menutup jalan dan memperketat penjagaan.
Aksi ini dipimpin para ibu dari tawanan. Saat massa tiba di Lapangan Paris, dekat kediaman Netanyahu, Anat Angrist—ibu dari prajurit yang ditawan, Matan Angrist—melontarkan ancaman keras. Ia menegaskan Netanyahu akan “membayar mahal” jika sesuatu menimpa putranya.
Ora Rubinstein, bibi dari tawanan Bar Kuperstein, menegaskan bahwa keluarga tawanan bukanlah kelompok politik kanan atau kiri. “Kami adalah keluarga para tawanan, dan tuntutan kami hanya satu: selamatkan mereka semua sekarang,” katanya. Pernyataannya disambut tepuk tangan dan teriakan marah massa terhadap pemerintah.
Inav Zangauker, ibu dari Matan Zangauker, bahkan menyebut Netanyahu sebagai “musuh terburuk orang Yahudi dan bangsa Yahudi sepanjang sejarah.” Sementara itu, Vicky Cohen, ibu dari tawanan Nimrod Cohen, bersumpah akan memastikan Netanyahu “tidak bisa merasakan satu menit pun ketenangan sepanjang hidupnya” jika anaknya terluka. Ia menegaskan operasi militer Israel di Gaza adalah ancaman langsung bagi keselamatan tawanan.
Cohen juga mengungkap adanya kesepakatan yang sebelumnya bisa membebaskan seluruh tawanan, namun Netanyahu menolak menandatanganinya. “Ketika Hamas menawarkan kesepakatan sebagian, dia menuntut kesepakatan penuh. Saat Hamas menyetujui penuh, dia kembali meminta sebagian,” katanya. Dengan nada sarkastis ia menambahkan, “Kami pernah ditindas oleh Firaun dan Haman, tapi engkau, Netanyahu, melampaui mereka semua.” Ucapan ini memicu massa meneriakkan kata “pengkhianat”.
Zangauker menegaskan, pemerintah sempat mencoba menakut-nakutinya pada bulan-bulan pertama setelah anaknya ditawan agar ia bungkam. “Tapi sekarang saya tidak akan berhenti melawan Netanyahu,” ujarnya.

Gaza, kuburan bagi para tawanan
Di “Alun-Alun Sandera” di Tel Aviv, para demonstran membawa poster yang mendesak Presiden Amerika Serikat Donald Trump agar “segera menyelamatkan para tawanan”. Keluarga tawanan yang telah tewas juga menyampaikan penderitaan mereka, menegaskan bahwa pemerintah Israel “sedang menjatuhkan vonis mati kepada para tawanan,” menurut laporan para koresponden.
Yael Adar, ibu dari tawanan yang tewas Tamir Adar, mengatakan bahwa kebijakan Netanyahu merupakan “hukuman mati” bagi tawanan. Ia bertanya, bagaimana mungkin Netanyahu bisa memulangkan tawanan yang masih hidup, sementara ia bahkan tak sanggup membawa pulang jenazah putranya.
Ophir Sharabi, putri dari tawanan yang tewas Yossi Sharabi, memperingatkan bahwa operasi militer di Gaza akan menghalangi pengembalian jenazah tawanan kepada keluarga mereka. “Operasi militer tentara Israel berarti kematian pasti bagi para tawanan,” ujarnya.
Anggota parlemen oposisi dari Partai Buruh, Gilad Kariv dan Naama Lazimi, menyebut Netanyahu sebagai “sakit jiwa.” Mereka menegaskan kepada Times of Israel bahwa hanya tekanan publik yang dapat memaksanya menyetujui kesepakatan pertukaran tawanan sekaligus mengakhiri perang.
Para jurnalis menyimpulkan, berdasarkan hasil jajak pendapat, mayoritas warga Israel mendukung adanya kesepakatan yang menghentikan perang. Namun, Netanyahu tetap menolak, yang semakin memperdalam ketegangan internal dan mengancam stabilitas politik.
Sumber : al Jazeera