حفّار قبر إسرائيل
Penggali Kubur Israel (Bagian Pertama)
Oleh : Hilmi Musa (Jurnalis dengan Fokus pada Tema Israel)
Artikel Penggali Kubur Israel masuk dalam Kategori Analisa Politik Internasional
منذ أسابيع تسيطر على الحلبة السياسية الإسرائيلية تهديدات مكثفة بفرض السيادة الإسرائيلية على الضفة الغربية، وقطاع غزة تحت مبررات وذرائع مختلفة.
Sejak beberapa minggu terakhir, panggung politik Israel dipenuhi ancaman serius untuk memberlakukan kedaulatan atas Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan berbagai alasan dan dalih.
ففرض السيادة على الضفة الغربية، أو أجزاء واسعة منها، في نظر البعض، هو الرد الصهيوني المنطقي على التسونامي السياسي الدولي للاعتراف بفلسطين، والإصرار على حل الدولتين.
Bagi sebagian pihak, pemberlakuan kedaulatan atas Tepi Barat atau sebagian besar wilayahnya adalah jawaban logis Israel terhadap gelombang politik internasional yang mengakui Palestina dan menuntut solusi dua negara.
وهو في نظر آخرين عمل بديهي يحقق الرؤية الصهيونية القائمة على ادعاء عودة شعب إلى أرضه التي يمتلكها بوعد إلهي، وهي لا تحتاج إلى أي تبرير آخر.
Sementara bagi yang lain, hal itu adalah langkah wajar untuk mewujudkan visi Zionis yang didasarkan pada klaim kembalinya sebuah bangsa ke tanah yang dijanjikan Tuhan, tanpa memerlukan pembenaran lain.
وطبيعي أن بين هذا وذاك، من يرى أن فرض السيادة على مناطق في الضفة والقطاع، هو مجرد تعبير عن حاجة إسرائيل “الأمنية” إلى مناطق عازلة، أو مجرد “تدفيع ثمن” لكل من يحاول استهداف الدولة العبرية.
Dan tentu ada juga yang melihat penerapan kedaulatan di sebagian wilayah Tepi Barat dan Gaza sebagai kebutuhan “keamanan” Israel untuk menciptakan zona penyangga, atau sekadar bentuk “hukuman” bagi siapa pun yang mencoba menyerang negara Israel.
ورغم أن فكرة فرض السيادة على أوسع قدر ليس فقط من أرض فلسطين وإنما كذلك من أي أرض عربية، راودت الصهاينة المؤسسين منذ بداية حركتهم إلا أن البراغماتيين بينهم انطلقوا من مبدأ القبول بما يتوفر، وانتظار الفرصة للتوسع لاحقا.
Meskipun ide untuk menerapkan kedaulatan seluas mungkin—bukan hanya atas tanah Palestina, tetapi juga wilayah Arab lainnya—telah muncul sejak awal gerakan Zionis, kelompok pragmatis di antara mereka memilih prinsip menerima apa yang ada sambil menunggu kesempatan untuk memperluas wilayah di kemudian hari.
وقد ظهر ذلك بوضوح في الصراع بين أنصار حاييم وايزمن، وديفيد بن غوريون في مواجهة أنصار زئيف جابوتنسكي عند أول فصل بين فلسطين وإمارة شرقي الأردن. إذ رفض جابوتنسكي اقتطاع شرقي الأردن من “الوطن القومي” اليهودي، وحصر الأمر بفلسطين الغربية.
Hal ini terlihat jelas dalam konflik antara pendukung Haim Weizmann dan David Ben-Gurion melawan pendukung Ze’ev Jabotinsky ketika terjadi pemisahan pertama antara Palestina dan Emirat Yordania Timur. Jabotinsky menolak pemisahan Yordania Timur dari “tanah air nasional” Yahudi, dan hanya mengakui wilayah Palestina Barat.
وتصاعد الخلاف كذلك بعد إقرار مشروع التقسيم في 1947، حيث رفض قسم من اليمين واليسار الصهيوني قرار التقسيم، وأيده بن غوريون وأنصاره، وفق مبدأ لخصه بعبارة: “النقب لن يهرب منا”.
Perbedaan itu semakin tajam setelah disahkannya rencana pembagian tahun 1947. Sebagian kalangan kanan dan kiri Zionis menolak keputusan tersebut, sementara Ben-Gurion dan para pendukungnya menyetujuinya berdasarkan prinsip yang ia ringkas dengan kalimat: “Negev tidak akan lari dari kita.”
وفي 1956 بعد احتلال قطاع غزة، وسيناء أمر بن غوريون، وفق وثائق إسرائيلية سرية، بضم الأراضي التي احتُلت، معتبرا إياها أراضي “مملكة إسرائيل الثالثة”.
Pada tahun 1956, setelah pendudukan Jalur Gaza dan Sinai, Ben-Gurion memerintahkan—berdasarkan dokumen rahasia Israel—untuk mencaplok wilayah yang diduduki, dan menyebutnya sebagai tanah “Kerajaan Israel Ketiga.”
وقد جاء ذلك في مذكرة بعث بها إلى رئيس أركان الجيش حينها، موشيه ديان، والتي عنت مضاعفة أراضي إسرائيل أربع مرات. لكنه سرعان ما تراجع عن هذا القرار، بفعل ضغوط دولية.
Hal itu tertuang dalam memo yang ia kirimkan kepada Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Moshe Dayan, yang menyatakan bahwa wilayah Israel akan diperluas hingga empat kali lipat. Namun, Ben-Gurion segera menarik keputusan tersebut karena tekanan internasional.
ومنذ الانتصار الإسرائيلي في حرب 1967، والصراع على أشده بين أنصار فرض السيادة على الأراضي الفلسطينية المحتلة، وأنصار التفاوض بشأنها. وقد وُضعت مخططات كثيرة لتسهيل الأمر عبر خطط تهجير الفلسطينيين، أو محاولة إنشاء ما عُرف بالتقاسم الوظيفي مع الأردن.
Sejak kemenangan Israel dalam perang tahun 1967, perdebatan semakin sengit antara kelompok yang mendukung penerapan kedaulatan atas wilayah Palestina yang diduduki dan mereka yang mendorong jalur negosiasi. Banyak rencana dibuat untuk mempermudah hal tersebut, mulai dari program pengusiran warga Palestina hingga upaya menciptakan apa yang dikenal sebagai pembagian fungsi dengan Yordania.
ولكن بعد فوز اليمين بالحكم 1977، بدأت الصورة في التغير خصوصا لجهة توسيع الاستيطان، ومحاولة منع أي صيغة سياسية تلغي سيطرة إسرائيل على الضفة والقطاع. وفي أفضل الأحوال وافقت إسرائيل- مناحيم بيغن- على فكرة الحكم الذاتي للفلسطينيين بعيدا عن أي مفهوم للسيادة.
Namun setelah kemenangan kubu kanan pada tahun 1977, situasi mulai berubah, terutama dengan perluasan permukiman dan upaya mencegah munculnya solusi politik yang dapat menghapus kendali Israel atas Tepi Barat dan Gaza. Dalam kondisi terbaik sekalipun, Israel di bawah Menachem Begin hanya menyetujui konsep otonomi bagi Palestina, jauh dari gagasan kedaulatan penuh.
فقد بقيت السيادة شأنا إسرائيليا في أي مفاوضات مع مصر، وغيرها. وكان بيغن قد أعلن فرض السيادة الإسرائيلية على هضبة الجولان السورية، غير آبه بالموقف الدولي.
Kedaulatan tetap menjadi urusan internal Israel dalam setiap perundingan, termasuk dengan Mesir dan pihak lain. Begin bahkan secara sepihak mengumumkan penerapan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan di Suriah, tanpa mengindahkan sikap internasional.
ولكن وفي كل الأحوال، كلما اشتد عود اليمين في إسرائيل، تعاظمت الدعوات لفرض السيادة، والقضاء على مبدأ حل الدولتين.
Namun, dalam semua kondisi, setiap kali kubu kanan di Israel semakin kuat, semakin besar pula seruan untuk menerapkan kedaulatan dan menghapus prinsip solusi dua negara.
وبلغ اليمين ذروة قوته في تشكيل الائتلاف الحكومي الحالي الذي قاده المطلوب للمحكمة الجنائية الدولية، بنيامين نتنياهو، وضم سموتريتش، وبن غفير، وشاس، والأحزاب الحريدية، والذي أسمي “ائتلاف اليمين التام”.
Kekuatan kubu kanan mencapai puncaknya dalam pembentukan koalisi pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu—yang sedang dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional—serta melibatkan Smotrich, Ben Gvir, Shas, dan partai-partai ultra-Ortodoks. Koalisi ini kemudian disebut sebagai “koalisi kanan penuh.”
ومع احتلال كل من سموتريتش وبن غفير مكانتهما السامية في الحكومة، بتشجيع ورضا من نتنياهو، اكتمل عقد فرض السيادة، وصار الخلاف ليس على مبدأ فرض السيادة، وإنما على متى وأين وكيف.
Dengan menempati posisi penting dalam pemerintahan—didukung dan disetujui Netanyahu—Smotrich dan Ben Gvir melengkapi agenda penerapan kedaulatan. Perselisihan kini bukan lagi soal apakah kedaulatan harus diterapkan, melainkan kapan, di mana, dan bagaimana caranya.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera