Rahasia yang Disembunyikan Israel : Bunuh Diri dan Takut Akan Kehancuran (Bagian Kedua)
Di tengah-tengah genosida yang mereka lakukan di Gaza, ada Rahasia yang Disembunyikan Israel, yakni tentang hancurnya moral para tentara mereka
Dampak Thufanul Aqsa
Untuk memahami alasan meningkatnya angka bunuh diri di Israel setelah pertempuran Thufanul Aqsa, terutama di kalangan militer, penting menyoroti sejumlah faktor sosial dan psikologis yang menekan, sebagaimana terlihat dalam data statistik:
- Ketidakpastian perang
Tidak ada pihak ilmiah maupun politik di Israel yang memperkirakan pertempuran ini akan berlangsung selama itu. Akibatnya, tentara Israel hidup dalam kondisi tegang berkepanjangan, merasa frustrasi, dan tidak mampu memprediksi kapan perang akan berakhir. - Kekecewaan akibat perlawanan yang berlarut-larut
Rasa putus asa meningkat karena perlawanan Palestina mampu bertahan lebih lama daripada yang pernah terjadi sebelumnya. Ini berbeda dengan pengalaman Israel di masa lalu, di mana perang biasanya singkat melawan negara Arab atau kelompok bersenjata. Ketiadaan kemenangan cepat memicu kecemasan dan keputusasaan. - Krisis internal yang belum pernah terjadi
Sejak 1947 hingga kini, Israel belum pernah mengalami tingkat gejolak internal seperti sekarang. Hampir setiap hari ada demonstrasi, keraguan terhadap kepemimpinan, serta konflik antara politisi dan militer yang saling tuduh. Semua itu memperparah tekanan psikologis masyarakat, khususnya tentara, sehingga meningkatkan risiko trauma dan gangguan jiwa. - Merosotnya citra internasional
Citra Israel memburuk di mata dunia akibat demonstrasi besar di Barat, kritik dari elit global, kecaman PBB, lembaga HAM, hingga tuntutan pengadilan terkait genosida. Hal ini mengikis rasa percaya diri Israel dan menumbuhkan perasaan inferior, bahkan diakui oleh sebagian elit mereka sendiri. - Guncangan psikologis dari operasi pertukaran tawanan
Permintaan Israel agar perlawanan menghentikan parade tawanan menunjukkan adanya penetrasi psikologis yang kuat. Aksi yang teratur dan mengesankan tersebut diakui banyak pakar Israel sebagai “serangan psikologis” yang berhasil menembus masyarakat Israel sekaligus opini dunia. - Lingkungan regional yang penuh gejolak
Israel hidup di kawasan Timur Tengah yang dianggap paling tidak stabil di dunia. Negara ini menduduki peringkat rendah dalam Indeks Perdamaian Global, menghadapi konflik, perang, dan intifada yang terus-menerus. Situasi ini menciptakan tekanan sosial dan psikologis permanen, yang pada akhirnya tercermin dalam tingginya angka bunuh diri. Israel kini berada di posisi pertama tingkat bunuh diri di kawasan, dan ke-138 secara global.

Sebelum dan Sesudah Thufanul Aqsa
Data statistik dalam tabel menunjukkan bahwa angka bunuh diri di Israel meningkat tajam selama tahun-tahun perang 2023–2025, yang mencerminkan dampak pertempuran Thufanul Aqsa serta kondisi instabilitas regional yang semakin parah, khususnya setelah serangan Iran pada Juni 2025. Israel bahkan turun ke peringkat 173 dunia dalam stabilitas, turun 44 peringkat dibanding sebelum perang.
Militer Israel sendiri mengakui adanya lonjakan besar kasus bunuh diri di kalangan tentaranya sejak awal perang di Gaza. Ribuan tentara berhenti dari tugas tempur karena tekanan psikologis. Hingga akhir 2024, tercatat 28 tentara bunuh diri, jumlah tertinggi dalam 13 tahun terakhir. Beberapa kasus lainnya masih dalam kategori “dugaan bunuh diri” dan sedang diselidiki.
Pada 2024 saja, militer mencatat 21 kasus bunuh diri (10 di antaranya terjadi sebelum 7 Oktober, dan 7 kasus lainnya dalam tiga bulan pertama perang). Sebagai perbandingan, jumlah kasus bunuh diri adalah 17 pada 2023, 14 pada 2022, dan 11 pada 2021. Lebih dari separuh kasus pada 2024 terjadi di kalangan tentara cadangan, karena jumlah besar mereka dipanggil kembali bertugas.
Sebagai respons, militer mengambil sejumlah langkah pencegahan setelah perang berlangsung 15 bulan dan ratusan ribu cadangan dikerahkan. Langkah ini meliputi peningkatan layanan kesehatan mental, pembukaan klinik baru, serta pemantauan lebih intensif terhadap tentara yang telah dibebastugaskan. Meski militer sempat mengumumkan pada 2021 bahwa angka bunuh diri berhasil ditekan hingga 75% berkat program pencegahan, klaim ini kembali dipertanyakan setelah meledaknya peristiwa Thufanul Aqsa.
Brigadir Jenderal Amir Fadmani menyampaikan adanya langkah-langkah tambahan, termasuk menambah jumlah perwira khusus, membuka klinik khusus, dan memberikan perawatan menyeluruh bagi tentara yang sudah keluar dari dinas.
Namun, laporan lain meragukan keakuratan klaim militer. Bahkan sebuah survei menunjukkan kepercayaan publik terhadap laporan militer tentang bunuh diri menurun, dari 46% pada 2020 menjadi 38% pada 2021.
Studi lebih lanjut memperlihatkan bahwa kelompok usia 18–21 tahun adalah yang paling rentan. Penelitian untuk periode 1974–1984 menunjukkan bahwa kasus bunuh diri paling banyak terjadi di kelompok usia ini. Sementara penelitian lain (1974–2001) menemukan bahwa 60% dari 830 kasus bunuh diri di militer melibatkan pemuda laki-laki, sedangkan angka bunuh diri di kalangan perempuan lebih rendah karena masa dinas yang lebih singkat dan keterlibatan terbatas dalam pertempuran.
Survei juga menegaskan menurunnya kepercayaan warga Israel—terutama anak muda—terhadap laporan militer mengenai kasus bunuh diri. Hanya 29% warga berusia 18–24 tahun yang percaya pada laporan tersebut, dibandingkan 44% di kalangan usia 55 tahun ke atas.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera