Rahasia yang Disembunyikan Israel : Bunuh Diri dan Takut Akan Kehancuran (Bagian Ketiga)
Di tengah-tengah genosida yang mereka lakukan di Gaza, ada Rahasia yang Disembunyikan Israel, yakni tentang hancurnya moral para tentara mereka
Model Perbandingan
Perbandingan data kuantitatif menunjukkan bahwa angka bunuh diri di masyarakat Israel sekitar 6 kali lipat lebih tinggi dibanding masyarakat Palestina. Jika dibandingkan berdasarkan jenis kelamin, perbedaannya tetap besar: 8,3 kasus per 100 ribu jiwa di Israel, dibanding hanya 1,24 di masyarakat Palestina.
Artinya, masyarakat Palestina ternyata lebih mampu menjaga keseimbangan psikologis dalam menghadapi trauma, meski mereka terus-menerus berada di bawah tekanan sosial, politik, dan ekonomi yang berat.
Sebuah studi militer Inggris yang mencakup lebih dari satu abad menemukan bahwa angka bunuh diri di masyarakat sipil biasanya lebih tinggi daripada di kalangan militer. Sementara studi Amerika yang membentang hampir dua abad (1819–2017) menemukan bahwa bunuh diri di militer AS justru lebih rendah saat masa perang dibanding masa damai. Namun, situasinya berbeda pada perang Vietnam dan Irak, di mana tingkat bunuh diri meningkat drastis, antara 20,2% hingga 29,7%.
Penelitian ini mengaitkan dua faktor penting: lama durasi perang dan tingginya angka bunuh diri. Hal ini memperkuat dugaan bahwa lamanya pertempuran Thufanul Aqsa menjadi salah satu faktor utama naiknya angka bunuh diri di militer Israel. Selain itu, perang agresi eksternal dianggap kurang bermoral dibanding perang defensif, sehingga dampak psikologisnya lebih berat.

Kesimpulan
Tingginya angka militerisasi di Israel, konflik yang sudah berlangsung lebih dari 75 tahun, serta siklus perang dan operasi militer hampir setiap empat tahun sekali, semuanya makin memperparah kondisi pasca-Thufanul Aqsa. Ditambah lagi, citra Israel di mata dunia semakin runtuh: negara ini dicap sebagai negara pelanggar hukum, menerima jumlah kecaman terbanyak dari lembaga internasional, termasuk pengadilan-pengadilan besar. Dari perspektif elit intelektual Israel sendiri, semua ini akan berdampak jangka panjang.
Israel, dengan karakter masyarakatnya yang mirip pola “Sparta” kuno, adalah masyarakat neurotik: penuh rasa takut, cemas, fanatisme, dan kekerasan berlebihan. Mungkin saja ia bisa meraih kemenangan militer dalam kondisi tertentu, tetapi pada akhirnya selalu terancam oleh ketegangan internal akibat fondasi psikologisnya yang rapuh.
Bagi pihak Palestina, penting untuk lebih memperhatikan dimensi psikologis masyarakat Israel: memahami titik lemahnya, dan bagaimana memanfaatkannya dalam perlawanan, negosiasi, serta perang media.
Fenomena bunuh diri yang meningkat setelah Thufanul Aqsa bukanlah gejala terpisah, melainkan bagian dari struktur neurotik masyarakat Israel, pola hidup “Spartan”, dan rasa rapuh akibat trauma berulang.
Israel juga unik bersama Taiwan dalam hal memiliki “obsesi terhadap ancaman lenyap”. Setiap kali menghadapi krisis besar atau kekalahan, bayangan kehancuran kembali menghantui imajinasi kolektif orang Israel. Hal ini menambah beban psikologis mereka, memperkuat kecenderungan neurotik, dan tercermin dalam meningkatnya angka bunuh diri, khususnya di kalangan militer yang diberi tanggung jawab “mencegah kehancuran negara”.
Kebanyakan negara dunia berbicara soal krisis politik, perubahan rezim, masalah ekonomi, atau peperangan. Namun, Israel adalah negara yang paling sering dihantui oleh gagasan “lenyapnya negara”—terutama karena perang yang terus berulang dengan intensitas tinggi.
Kondisi ini mengukuhkan gambaran Israel sebagai masyarakat neurotik: entah bunuh diri, atau menyalurkan neurosisnya lewat kekerasan terhadap anak-anak, perempuan, dan warga kelaparan di Gaza, atau melalui bentuk “rekayasa kognitif”—sebagaimana dijelaskan dalam teori Leon Festinger—dengan menciptakan narasi-narasi yang sesuai dengan ilusi kolektif mereka. Semua ini hanya semakin memperumit struktur psikologis masyarakat Israel.
Dengan demikian, bunuh diri di Israel tidak bisa dipahami sekadar sebagai fenomena individu. Ia adalah ekspresi dari neurosis sosial: di mana dorongan agresif kolektif lahir dari kondisi psikologis rapuh masyarakat itu sendiri, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak studi lapangan.
Alhamdulillah, selesai laporan investigasi 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera