6 Alasan yang Mencegah Israel Menduduki Gaza Sepenuhnya (Bagian Kedua)
Dr. Ammar Ali Hassan (Penulis dan Peneliti Sosiologi Politik)
Artikel 6 Alasan yang Mencegah Israel Menduduki Gaza Sepenuhnya masuk dalam Kategori Analisa
5. Pemerintah Israel, yang membuat keputusan untuk menduduki Kota Gaza dan menugaskan militernya melaksanakannya, kali ini berada dalam tekanan waktu yang sempit, penuh kebingungan, serta diliputi rasa takut yang tampak jelas dari sikap mereka yang tidak berani menetapkan batas waktu operasi.
Saat Israel memulai serangan pertama pada perang ini, mereka berbicara tentang kemenangan cepat dan menentukan. Hal yang sama diulang pada setiap babak serangan, masing-masing digembar-gemborkan sebagai “pertempuran penentu”, dengan operasi-operasi yang diberi nama penuh simbol, metafora, dan gambaran puitis demi memobilisasi rakyat Israel di belakangnya. Namun setiap kali, pertempuran itu berakhir tanpa pernah mencapai sasaran yang digariskan Netanyahu dan lingkarannya.
Ya, Israel memang memperbesar kerusakan di Gaza, membunuh rakyatnya, membuat mereka kelaparan, dan menjerumuskan mereka ke tepi pengusiran paksa. Namun setiap tetes darah yang tumpah, setiap rumah yang runtuh, dan setiap mulut yang lapar justru memperlemah posisi strategis Israel. Sebagaimana Israel pernah meraih keuntungan strategis sejak mimpi mendirikan negara Yahudi yang disuarakan Theodor Herzl di Kongres Basel 1897 berubah menjadi kenyataan setengah abad kemudian, kini Israel justru menghadapi kerugian strategis yang kian nyata.
Netanyahu sendiri tidak menampik adanya “pendarahan citra” yang mulai berdampak nyata pada kerugian materiil, seperti pembatalan kontrak impor senjata dari Israel dan penghentian impor sejumlah barang, di samping perubahan opini publik dunia — bahkan di Amerika Serikat sendiri. Ia pun mulai berbicara kepada warga Israel tentang “isolasi” yang mereka hadapi, lalu mencoba memelintir fakta dengan klaim bahwa hal itu justru menguntungkan mereka.
Kesimpulan ini sama sekali keliru. Tanpa “tali pusar” yang menghubungkan Israel dengan para pendukungnya di dunia, keberadaan negara itu akan menyusut, pamornya memudar, dan lambat laun hanya tinggal sejarah, sebagaimana yang terjadi pada kerajaan-kerajaan kecil yang pernah didirikan bangsa Franka di kawasan itu pada Abad Pertengahan. Mereka membangun benteng untuk memisahkan diri dari lingkungan Arab-Islam, tetapi tetap terbuka ke laut untuk menerima bantuan dari Eropa.
6. Tentara Israel kini melancarkan operasi pendudukan Gaza di tengah oposisi internal yang kian tajam, berbeda dengan invasi pertama. Penentangan tidak hanya datang dari keluarga para tawanan dan kelompok penolak wajib militer, tetapi juga dari arus yang semakin kuat dalam opini publik Israel sendiri. Di garis depan kritik ini muncul tokoh-tokoh besar, seperti mantan Perdana Menteri Ehud Barak yang menilai “tentara Israel akan tenggelam di lumpur Gaza”, dan mantan Perdana Menteri Ehud Olmert yang menyebut performa militer Israel “terlalu brutal”. Bahkan Jenderal Yisrael Ziv, mantan komandan Divisi Gaza, mengatakan: “Pencarian Netanyahu akan kemenangan dengan harga apa pun tidak akan pernah menguntungkan Israel.”
Kini kita mendengar Netanyahu dengan retorika ideologis yang sarat kutipan dan kisah-kisah keagamaan penuh mitos. Dari Menteri Pertahanan Yisrael Katz kita dengar pidato berapi-api: “Kami tidak akan melunak dan tidak akan mundur sampai misi selesai.” Sementara juru bicara militer Israel menyatakan: “Kami bergerak maju menuju tahap baru dan lebih intens dari Operasi Kereta Gideon.”
Namun sejatinya, ini hanyalah retorika lama yang diulang kembali. Rakyat sudah pernah mendengarnya. Benar, tentara Israel mungkin kini lebih buas, tetapi di sisi lain perlawanan juga semakin berpengalaman dalam menghadapi mereka. Apalagi pertempuran kali ini adalah perang jalanan, dan bahkan tentara reguler terbesar di dunia pun bisa kewalahan menghadapi taktik “perang gerilya”, terutama jika basis sosial perlawanan tetap bertahan meski diterpa penderitaan dan bencana.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera