Kebohongan Solusi Dua Negara (Bagian Kedua)
oleh : Yvonne Ridley
Artikel Kebohongan Solusi Dua Negara ini masuk dalam Kategori Analisa
Orang Palestina mustahil saling mengunjungi atau menjalani urusan sehari-hari tanpa tertunda dan/atau terhalang di pos-pos pemeriksaan. Pembagian wilayah semacam ini melanggar kedaulatan mereka dan menghalangi berdirinya sebuah negara Palestina. Kehidupan sehari-hari menjadi penuh penderitaan; “kondisi normal” semacam ini jelas tak akan bisa diterima di tempat lain.
Serangan pemukim dan rasisme terang-terangan terhadap orang Arab adalah bagian dari pengalaman sehari-hari bagi warga Palestina. Namun demikian, politisi masih saja terus berbicara tentang solusi dua negara seolah-olah itu layak dan bisa segera diwujudkan. Dan mengapa beberapa anggota parlemen di Westminster, misalnya, masih berbicara seolah Israel dan Palestina adalah entitas yang setara, bukannya penjajah dan yang dijajah? Ini adalah persoalan yang jelas timpang, dari sudut pandang mana pun kita melihatnya.
Seseorang yang benar-benar memahami situasi di lapangan adalah Reham Owda. “Israel menguasai sebagian besar air permukaan Palestina, seperti Sungai Yordan dan Laut Mati, sehingga membuat orang Palestina tidak punya pilihan selain bergantung pada air tanah,” jelas analis politik yang berbasis di Gaza itu. “Namun, dengan sekitar 70 persen permukiman ilegal Israel berlokasi di cekungan reservoir timur Tepi Barat, dan 45 persen dari seluruh permukiman berada di area sensitif terhadap pengisian ulang akuifer di Tepi Barat, permukiman Israel telah merampas sebagian besar air tanah Palestina.” Hal ini, tentu saja, dilakukan dengan sengaja.
Menurut Owda, jumlah pemukim Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur kini sudah lebih dari 750 ribu orang. “Hanya di Tepi Barat saja, ada setidaknya 500 ribu pemukim yang mengonsumsi sekitar 32 persen air tanah, sementara 3,7 juta orang Palestina yang berbagi sumber daya itu hanya bisa mengakses 18 persen. Selama permukiman Israel menguasai sumber daya air tanah di Tepi Barat, mustahil membangun negara Palestina yang memiliki cukup pengaruh dan sarana untuk memenuhi kebutuhan air minum dan irigasi rakyatnya.”
Solusi dua negara sendiri pertama kali diajukan lewat Perjanjian Oslo untuk memenuhi tuntutan rakyat Palestina atas kemerdekaan dan kedaulatan. Hal ini juga didukung oleh Resolusi PBB 242, yang menyerukan penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara di kawasan, serta menuntut Israel mundur ke perbatasan 1967.
Diplomasi dua negara menawarkan berdirinya Negara Palestina merdeka berdampingan dengan Negara Israel sebagai jawaban paling efektif dan damai atas konflik Israel-Palestina sekaligus dilema perdamaian Timur Tengah. Namun kita semua tahu, jika — dan itu pun sangat diragukan — solusi dua negara benar-benar dijalankan, tidak mungkin Israel akan memaksa 750 ribu pemukim ilegal itu keluar. Ada preseden sebelumnya: tiga perempat juta orang Palestina pernah diusir dengan paksa dari rumah dan tanah mereka oleh milisi Zionis dalam peristiwa Nakba tahun 1948. Tapi apakah hal itu akan pernah terjadi pada pemukim Israel, meskipun banyak di antara mereka adalah ekstremis agama sayap kanan yang tinggal berdampingan dengan orang Israel sekuler yang tertarik ke permukiman karena insentif finansial, dan tampaknya bersikap “asal tidak terlihat, tidak jadi masalah” terhadap keberadaan mereka yang terus bertambah?
Jumlah pasti para pemukim memang sulit ditentukan. Statistik resmi dari pemerintah pendudukan menyebutkan jumlah pemukim di Tepi Barat lebih dari setengah juta. Namun menurut Palestinian Applied Research Institute, jumlahnya sudah mencapai satu juta. Sementara itu, organisasi Peace Now melaporkan jumlah pemukim di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sekitar 700 ribu orang.
Berapa pun jumlahnya, tidak ada satu pun pendukung solusi dua negara yang mampu menjelaskan bagaimana lebih dari setengah juta ekstremis agama itu bisa dipindahkan dari tanah yang mereka yakini dianugerahkan Tuhan dan merupakan hak mereka. Adegan penuh kekerasan saat para pemukim ilegal dipindahkan oleh Ariel Sharon dari Jalur Gaza pada tahun 2005 saja sudah meninggalkan trauma psikologis yang sangat besar bagi mereka.
Sampai para politisi mau mengambil pendekatan yang realistis terhadap kedaulatan Palestina, mereka bukan hanya sedang berbohong kepada kita semua — dan kepada rakyat Palestina — tetapi juga kepada diri mereka sendiri. Dan kita sudah tahu bahwa ketidaktahuan terhadap hukum bukanlah alasan.
“Engkau bisa menipu sebagian orang sepanjang waktu, dan semua orang pada sebagian waktu,” ujar mantan Presiden AS Abraham Lincoln, “tetapi engkau tidak bisa menipu semua orang sepanjang waktu.” Sudah saatnya politisi berhenti berbicara tentang solusi dua negara, dan mulai berurusan dengan kenyataan bahwa Israel yang menganut sistem apartheid sama sekali tidak berniat berbagi Palestina dengan orang Palestina. Faktanya, Israel justru terus memperluas wilayahnya dan menginginkan lebih dari sekadar Palestina historis. Itulah kebenaran sebenarnya, dan semakin cepat Barat menerima kenyataan ini, semakin baik bagi semua pihak.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Middle East Monitor