Ilusi Amerika dan Realitas Pahit Gaza
Oleh : Eko Arnada (Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember, Indonesia)
Artikel Ilusi Amerika dan Realitas Pahit Gaza masuk dalam Kategori Analisa
Amerika Serikat sejak lama membangun serangkaian mitos yang menenangkan tentang perannya di Timur Tengah, khususnya terkait konflik Israel–Palestina. Narasi ini membantu Washington mempertahankan citra sebagai kekuatan global dan mahir berdiplomasi. Namun, seiring berlanjutnya kekerasan di Gaza, mitos-mitos itu semakin tampak hanyalah ilusi, meruntuhkan kredibilitas kebijakan luar negeri AS. Jurang antara retorika Washington dan kenyataan di lapangan kini tak lagi bisa diabaikan.
Salah satu mitos utama yang dipelihara AS adalah keyakinan bahwa mereka masih menjadi kekuatan tak tergantikan di Timur Tengah, mampu mengarahkan kawasan menuju perdamaian. Presiden AS, tanpa memandang partai, kerap membanggakan kemampuan negaranya menengahi perdamaian dan mengelola konflik, dari isu Israel–Palestina hingga keamanan regional. Namun konflik Gaza saat ini memperlihatkan pengaruh Washington yang makin mengecil. Seperti dicatat Agha dan Malley, diplomasi Amerika makin tak berdaya membentuk peristiwa di kawasan. Israel pun tidak lagi bergantung hanya pada AS sebagai pelindung atau mediator, dengan membangun hubungan kuat bersama Rusia dan China. Ini mencerminkan realitas geopolitik baru di mana AS bukan lagi satu-satunya adidaya.
Mitos lain adalah klaim netralitas AS dalam konflik Israel–Palestina. Selama puluhan tahun, AS memposisikan diri sebagai mediator objektif menuju solusi dua negara. Namun kenyataannya jauh berbeda. AS terus berpihak pada Israel, menyediakan bantuan militer dan perlindungan politik, bahkan saat rakyat Palestina menderita. Dengan menggunakan hak veto di PBB untuk melindungi Israel dari akuntabilitas, AS memperlihatkan keberpihakan yang jelas. Klaim netralitas itu hanyalah upaya menjaga citra objektif, padahal kenyataannya Amerika turut terlibat dalam kekerasan yang berkelanjutan.
Mitos yang juga kerap diulang adalah bahwa perdamaian sudah dekat. Narasi ini, berulang kali dilontarkan pejabat AS, menyiratkan bahwa dengan dorongan diplomatik yang tepat, kesepakatan damai bisa dicapai. Namun, semakin hancurnya Gaza dan bertambahnya korban jiwa membuat ide itu kian mustahil. Siklus inisiatif perdamaian yang didukung AS, yang selalu gagal menghasilkan hasil permanen, menunjukkan kebijakan penuh angan-angan daripada diplomasi realistis. Seruan untuk “jeda kemanusiaan” dan langkah sementara lainnya tak mampu menghentikan kekerasan. Janji damai yang terus diulang AS kini terdengar kosong.
Di tingkat internasional, posisi AS makin terisolasi. Negeri itu terus memblokir resolusi PBB yang menyerukan gencatan senjata atau investigasi independen atas situasi di Gaza. Penggunaan veto untuk melindungi Israel menimbulkan kebencian dan kekecewaan negara lain. Sementara AS menempatkan diri sebagai pembela perdamaian dan demokrasi, tindakannya di Gaza membuatnya tampak sebagai paria di mata banyak pihak. Dunia, khususnya negara-negara Selatan Global, sebagian besar telah mengakui Palestina sebagai negara, sementara AS tetap bertahan dengan kebijakan usang yang hanya melindungi kepentingan Israel dengan mengorbankan hak rakyat Palestina.
Di dalam negeri, opini publik AS mulai bergeser. Sebuah jajak pendapat Washington Post menunjukkan semakin banyak warga Amerika mempertanyakan dukungan tanpa syarat negaranya kepada Israel. Pergeseran ini mencerminkan kekecewaan lebih luas terhadap kebijakan luar negeri AS dan keinginan akan pendekatan yang lebih seimbang. Bahkan tokoh penting seperti Senator Bernie Sanders mulai menyebut tindakan Israel di Gaza sebagai “genosida,” menandai pergeseran dari konsensus bipartisan yang selama ini melindungi Israel dari kritik. Perbedaan sikap ini menegaskan bahwa mitos seputar kebijakan AS makin kehilangan cengkeramannya.
Meski demikian, mitos keunggulan Amerika dan dominasi global masih bertahan. AS terus menampilkan diri sebagai kekuatan perdamaian di Timur Tengah, meski bukti menunjukkan sebaliknya. Washington tetap mengulang narasi bahwa ia mampu mewujudkan solusi dua negara, padahal jurang antara retorika dan realitas makin melebar. Namun mitos itu tak tahan uji, dan seiring penderitaan Gaza yang kian dalam, otoritas moral AS di panggung dunia terkikis.
Agar kembali dipercaya, AS harus berani menghadapi mitos-mitos itu. Artinya mengakui bahwa pengaruhnya di Timur Tengah telah surut dan tak lagi bisa menentukan syarat perdamaian. AS juga harus menerima kenyataan bahwa dukungan terhadap Israel bukanlah netral, melainkan memperpanjang konflik. Terakhir, AS mesti menghadapi kebenaran pahit bahwa perdamaian bukan sesuatu yang pasti dan tidak bisa dipaksakan lewat kekuatan militer atau manuver diplomatik. Washington harus mengalihkan fokus pada upaya kemanusiaan, gencatan senjata, dan akuntabilitas nyata bagi baik Israel maupun Palestina.
Sumber : Middle East Monitor