Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer (Reuters)
“Tsunami” Pengakuan Palestina.. Mengapa Kita Tidak Boleh Terlalu Optimis? (Bagian Pertama)
Oleh : Arib Al-Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania)
Artikel “Tsunami” Pengakuan Palestina, Tidak Boleh Terlalu Optimis? ini masuk dalam kategori Analisa
Karakter negara-negara barat yang “munafik” dalam sejarah, membuat kita tidak boleh terlalu optimis pada apa yang mereka lakukan saat ini, termasuk saat “Tsunami” Pengakuan Palestina terjadi
Para pengamat dan opini publik Arab terbelah antara pihak yang mendukung penuh dengan optimisme terhadap pengakuan internasional berturut-turut terhadap negara Palestina, dengan menganggapnya sebagai langkah pendahuluan yang penting, bahkan lompatan untuk membawa negara itu dari “tinta keputusan” ke realitas di lapangan… dan pihak lain yang lebih berhati-hati, cenderung pesimis, memandang hal ini sebagai langkah yang sangat simbolis, terlalu terlambat, dan tidak akan mengubah kehidupan rakyat Palestina.
Yang lebih penting, pengakuan-pengakuan itu datang sebagai kompensasi atas ketidakmampuan masyarakat internasional menghentikan pembantaian, membatasi penjarahan Israel, serta sebagai bentuk pelepasan tanggung jawab dan pencucian hati nurani, di tengah berlanjutnya adegan pembunuhan, teror, dan kelaparan selama hampir dua tahun.
Mengapa kita tidak boleh terlalu optimis?
Menurut saya, “kebenaran” ada di tengah-tengah kedua pandangan itu, bahkan dalam beberapa hal merupakan hasil gabungan keduanya.
Tidak seorang pun yang waras bisa terlalu optimis terhadap hasil dan dampak dari “tsunami” pengakuan terhadap negara Palestina, yang baru-baru ini menyeret tiga negara dari blok Anglo-Saxon: (Britania, Australia, dan Kanada). Kehati-hatian ini bisa dijelaskan oleh empat alasan utama:
Pertama, pengakuan ini datang “terlalu sedikit dan terlalu terlambat – Too little, too late”. “Terlalu sedikit” artinya pengakuan tidak disertai tindakan hukuman tegas terhadap Israel, setidaknya untuk menghentikan “pembantaian” yang telah berlangsung dua tahun, menghentikan laju kolonisasi yang lepas kendali, dan membatasi arogansi negara bandel satu-satunya di kawasan ini, bahkan di dunia. “Terlalu terlambat” karena pengakuan negara Palestina baru datang lebih dari seratus tahun setelah Deklarasi Balfour yang melahirkan entitas Israel di atas reruntuhan penduduk asli, lebih dari tiga perempat abad setelah berdirinya negara itu sambil mengabaikan peta pembagian Resolusi 181, lebih dari setengah abad setelah pendudukan wilayah negara itu: Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur, serta lebih dari sepertiga abad sejak dimulainya proses Madrid dan penandatanganan Perjanjian Oslo.
Yang lebih penting lagi, pengakuan ini datang saat pemerintah sayap kanan fasis di Tel Aviv secara sistematis dan terencana melenyapkan setiap peluang berdirinya negara Palestina yang terhubung dan layak hidup, apalagi berdaulat dan merdeka.
“Pengusiran paksa” kini menjadi agenda utama entitas ini, tidak hanya di Gaza tetapi juga di Tepi Barat dan Yerusalem. Tiga pilar negara—tanah (wilayah), rakyat, dan sistem politik—dikeropos oleh Israel tanpa henti.
Kedua, banyak pengakuan itu disertai syarat-syarat. Negara-negara “pengaku” berlomba membuat “daftar syarat”: ada yang meminta reformasi mendasar dalam struktur kekuasaan, selalu dengan tujuan memperkuat perannya dalam melayani keamanan Israel dan melemahkan semua bentuk perlawanan terhadap pendudukannya. Ada yang mensyaratkan penghapusan Hamas dari kekuasaan, politik, dan wilayah hingga hilang tak berbekas. Ada pula yang memasukkan isu 20 sandera sebagai prasyarat, seakan-akan kehidupan lebih dari 11 ribu tahanan Palestina yang disiksa, dihina, dan dilaparkan tidak bernilai apa pun di mata “ibukota hak asasi manusia”.
Ringkasnya: sebagian pengakuan itu memberi negara Palestina dengan imbalan perombakan sistem, manusia, sejarah, ingatan, dan masa depannya.
Ketiga, rangkaian pengakuan itu tak akan berlanjut tanpa adanya perubahan besar dalam opini publik dunia, yang berbalik arah terhadap citra Israel yang dibangun dengan mitos. Meski muncul dari “pragmatisme” partai-partai penguasa yang menghitung suara di kotak pemilu, pada saat bersamaan hal ini membuktikan keengganan negara-negara itu untuk melakukan langkah nyata menghentikan agresi brutal Israel atau menghukumnya. Di sini, gagasan “kompensasi” lebih besar dan penting dibanding sekadar “kebangkitan nurani”. Namun ini tetap merupakan perubahan penting, bahkan bisa berkelanjutan karena ditopang basis publik yang kokoh dan generasi baru yang terbebas dari mitos “keunggulan moral” Israel dan trauma “antisemitisme”.
Keempat, banyak pengakuan negara Palestina tidak disertai definisi batas wilayahnya sesuai “Deklarasi Kemerdekaan” 1988, atau sikap tegas terhadap masa depan pemukiman yang terus menggerogoti tanah Palestina. Pada akhirnya, bisa saja digulirkan ide negara dengan kedaulatan dan wilayah yang cacat, bahkan dapat diterima sebagian kalangan kanan Israel dan Amerika: negara kantong-kantong kecil di sebagian Tepi Barat, berisi penduduk sebanyak mungkin dengan tanah sesedikit mungkin, tanpa menyentuh konsep “ibu kota abadi yang bersatu” bagi Israel.
Dalam deklarasi kemerdekaannya tiga dekade lalu, Palestina menetapkan batas negaranya di wilayah yang diduduki sejak 1967. Hanya segelintir negara yang baru-baru ini mengakui negara Palestina yang menyebut batas ini. Itu membuat “berkas” batas negara tetap terbuka untuk putaran konflik berikutnya.
Ya, memang ada peluang, tetapi…
Sebaliknya, mereka yang terlalu optimis bahkan menyebut ini sebagai “hari bersejarah”, dan meyakini bahwa setelah pengakuan ini, persoalan Palestina tidak akan lagi sama seperti sebelumnya. Mereka bertaruh besar pada perubahan ini, dan untuk membuktikan kebenaran pandangan mereka, mereka mengajukan sejumlah alasan, di antaranya :
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera