Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer (Reuters)
“Tsunami” Pengakuan Palestina.. Mengapa Kita Tidak Boleh Terlalu Optimis? (Bagian Kedua)
Oleh : Arib Al-Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania)
Artikel “Tsunami” Pengakuan Palestina, Tidak Boleh Terlalu Optimis? ini masuk dalam kategori Analisa
Karakter negara-negara barat yang “munafik” dalam sejarah, membuat kita tidak boleh terlalu optimis pada apa yang mereka lakukan saat ini, termasuk saat “Tsunami” Pengakuan Palestina terjadi
Pertama; mengangkat derajat Palestina dari sekadar misi dan perwakilan menjadi kedutaan penuh dengan hak-hak diplomatiknya, setelah memperoleh pengakuan dari hampir 80 persen negara-negara dunia, dan bahkan melebihi jumlah negara yang mengakui Israel.
Kedua; kita akan berada dalam posisi “negara di bawah pendudukan” bukan lagi “rakyat di bawah pendudukan”, padahal status “otoritas di bawah pendudukan” tidak mengubah kondisi kehidupan warga Palestina, malahan memperburuknya, dan tidak ada jaminan bahwa nasib mereka akan berbeda jika harapan para optimis itu terwujud.
Ketiga; “tsunami” pengakuan akan memperdalam isolasi Israel, dan kemudian juga melumpuhkan pelindung utamanya, Amerika Serikat, serta mendorong keduanya, meskipun mungkin membutuhkan waktu, untuk tunduk pada tekanan internasional—terutama seiring meluasnya kecaman global terhadap perang pemusnahan, pembersihan etnis, dan kejahatan perang yang kini telah didokumentasikan di forum-forum internasional.
Dan sebenarnya, harus diakui bahwa apa yang terjadi adalah “langkah ke arah yang benar” yang harus diikuti langkah-langkah lanjutan; sebuah perkembangan positif yang membuka “peluang” yang harus dimanfaatkan. Jalan yang harus ditempuh adalah jalur politik-diplomatik-hukum-perlawanan, yang semestinya memberi kredit utama kepada para pemilik haknya—yakni rakyat Gaza terlebih dahulu, yang bertahan dua tahun dalam kondisi yang bahkan gunung pun tak sanggup menanggungnya.
Kredit itu kembali pada darah lebih dari seperempat juta syuhada, luka, hilang, dan tawanan; kredit itu disematkan kepada para pejuang yang tak mau mengibarkan bendera putih, yang tetap teguh dalam ketabahan dan keberanian meski dilingkupi tsunami api dan jurang ketimpangan kekuatan yang menganga. Setelah itu—dan hanya setelah itu—peran diplomasi dan para diplomat mengambil tempatnya. Bayangkan skenario “jatuhnya Gaza” beberapa hari atau minggu setelah pedang besi Netanyahu, atau jika penduduknya tunduk pada rencana pemindahan paksa—apa yang bisa dilakukan diplomasi, dan alat apa yang sebetulnya tersedia bagi para diplomat?
Memanfaatkan peluang yang ada juga harus dimulai dari lingkaran Palestina sendiri: rezim Palestina yang lapuk tidak bisa menjadi pengungkit bagi terwujudnya negara, melainkan justru membuatnya kian sulit dicapai. Reformasi yang diperlukan harus dimulai dari prioritas nasional Palestina, bukan dari keinginan dan perintah negara-negara donor yang tunduk pada “buku syarat” Israel.
Kinerja otoritas, sifatnya yang monopoli, pendekatannya yang eksklusif, kecenderungannya untuk menyesuaikan diri dengan konten solusi Israel dan konsekuensinya, serta ketergantungannya yang berlebihan pada “luar” ketimbang penguatan “dalam negeri”—semua itu tidak menunjukkan bahwa “faktor Palestina” siap memanfaatkan momentum dan membangunnya.
Di sini perlu disinggung kebutuhan Hamas secara khusus untuk mengambil sikap terhadap fase baru Palestina ini, merancang ulang citra, posisi, dan perannya setelah perang usai. Sulit mengharapkan banyak gerak dari pihak yang melancarkan “gelombang” ini, pertama karena perang belum benar-benar usai dan tak ada yang tahu kapan atau bagaimana berakhirnya; kedua karena kondisi keamanan yang mengurung gerakan dan kepemimpinannya menyulitkan interaksi, konsultasi, dan evaluasi ulang.
Tetapi ini adalah tugas mendesak yang signifikansinya melampaui sekadar masa depan gerakan itu sendiri; ia menentukan masa depan rakyat Palestina dan posisi perkara mereka. Kita ingin tahu bagaimana gerakan itu berpikir tentang fase pasca-perang; saat ini kita—belum—mempunyai banyak bacaan atau usulan konkrit untuk mereka dan bagi proyek nasional Palestina. Tugas ini melampaui kemampuan “akal individu” dan harus dirumuskan oleh “akal kolektif” Palestina.
Memanfaatkan “peluang” yang ada mengharuskan lingkungan Arab bergerak secara berbeda. Rezim resmi Arab gagal dalam “ujian Doha”—baik dalam menghadapi agresi maupun dalam menyelenggarakan pertemuan darurat—dan kini saatnya memanfaatkan bangkitnya kesadaran internasional ini untuk memberikan contoh praktis dalam menghadapi “negara pembangkang”: dengan langkah-langkah nyata yang mengakhiri jalur normalisasi yang cuma-cuma, menutup ruang udara bagi penerbangan musuh, serta menjatuhkan sanksi dan memboikot entitas apartheid, genosida, dan pembersihan etnis serta praktik “transfer” (pemindahan paksa).
Sekarang bukan waktunya untuk persaingan yang memenuhi layar-layar hari-hari ini tentang ibu kota Arab mana yang berhak mendapatkan pujian karena memicu “tsunami pengakuan”, apalagi untuk menghidupkan kembali persaingan serupa tentang ibu kota mana yang memberikan sebagian besar bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan penduduknya.
Bukan waktu untuk saling menuding dan berebut, melainkan untuk mengoordinasikan upaya di antara negara-negara berpengaruh guna mengisolasi Israel dan “membuatnya membayar” harga perbuatannya, serta memastikan tidak luput dari hukuman; itulah jalan pintas untuk mengubah “pencapaian simbolis” menjadi pelaksanaan nyata, dan jika tidak, kita akan kehilangan peluang lain.
Memanfaatkan “peluang” di arena PBB dimulai dengan mematahkan efek veto Amerika, yang telah digunakan enam kali untuk menghentikan pembantaian dan mewujudkan gencatan.
Arahkan ke Majelis Umum melalui pintu “Uniting for Peace” (Bersatu demi Perdamaian), dan upayakan meraih resolusi yang menganggap Zionisme sebagai bentuk rasisme dan diskriminasi rasial. Israel sedang mereproduksi kisah “sistem apartheid” seperti di Afrika Selatan dengan cara yang lebih brutal dan biadab, dan harus ditempatkan dalam keranjang, yakni tempat sampah sejarah.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : al Jazeera