Bagaimana Google Membantu Israel dalam Perangnya yang Gila? (Bagian Kedua)
Oleh : Dr. Mahmoud Al-Hanafi (Profesor Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia)
Artikel Bagaimana Google Membantu Israel dalam Perang masuk dalam Kategori Analisa
Ketiga: Apakah dengan kontrak ini Israel memenangkan perang media?
Salah satu pertanyaan penting adalah apakah kampanye propaganda ini telah mencapai tujuan komunikasinya, atau justru fakta bahwa Israel terpaksa mengeluarkan puluhan juta untuk propaganda hanyalah bukti bahwa ia sedang kalah dalam “perang media” terkait narasi konflik.
Pendorong di balik peluncuran kampanye masif semacam ini adalah meningkatnya kecaman global dan publik selama perang di Gaza antara 2023 dan 2025; layar televisi dan platform media sosial menayangkan gambar kehancuran, korban serangan, dan blokade, sehingga menempatkan pemerintah Israel dalam posisi yang sangat terpojok di mata dunia.
Bahkan sebagian pejabat dan pendukungnya mengakui bahwa reputasi internasional Israel berada di titik terendah. Perdana menteri sendiri mengakui bahwa Israel “kalah dalam perang media”, meskipun ia mencoba meredakan dengan mengatakan bahwa kemenangan di medan tempur akan membawa kemenangan dalam citra.
Pengakuan ini menunjukkan bahwa para pengambil keputusan Israel menyadari hilangnya kendali atas narasi global, dan terpaksa menuangkan dana besar ke media sebagai taruhan terlambat untuk mengubah arah opini publik.
Namun hasil kampanye tidak sesuai harapan. Upaya menyangkal adanya kelaparan ditanggapi dengan ejekan dan bantahan oleh jurnalis serta organisasi kemanusiaan. Bahkan, sebagian pejabat PBB menuduh Israel secara terang-terangan membeli iklan Google untuk menghalangi donasi kepada UNRWA dengan cara merusak reputasinya, dan menganggap hal itu sebagai perang informasi yang mengancam nyawa para pekerja.

Tuduhan-tuduhan ini sendiri berubah menjadi bahan pemberitaan. Alih-alih menutupi disinformasi, kampanye itu justru menyorotinya. Transparansi iklan di Google dan media sosial memungkinkan jurnalis melacak sumbernya dan mengungkap pihak Israel yang berada di baliknya, sehingga menggagalkan elemen penyamaran atau “topeng kemanusiaan” yang ingin dipakai kampanye tersebut.
Hal ini bertepatan dengan gerakan rakyat global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam mendukung warga sipil Gaza. Jutaan demonstran turun ke jalan di ibu kota dan kota-kota besar mengecam agresi dan menuntut pemerintah mereka untuk bertindak. Penyebaran luas adegan penderitaan melalui media sosial membentuk benteng yang kuat melawan propaganda berbayar. Bahkan jika pesan Israel mencapai jutaan orang lewat iklan Google dan YouTube, ia tetap berhadapan dengan miliaran tayangan konten populer pro-Gaza yang beredar secara gratis.
Kekuatan gambar dan pengalaman lapangan yang dibagikan antarorang jauh lebih berperan dalam membentuk kesadaran publik daripada kampanye terorganisir apa pun.
Meski begitu, kampanye ini tidak sepenuhnya tanpa dampak. Ia menemukan gema terbatas di sebagian kalangan Barat yang masih terpengaruh oleh wacana “mendustakan narasi Palestina”, terutama ketika pesan itu datang melalui saluran resmi.
Beberapa media tradisional juga menyerap sebagian pesan dan menyebarkannya tanpa verifikasi. Di tingkat domestik, kampanye ini memberi suntikan ketenangan kepada masyarakat Israel sendiri, dengan dijadikan bukti bahwa pemerintah “menjelaskan posisinya” kepada dunia, yang pada gilirannya meningkatkan moral internal.
Bahkan, kampanye itu bisa saja dimanfaatkan di kemudian hari dalam pembelaan hukum, dengan klaim bahwa Israel tidak sengaja menggunakan kelaparan sebagai senjata, meskipun dunia luar tetap penuh keraguan.
Namun gambaran yang lebih luas tetap jelas: Israel tidak berhasil memenangkan perang media meskipun dengan pengeluaran besar. Di Amerika Serikat sendiri — sekutu terdekatnya — jajak pendapat menunjukkan perubahan bertahap, terutama di kalangan muda, menuju kritik terhadap tindakannya di Gaza.
Bahkan rekaman penyerangan terhadap demonstran pro-Palestina di kota-kota Amerika menambah simpati pada isu Palestina. Dengan demikian, jelas bahwa kerusakan pada citra Israel melampaui apa yang dapat ditutupi oleh sebuah kampanye iklan, dan kesepakatan dengan Google justru berubah menjadi bukti atas krisis propaganda Israel alih-alih menjadi jalan keluar darinya.
Dimensi Etis dan Tanggung Jawab Perusahaan Besar
Kontrak Google dengan Israel menimbulkan persoalan mendasar: apakah pantas sebuah perusahaan global menjalin hubungan komersial dengan pemerintah yang dituduh melakukan kejahatan perang dan genosida? Membiarkan warga sipil kelaparan dan melakukan pengeboman sembarangan dilarang dalam hukum humaniter internasional, dan bekerja sama dengan pihak yang dituduh melakukan hal tersebut menimbulkan dugaan keterlibatan. Menurut Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia, perusahaan memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dan melakukan uji tuntas guna menghindari keterlibatan dalam pelanggaran, sesuatu yang diabaikan oleh Google.
Selain itu, tindakannya meruntuhkan klaim netralitas politik dan memperlihatkan keberpihakan yang dibayar, terutama bila kita bayangkan kecil kemungkinan Google menerima kampanye tandingan dari pihak Palestina. Di era ketika investasi bertanggung jawab serta standar lingkungan dan tata kelola (ESG) dikedepankan, Google berisiko menghadapi boikot dari investor serta tekanan dari kelompok hak asasi manusia, mengingatkan pada sikap perusahaan-perusahaan yang dulu menarik diri dari rezim represif seperti Afrika Selatan.
Reputasi, sebagai modal utama perusahaan, bisa menjadi kerugian terbesar bagi Google, sehingga kesepakatan ini tetap menjadi saksi nyata atas benturan antara kepentingan pasar dan suara hati.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera