Bagaimana Google Membantu Israel dalam Perangnya yang Gila? (Bagian Ketiga)
Oleh : Dr. Mahmoud Al-Hanafi (Profesor Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia)
Artikel Bagaimana Google Membantu Israel dalam Perang masuk dalam Kategori Analisa
Perbandingan dengan Kasus Serupa
Krisis Google dengan Israel bukanlah kasus terisolasi, melainkan bagian dari rangkaian preseden yang menunjukkan bagaimana perusahaan teknologi besar terjerat dalam kesepakatan dengan dimensi etis yang serius.
Skandal Facebook–Cambridge Analytica (2018) memperlihatkan bagaimana penyalahgunaan data dan iklan tertarget bisa merusak demokrasi, berujung pada denda besar dan kecaman moral.
Sementara itu, TikTok menghadapi tuduhan propaganda dan spionase yang membuat Amerika Serikat mengancam akan melarangnya. Google sendiri pada tahun 2018 terpaksa mundur dari Proyek Maven dengan Pentagon setelah ribuan karyawan menolak penggunaan kecerdasan buatan untuk target militer.
Amazon pun mendapat kritik keras karena bekerja sama dengan lembaga imigrasi dan bea cukai Amerika (ICE) dalam kebijakan yang dianggap melanggar hak pengungsi.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa sanksi bisa datang dari regulator (Cambridge Analytica), dari negara (TikTok), atau dari tekanan karyawan dan masyarakat sipil (Maven dan ICE).
Bagi Google, kini ia menghadapi gabungan dari semua tekanan tersebut dalam kasus kontraknya dengan Israel, berupa: kemarahan publik global, potensi risiko hukum, serta tekanan internal yang diperkirakan akan muncul.
Yang lebih berbahaya, reputasinya di dunia Arab dan Islam — sebuah pasar besar — bisa mengalami kerusakan yang sulit diperbaiki, sehingga meninjau ulang kesepakatan ini menjadi keharusan agar terhindar dari nasib yang dialami perusahaan lain ketika mereka mengabaikan dimensi etis dan akhirnya harus membayar mahal.
Aliansi Israel dengan Perusahaan Teknologi dan Propaganda
Selama beberapa tahun terakhir, Israel telah membangun jaringan luas aliansi dengan perusahaan teknologi dan propaganda untuk memperindah citranya di dunia. Yang paling menonjol adalah proyek “Nimbus” dengan Google dan Amazon di bidang komputasi awan dan kecerdasan buatan, yang memicu protes para karyawan karena khawatir akan digunakan dalam praktik represif.
Israel juga memanfaatkan perusahaan hubungan masyarakat dan lobi di Washington, sebagian menggunakan kedok rahasia untuk menghindari Undang-Undang FARA (undang-undang Amerika yang mewajibkan pendaftaran setiap pihak yang bekerja untuk pemerintah atau pihak asing, dengan tujuan transparansi dan mengungkap aktivitas lobi serta propaganda), dan sebagian lainnya terdaftar secara resmi untuk mengoordinasikan konten serta memengaruhi media.
Selain itu, Israel melakukan tekanan langsung pada platform seperti Facebook dan Twitter untuk menghapus konten yang menentangnya, dalam bentuk pertukaran pengaruh politik lebih daripada kontrak finansial. Di ranah media populer, direkrut pula para influencer dari Instagram dan TikTok untuk menyebarkan narasi “bantuan kemanusiaan” alih-alih “penghancuran lewat kelaparan”.
Aliansi-aliansi ini, baik yang terbuka maupun tersembunyi, menjadikan kesepakatan Google yang terbaru sebagai kelanjutan alami dari strategi Israel yang berkelanjutan. Namun, setiap kali hal itu terungkap, selalu berada di bawah sorotan opini publik dunia. Maka, apakah Israel bisa membeli narasi, ataukah fakta lapangan akan tetap lebih kuat daripada propaganda, seberapa pun luasnya?
Reputasi Lebih Berharga daripada Uang: Apakah Google Akan Kehilangannya?
Sejak terungkapnya kontrak iklan antara Israel dan Google senilai 45 juta dolar, muncul pertanyaan tentang nasibnya: apakah perusahaan akan menyelesaikannya hingga akhir, atau mundur di bawah tekanan opini publik dan kelompok hak asasi manusia?
Hingga September 2025, Google memilih bungkam, hanya mengeluarkan pernyataan umum tentang “kebijakan iklan”. Sementara itu, para pengkritiknya menilai bahwa kelanjutan kampanye ini menjadikannya turut serta dalam menutupi kelaparan di Gaza. Sebaliknya, protes di depan kantor-kantornya semakin meningkat dan seruan kelompok hak asasi manusia untuk membatalkan kesepakatan kian banyak, dengan tanda-tanda boikot publik yang makin meluas, terutama di dunia Arab dan Islam.
Secara hukum, belum ada gugatan langsung yang diajukan, tetapi kemungkinan adanya tuntutan tetap terbuka melalui para pemegang saham, mekanisme Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), atau bahkan melalui sidang dengar pendapat di Kongres, di samping diskusi internasional tentang tanggung jawab perusahaan dalam konflik, mirip dengan pengadilan terhadap media di Rwanda.
Ironisnya, terungkapnya kontrak ini berasal dari catatan transparansi iklan milik Google sendiri, yang membuat alat transparansi berubah menjadi alat pengungkapan. Pada akhirnya, nasib kontrak ini bergantung pada sejauh mana tekanan meningkat, yang bisa memaksa Google untuk mundur, sehingga kasus ini tetap menjadi contoh mencolok tentang pertemuan antara keuntungan dan moralitas di masa perang.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 3 (Tiga) Seri
Sumber : al Jazeera