Membedah Pidato Prabowo di PBB tentang Palestina
Oleh : Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat (Direktur Indonesia-MENA CELIOS) *)
Artikel Membedah Pidato Prabowo di PBB tentang Palestina ini masuk dalam Kategori Analisa
Ketika Presiden Indonesia Prabowo Subianto berdiri di hadapan para pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa kemarin, suaranya membawa beban sejarah. Ia mengecam pembunuhan warga sipil di Gaza, berjanji memberikan dukungan kemanusiaan, dan menegaskan kembali komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara. Ruangan itu pun memberinya tepuk tangan.
Namun di balik irama pidatonya yang berwibawa, terdengar gema dari sebuah seruan lama — sebuah ungkapan yang begitu sering diulang di gedung itu hingga berisiko menjadi ritual, bukan solusi.
Selama puluhan tahun, para pemimpin dunia menyerukan “solusi dua negara” sebagai akhir tak terelakkan dari konflik Israel-Palestina. Itu adalah mantra diplomasi yang menenangkan, seimbang, dan terus didaur ulang. Tetapi di lapangan, syarat-syarat bagi solusi itu hampir hilang. Permukiman yang terus berkembang, pengepungan Gaza, keterpecahan kehidupan Palestina, dan menguatnya pendudukan membuat visi dua negara berdaulat berdampingan tidak hanya jauh, bahkan bisa dibilang sudah usang.
Ketegasan Prabowo bahwa “hanya solusi dua negara yang bisa membawa perdamaian” terdengar bukan sebagai pernyataan berani, melainkan gema dari masa lalu. Memang, keteguhan Indonesia pada poin ini punya nilai simbolis. Itu menandakan bahwa demokrasi dengan penduduk Muslim terbesar di dunia tidak akan meninggalkan Palestina. Tetapi simbol saja tidak akan menghentikan bom di Gaza, atau menghentikan aneksasi perlahan di Tepi Barat.
Perbedaan muncul ketika Prabowo berjanji akan mengirim pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Latar belakang militernya memberi kredibilitas pada janji itu, memberikan sisi praktis pada retorikanya. Dalam krisis yang ditandai kelaparan, pengungsian, dan banyaknya korban sipil, komitmen semacam itu punya bobot. Tetapi, pada hakikatnya, itu hanya solusi sementara. Konvoi kemanusiaan tidak bisa menggantikan penyelesaian politik, dan pasukan berseragam biru tidak bisa mengatasi ketidakadilan struktural. Paling jauh, langkah-langkah ini hanya meringankan penderitaan sesaat sambil membiarkan akar konflik tetap tak terselesaikan.
Ketegangan yang sama terlihat dalam pujian Prabowo terhadap pemerintah Barat yang baru-baru ini mengakui Negara Palestina. Prancis, Kanada, Australia, Inggris, dan Portugal disebut khusus untuk diberi tepuk tangan. Di permukaan, pengakuan ini adalah keuntungan diplomatik: memperkuat posisi hukum Palestina, memperluas legitimasi internasionalnya, dan memberi tekanan pada Israel untuk mengakui pihak lawannya.
Namun pengakuan tanpa akuntabilitas berisiko menjadi sekadar gestur kosong. Palestina sangat paham bahwa pernyataan di atas kertas tidak akan membongkar pos pemeriksaan, tidak membuka blokade perbatasan, atau menghidupkan kembali nyawa yang hilang di Gaza. Risikonya, ibu kota-ibu kota Barat menggunakan pengakuan itu sebagai tameng — cara untuk meredam kemarahan publik tanpa mengubah kebijakan yang menopang impunitas Israel. Lebih mudah mengatakan “kami mengakui Palestina” daripada menghentikan penjualan senjata ke Israel, meninjau perjanjian dagang, atau mendukung kasus Palestina di Mahkamah Pidana Internasional.
Di sinilah pidato Prabowo kurang tegas. Ia mengecam penderitaan sipil tetapi tidak menyebut tanggung jawab Israel atas apa yang kini secara terbuka disebut para ahli hukum internasional sebagai genosida. Ia memuji pengakuan simbolis tetapi tidak menuntut adanya mekanisme akuntabilitas. Tanpa keadilan, pengakuan hanyalah hiasan diplomatik belaka.
Namun tidak adil jika mengabaikan intervensinya begitu saja. Peran Indonesia dalam “kelompok inti” yang mendorong pengakuan Palestina di PBB tidak sepele. Setiap pengakuan, meski simbolis, menambah kekuatan tawar internasional Palestina. Itu membantu menggeser narasi dari konflik “dua pihak” menjadi konflik antara rakyat yang diduduki dan kekuatan pendudukan. Seiring waktu, akumulasi modal simbolis ini bisa menjadi alat bagi Palestina untuk memperjuangkan haknya di forum global.
Masalahnya bukan pada pengakuan itu sendiri, melainkan pengakuan yang tidak disertai konsekuensi. Ujian sebenarnya ada pada apakah itu dibarengi sanksi terhadap produk permukiman, pembatasan transfer senjata, atau dukungan pada kasus hukum melawan pejabat Israel. Pidato Prabowo tidak menutup jurang ini.
Meski begitu, patut diakui, sang presiden menekankan urgensi moral momen ini. Ia mengingatkan audiens bahwa kredibilitas PBB sendiri yang dipertaruhkan. Jika sistem internasional tidak mampu menghentikan genosida yang terjadi di bawah pengawasannya, janji “tidak akan terulang lagi” terdengar hampa. Kerangka itu penting, karena menempatkan Palestina bukan hanya sebagai isu regional, melainkan ujian bagi integritas tatanan global.
Namun pada akhirnya, tepuk tangan yang menyambut pidato Prabowo mungkin lebih mencerminkan dahaga dunia akan kata-kata yang familiar di tengah gambar-gambar yang tak tertahankan, ketimbang substansi pidatonya. Bicara tentang “dua negara” memberi rasa aman, mengirim bantuan menunjukkan rasa iba, mengakui Palestina seakan menegakkan keadilan. Tetapi tak satu pun dari langkah-langkah itu sendirian akan mengubah kenyataan sehari-hari berupa perampasan, pengepungan, dan pendudukan.
Yang dituntut rakyat Palestina — dan yang dituntut keadilan — adalah akuntabilitas. Pengakuan harus dibarengi dengan sanksi atas pelanggaran yang terus berlangsung. Bantuan kemanusiaan harus disertai tekanan politik berkelanjutan. Dan satu-satunya horizon yang berkelanjutan adalah satu negara, tempat Palestina dan Yahudi hidup setara di bawah satu hukum, dengan hak, keamanan, dan kedaulatan yang terjamin. Selain itu hanya akan memperpanjang siklus pemisahan, perampasan, dan janji-janji yang diingkari.
Presiden Prabowo telah mengingatkan dunia bahwa Indonesia berdiri bersama Palestina. Untuk itu, ia pantas mendapat penghargaan. Namun solidaritas yang hanya diukur dari pidato dan pengakuan berisiko menjadi ritual penghiburan bagi yang berkuasa, bukan alat perubahan bagi yang tertindas.
Jika Prabowo ingin kata-katanya di PBB lebih dari sekadar catatan kaki diplomatik, Indonesia harus mendorong percakapan melampaui pengakuan dan simbolisme — menuju akuntabilitas, keadilan, dan penghentian impunitas. Tanpa itu, Palestina tetap terjebak dalam siklus yang sama: dipuji di aula diplomasi, ditinggalkan di reruntuhan Gaza.
Sumber : Middle East Monitor
Tentang Penulis :
Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat adalah Direktur Indonesia-MENA Desk di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) di Jakarta serta Peneliti Afiliasi di Middle East Institute, National University of Singapore. Ia menghabiskan lebih dari satu dekade tinggal dan melakukan perjalanan di berbagai negara Timur Tengah, meraih gelar B.A. di bidang Hubungan Internasional dari Qatar University. Setelah itu, ia menyelesaikan studi M.A. di bidang Politik Internasional dan Ph.D. di bidang Politik di University of Manchester.