Rencana Trump untuk Gaza: Kesempatan Menghentikan Perang atau Bencana ? (Bagian Kedua)
Oleh : Arib Rantawi (Penulis dan analis politik Yordania)
Artikel Rencana Trump untuk Gaza : Kesempatan atau Bencana ? masuk dalam Kategori Analisa Politik
Sebaliknya, Netanyahu bisa mengklaim bahwa inisiatif ini akan mengembalikan kepadanya, sekaligus, dalam 72 jam setelah berlaku, semua tawanan dan tahanan: hidup maupun mati. Bahwa senjata perlawanan di Gaza akan disita, bahwa Gaza tidak akan lagi menjadi ancaman bagi keamanan Israel, dan bahwa 7 Oktober tidak akan terulang lagi.
Ia bisa merayakan bahwa Hamas tidak akan lagi memerintah Gaza, dan bahwa Otoritas Palestina tidak akan kembali ke sana (sampai program reformasi selesai, bukan selamanya). Ia bisa menyombongkan diri, entah benar atau hanya pura-pura untuk tujuan internal, bahwa ia telah memenuhi lima syarat kabinetnya untuk mengakhiri perangnya di Gaza.
Namun sebaliknya, “sang merak” akan bersusah payah untuk menutupi apa yang telah dia dan timnya janjikan. Tidak ada kontrol keamanan, tidak ada pendudukan, tidak ada permukiman di Gaza, tidak ada pengusiran penduduknya. Dan upayanya bersama negara-negara yang sebelumnya disiapkan untuk menerima gelombang pengungsi paksa akan lenyap sia-sia.
Ia akan menelan racun, ketika memberi tahu delegasi Dewan “Yesha” yang menemuinya di New York sambil menghasut, bahwa waktunya tidak tepat untuk membicarakan pencaplokan Tepi Barat. Sejak saat itu, ia akan mulai membalik-balikkan pilihan pribadinya dan pilihan politiknya yang mendesak.
Timur Tengah masih tetap sebagaimana adanya, bahkan kini lebih membenci Israel, lebih khawatir pada niat fasisme yang mengakar, dan proyek “Israel Raya” hampir tersedak oleh “suapan Palestina” yang sulit ditelan. Konflik yang hampir menutup satu putaran berdarah dari putaran-putaran berulangnya, tidak ada tanda di cakrawala bahwa ia mendekati akhir. Ucapan Trump tentang “perdamaian abadi” penuh dengan roh propagandanya, dan miskin kebijaksanaan serta objektivitas.
Ketiga: ke mana dari sini?
Inisiatif ini, ketika mulai dijalankan, dan setelah perang meletakkan senjatanya, akan menciptakan dinamika Palestina dan Israel yang sulit ditebak jangkauan dan dampaknya saat ini. Dalam artikel ini, kita akan cukup dengan menandai beberapa pertanyaan terpentingnya:
Bagi Israel, bukanlah pertanyaan tentang masa depan politik dan pribadi Netanyahu yang paling penting dari sisi strategis. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih penting berputar pada masa depan seluruh sayap kanan fasis, setelah fakta-fakta perang dan kerugian (serta keuntungannya) tersingkap, dan setelah interaksi antara aliran pemikiran dan politik menempuh jalannya.
Di mana letak janji keamanan dan kemakmuran, di tengah gelombang isolasi, boikot, dan penolakan, setelah runtuhnya slogan-slogan seperti “tentara yang tidak terkalahkan”, “entitas yang berbagi sistem moral dan regional peradaban Barat”, dan “oase demokrasi di gurun kering Timur Tengah”?
Bagaimana Israel akan merespons “suara dunia”, setelah pers, media, diplomat, dan peneliti diizinkan memeriksa apa yang terjadi di Gaza selama dua tahun terakhir? Bagaimana ia akan menghadapi gelombang kecaman dan penolakan? Israel macam apa yang akan terbentuk dalam terang hasil gelombang ini? Dan benar siapa pun yang menyebutnya sebagai gelombang besar.
Bagi Palestina, tidak akan merugikan Hamas jika berubah menjadi partai politik. Ia memiliki warisan, pengalaman, dan pencapaian yang memungkinkannya melewati “persimpangan senjata”. Perlawanan tidak hanya berbentuk satu macam, alat-alatnya banyak dan luas, dan pilihan perlawanan bersenjata tidak mesti ditinggalkan. Itu adalah hak yang dijamin oleh syariat samawi maupun hukum positif. Tidak ada salahnya menjalankan bentuk-bentuk perlawanan lain, selama rakyat Palestina dan pendukung perlawanan mampu menanggung akibat dan dampaknya.
Perang dengan musuh ini adalah perang generasi dan dekade. Hanya orang-orang yang berkhayal yang mengira bahwa hak-hak Palestina sudah berada “di depan mata”, baik sebelum maupun sesudah inisiatif Trump.
Adapun Otoritas Palestina, yang lama menunggu momen untuk mewarisi Gaza beserta isinya, panahnya meleset. Setelah perang berhenti, ia menemukan dirinya dalam posisi yang tidak jauh berbeda dengan posisi Hamas, meskipun mendapat banyak dukungan dari sebagian komunitas Arab dan internasional.
Otoritas itu punya jalan panjang untuk reformasi, atau lebih tepatnya menyesuaikan diri dengan “buku syarat” Amerika–Israel. Seandainya suara kita terdengar di Ramallah, kita akan menasihati agar jalur reformasi dan pembaruan otoritas dimulai dari prioritas dan kepentingan rakyat Palestina, bukan dari “buku syarat” itu.
Sungguh disayangkan mendengar tentang “program reformasi” yang sedang coba dijalankan oleh otoritas, seolah-olah ia baru lahir kemarin atau lusa. Apa yang kalian lakukan sepanjang dua puluh tahun terakhir?!
Dan sungguh disayangkan juga mendengar dari sebuah otoritas yang menua, pembicaraan tentang pemuda dan “peremajaan”. Siapa yang selama bertahun-tahun dan dekade lalu telah menyingkirkan generasi muda dari rahim otoritas dan perlindungannya?!
Otoritas membutuhkan reformasi dan rekonsiliasi, yang tidak akan terwujud dari inisiatifnya sendiri. Ia kini berada di persimpangan yang menentukan: apakah melakukannya bersama rakyatnya, untuk melayani mereka, atau tunduk pada tekanan internasional yang tidak punya makna reformasi selain memenuhi syarat-syarat Netanyahu dan tuntutan Trump.
Keempat: Kesimpulan
Kereta solusi di Gaza telah berangkat, kemungkinan besar akan semakin cepat pada hari-hari mendatang, dan akan sampai pada stasiun penghentian perang, pencabutan blokade, dan masuknya bantuan, dan mungkin terus berjalan hingga rekonstruksi.
Kita pernah menyaksikan hal serupa—meski dengan perbedaan besar dalam skala kehancuran dan pengorbanan—setelah intifada kedua dan pembunuhan Yasser Arafat, di tangan Tony Blair “itu juga”. Waktu itu “negara merdeka” adalah rencana akhir dari peta jalan Kuartet Internasional, yang diwakili Blair selama tujuh tahun yang penuh kesengsaraan.
Kita juga membaca tulisan Thomas Friedman tentang “Fayyadisme” dan negara yang ingin dibangun “di bawah kulit pendudukan”. Semua itu runtuh dan terputus. Kereta tidak sampai ke stasiun terakhir: negara Palestina merdeka di perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Semua itu runtuh di bawah hantaman sayap kanan fasis Israel, dan akibat adopsi Amerika terhadap visi dan narasi Israel.
Dan kini, Israel kembali menduduki Tepi Barat, termasuk Ramallah, ibu kota sementara otoritas. Gelombang kolonisasi melahap yang hijau dan yang kering, sementara gerombolan pemukim dan milisi liar mereka menyebarkan pembunuhan, perusakan, dan kerusakan di tanah Palestina.
Ada yang mungkin berkata bahwa kali ini berbeda, karena “gelombang” telah membentuk kehendak internasional untuk menyelesaikan masalah dan pergi ke akar persoalan, sebagaimana belum pernah terjadi sebelumnya. Itu adalah kemungkinan atau skenario. Tetapi orang-orang Palestina—dan di belakang mereka bangsa Arab, Muslim, serta orang-orang merdeka di dunia—harus mempersiapkan diri untuk skenario terburuk: jalur ini bisa saja terputus pada saat menghadapi pertanyaan-pertanyaan besar: nasib pendudukan, nasib permukiman, nasib Yerusalem, nasib tempat-tempat suci, hak kembali, dan isu-isu pokok lainnya.
Dan seperti yang telah kami katakan, kita harus selalu ingat bahwa inisiatif Trump hanya berurusan dengan Gaza, bukan dengan seluruh persoalan Timur Tengah dan masalah Palestina yang pelik dan lebih rumit. Itu adalah kisah lain.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : al Jazeera