Yahudisasi al-Quds Melalui Pembangunan: Proyek-Proyek yang Mengubah Wajah Kota (Bagian Kedua)
Oleh : Ali Ibrahim (Peneliti urusan Yerusalem dan Al-Aqsha, spesialis sejarah)
Artikel Yahudisasi al-Quds Melalui Pembangunan ini masuk dalam Kategori Analisa
Menara Parkir Mobil
Surat kabar Israel pada Oktober 2018 mengungkapkan rencana pemerintah kota pendudukan di Yerusalem untuk membangun 10 menara bertingkat sebagai tempat parkir di pintu-pintu masuk Kota Tua.
Rencana itu mencakup enam menara di dekat Bab al-‘Amud (Gerbang Damaskus) dan empat di dekat Bab an-Nabi Daud (Gerbang Nabi Daud). Tinggi masing-masing menara berkisar antara 15 hingga 17 meter, dengan kapasitas sekitar 12 mobil per menara. Tidak ada laporan dari sumber Ibrani maupun Palestina mengenai dimulainya pembangunan proyek tersebut, namun pendudukan biasanya menunda pelaksanaan proyek hingga situasi politik dan keamanan dianggap tepat agar bisa dijalankan tanpa menghadapi perlawanan publik.
Proyek Rekreasi Raksasa Menghadap Kota Tua
Proyek-proyek asing ini tidak terbatas pada infrastruktur saja, tetapi juga mencakup sektor rekreasi dan pariwisata. Pada akhir tahun 2020, sumber-sumber Ibrani mengungkapkan bahwa pemerintah kota pendudukan di Yerusalem berencana membangun roda raksasa di bagian barat taman “Armon Hanatziv” (Istana Komisaris Tinggi Inggris) yang merupakan kawasan permukiman, terletak di puncak Jabal al-Mukabbir dan menghadap Kota Tua serta Masjid Al-Aqsha dari arah selatan. Roda itu akan memiliki tinggi antara 40 hingga 60 meter.
Pemerintah kota akan melaksanakan proyek ini bersama “Badan Pembangunan Yerusalem” sebagai bagian dari rencana restorasi taman secara menyeluruh.
Dalam konteks yang sama, pada tahun 2023, sumber-sumber Ibrani mengungkapkan bahwa pemerintah kota pendudukan di Yerusalem dan “Yad Mikdash Foundation” (Yayasan Warisan Tembok Ratapan) menyiapkan rencana untuk mendirikan “teras dan kafe” bercorak Yahudi di atas sekolah Tankiziyah dan Tembok Al-Buraq, serta bangunan-bangunan yang menghadap Masjid Al-Aqsha.
Pendudukan telah benar-benar mulai membangun “teras dan kafe” tersebut setelah menyiapkan seluruh prosedur dan langkah teknis yang diperlukan. Rencana ini mencakup area seluas 300 meter persegi dan akan dibuka sepanjang waktu bagi para pemukim dan orang-orang Yahudi yang tidak memasuki Al-Aqsha karena alasan ideologis atau keagamaan, sehingga memungkinkan mereka untuk menguasai wilayah itu kapan pun mereka mau.
Kecenderungan Membangun Menara-Menara Tinggi di Sekitar Yerusalem
Otoritas permukiman pendudukan berupaya mengubah identitas perkotaan dan demografis kota yang diduduki dengan membangun serangkaian menara besar di sekelilingnya, guna menciptakan realitas baru yang menegaskan Yahudisasi kota.
Pada akhir tahun 2020, “Komite Wilayah untuk Perencanaan dan Pembangunan” di pemerintah kota pendudukan menyetujui pembangunan menara besar di kawasan Bukit Prancis (French Hill). Menurut rencana, menara tersebut akan memiliki 30 lantai ditambah infrastruktur pendukung, termasuk kantor, toko, hotel, tempat hiburan, area parkir, serta apartemen bagi mahasiswa Universitas Ibrani dan sekitar 150 unit permukiman baru.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah proyek menara besar seperti ini telah disetujui. Pada 25 Maret 2022, “Komite Lokal untuk Perencanaan dan Pembangunan” di Yerusalem menyetujui pembangunan menara pertama di pintu masuk lingkungan Ats-Thuri, di kawasan industri yang disebut “Talpiot”, setinggi 30 lantai.
Pemerintah kota pendudukan menyatakan bahwa menara tersebut akan menghadap Kota Tua dan memiliki pemandangan seluruh Yerusalem, dengan target penyelesaian pada tahun 2026. Pada 9 Juni 2024, sumber-sumber Palestina mengungkapkan bahwa pemerintah kota pendudukan telah menyetujui rencana baru di permukiman “French Hill” untuk merobohkan delapan bangunan lama dan menggantinya dengan menara-menara besar.
Dari semua proyek tersebut, yang paling besar adalah yang disetujui oleh “Komite Wilayah untuk Perencanaan” pada 21 Juli 2024, yaitu pembangunan menara pencakar langit yang akan menjadi yang tertinggi di kota itu. Menara tersebut akan dibangun di lingkungan permukiman “Kiryat Yovel”, di atas tanah desa ‘Ain Karem yang telah dikosongkan di sisi barat Yerusalem. Menurut data Ibrani, tinggi menara akan mencapai 197 meter dengan 56 lantai. Perusahaan pengembang menyebutnya sebagai “Burj Khalifa-nya Yerusalem”.
Proyek ini akan dirancang oleh kantor arsitektur “Adrian Smith and Gordon Gill”, firma yang juga merancang Burj Khalifa, bekerja sama dengan tim dari dalam Israel.
Membaca Dampak dari Proyek-Proyek Ini
Data di atas menunjukkan beragamnya proyek-proyek tersebut dan bagaimana pendudukan berusaha mengubah karakter kota dengan mendirikan bangunan-bangunan raksasa yang dipaksakan ke salah satu kota tertua di dunia — perubahan yang tidak bermanfaat bagi penduduk aslinya maupun bagi para pemukim, tetapi justru melayani agenda politik dan budaya yang bertujuan menegakkan dominasi Yahudi atas kota yang diduduki. Proyek-proyek ini dibangun dengan arsitektur Barat yang asing dan sangat bertentangan dengan arsitektur asli Yerusalem, serta menyaingi peninggalan-peninggalan sejarahnya.
Akibatnya, proyek-proyek ini secara langsung merusak identitas peradaban Yerusalem dan secara bertahap menghapus ciri khas Arab dan Islamnya, menggantinya dengan identitas buatan yang memadukan simbol-simbol keagamaan Yahudi dan gaya arsitektur kapitalis modern.
Hasil akhirnya adalah upaya untuk mengubah panorama kota menjadi model “Barat kapitalis” — bagian dari strategi sistematis untuk menyingkirkan keberadaan Palestina, menghapus sejarah Islam, dan memaksakan realitas baru yang menegaskan Yerusalem sebagai “ibu kota Yahudi”.
Dalam konteks identitas sejarah dan budaya, proyek-proyek ini juga berusaha menghapus ciri Arab dan Islam kota melalui penyisipan elemen arsitektur asing yang bertentangan dengan gaya dan material asli lingkungan bersejarahnya. Di sini juga muncul isu penting, yaitu perubahan nama tempat, jalan, dan gang dari nama-nama Arab aslinya menjadi nama-nama asing yang berkaitan dengan tokoh-tokoh Yahudi dan kisah-kisah Talmud, sebagai bagian dari rekonstruksi narasi sejarah yang berjalan seiring dengan perusakan realitas arsitektur dan tata kota.
Dampak dari proyek-proyek ini tidak hanya terbatas pada tampilan peradaban, tetapi juga pada panorama visual kota. Hal ini menghasilkan dua skenario: pertama, panorama kota diatur ulang berdasarkan narasi Zionis, di mana menara-menara permukiman, fasilitas wisata, dan jalur teleferik menutupi pemandangan sejarah Masjid Al-Aqsha dan Kota Tua, sehingga memutus hubungan emosional dan visual antara warga Palestina dan kota mereka.
Kedua, pemandangan yang dulu memiliki makna spiritual dan sejarah — sebagai simbol penaklukan dan pembebasan serta menjadi pandangan pertama para peziarah terhadap Yerusalem dan Al-Aqsha — kini diubah menjadi fasilitas wisata yang melayani pendudukan dan turis asing.
Dari sisi arsitektur, tangan-tangan pendudukan berupaya mengacaukan keseimbangan visual historis Yerusalem. Dahulu, bangunan tertinggi di kota ini adalah kubah dan menara masjid serta lonceng gereja-gereja kuno — simbol spiritual dan sejarah. Kini, dengan masuknya bangunan modern bermotif kolonial, peninggalan-peninggalan itu secara bertahap tertutupi dan kehilangan dominasi visualnya, berubah menjadi elemen sekunder di kota yang sedang dipaksakan menjadi “berwajah Barat”.
Akibatnya, peninggalan sejarah asli tampak tidak serasi dengan bangunan modern di sekitarnya, menciptakan ketidakharmonisan besar antara Kota Tua dan lingkungannya — yang perlahan berubah menjadi seperti “Gotham City” atau “Manhattan” baru.
Tak diragukan lagi, kelanjutan proyek-proyek pembangunan dan penggalian di dekat situs arkeologis serta Masjid Al-Aqsha, termasuk untuk membangun stasiun metro atau jalur kereta lainnya, akan menyebabkan penghancuran banyak lapisan arkeologis yang berasal dari berbagai periode sejarah Yerusalem yang diduduki.
Perilaku pendudukan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa mereka tidak memperdulikan penemuan arkeologis Islam; sebaliknya, mereka justru menghancurkannya dan menyembunyikannya, serta hanya menampilkan kepada publik temuan-temuan yang dapat mereka klaim berasal dari periode kuno — terutama dari masa “bait suci” yang mereka anggap ada — meskipun klaim tersebut lemah secara historis maupun arkeologis.
Selain tujuan proyek-proyek Yahudisasi ini dalam menargetkan keberadaan demografis rakyat Palestina, memperkuat kehadiran permukiman di kedua sisi Yerusalem yang diduduki, dan memudahkan perpindahan para pemukim antara dua sisi kota tersebut, kebijakan ini juga memperdalam keterpisahan Yerusalem dari lingkungan geografis dan demografisnya di Tepi Barat, serta mengubahnya menjadi lingkungan yang menyingkirkan penduduk aslinya.
Kebijakan ini bekerja untuk menegaskan Yerusalem sebagai ibu kota negara pendudukan, dengan ciri khas Barat yang konsumtif dan bertentangan dengan identitas kota itu sendiri — sebuah kota yang dipenuhi simbol-simbol Yahudi baik dari segi fungsi maupun pengaruh, dengan bangunan-bangunan modern dari segi arsitektur dan desain. Hal ini berdampingan dengan monumen-monumen keagamaan Yahudi yang telah dibangun pendudukan dengan gaya arsitektur lama, untuk meniru klaim mereka tentang keberadaan Yahudi kuno di Yerusalem.
Akhirnya, kelanjutan pendudukan dalam memaksakan proyek-proyek arsitektur asing ini berarti mengubah Yerusalem dari kota yang memiliki identitas Arab dan Islam yang kuat menjadi kota yang rusak, dengan lanskap urban buatan bergaya Barat yang menghapus sejarah aslinya dan memutus hubungannya dengan penduduk aslinya. Pertempuran atas identitas tempat ini tidak kalah berbahayanya dibandingkan dengan pertempuran di medan perang.
Alhamdulillah, selesai rangkaian artikel 2 (Dua) Seri
Sumber : Al Jazeera